Home » Keluarga » Haruskah Mengimani Pernikahan?

Haruskah Mengimani Pernikahan? Tanggapan untuk Fahd Pahdepie

3.92/5 (13)

IslamLib – Dalam dua hari tulisan Fahd Pahdepie: “Menikahlah Sebelum Mapan” telah dibaca puluhan ribu orang. Tentu ini kabar baik. Sebab tulisan yang baik dari Fahd tersebut tidak semata-mata memotivasi orang untuk berani menikah sebelum mapan, tapi juga mempromosikan relasi yang setara dalam sebuah pernikahan.

Tetapi pertanyaan saya yang serta merta setelah membacanya, dan ini ditujukan kepada diri sendiri,  sangatlah mengganggu: “Haruskah saya mulai mengimani pernikahan?”

Sebab, selama ini saya kadung melihat realitas muram dari  banyak wajah pernikahan: tentang maraknya KDRT, dari mulai dominasi atas kejiwaan pasangan yang mengarah pada pembunuhan karakter, hingga kekerasan atas tubuh; perselingkuhan yang tak lagi disembunyikan secara malu-malu, poligami; ribut besar sebab persoalan ekonomi (percayalah, kasus-kasus yang saya sebut ini banyak sekali terjadi!).

Begitu banyaknya kekacauan unik dalam setiap pernikahan, hingga butuh ratusan artikel tersendiri untuk menjabarkannya. Dan  kekacauan itu bisa menimpa tiba-tiba. Kepada siapa saja. Bahkan pasangan yang dianggap paling bahagia sekalipun. Kekacauan-kekacauan tak terhindarkan itulah yang membuat saya sering mendendam terhadap institusi yang satu ini.

Tetapi tulisan Fahd itu membuat saya berpikir-ulang.  Sebab, ajakannya untuk tidak takut terhadap lembaga pernikahan sungguh menggiurkan. Di sana ia seperti pedagang gulali yang mempromosikan betapa manis dan enaknya pernikahan itu. Seakan-akan kompleksitas manusia bisa sedikit teratasi melalui pernikahan. Hingga ia berhasil membuat saya terus mengulang-ulang pertanyaan di atas: “Haruskah mulai mengimani pernikahan?”

Pertanyaan tersebut akhirnya selesai saya jawab dalam waktu 24 jam (dengan mengorbankan waktu tidur yang sangat berharga itu). Saya menemukan jawaban yang tidak langsung. Not straight to the point.

Posisi saya di hadapan konsep pernikahan bisa dikatakan laiknya seorang agnostik dalam berwajahan dengan konsep Tuhan. Seorang agnostik memilih berjarak dengan konsep Tuhan yang diyakini mainstream tetapi tidak serta merta menganulir kemungkinan adanya Tuhan.

Dalam pandangan saya, orang agnostik adalah manusia yang paling dewasa dalam memaknai Tuhan. Ia tak sembrono melenyapkan eksistensi Tuhan, juga tidak agresif menyatakan paling mengenal Tuhan. Sudah pasti jenis manusia seperti ini tidak akan terjebak pada sekedar ritual.

Ia juga lepas dari tuntutan kalangan mainstream dalam mengekspresikan kecintaan terhadap Tuhan secara jumud. Cintanya kepada Tuhan adalah cinta yang realistis. Cinta yang tidak mengalihkan pandangannya dari realitas empiris yang sulit menyatu dengan hal-hal ghaib yang tak tersentuh indra dan akal. Cintanya kepada Tuhan juga mewujud sebagai cinta tanpa pamrih, yang tak membutuhkan perantara doktrin atau agama.

Tetapi orang agnostik juga sedikit lebih rendah hati dibanding kalangan atheis. Mereka tak sebegitu jumudnya percaya terhadap diri sendiri, terhadap kemahakuasaan ilmu pengetahuan, tanpa mengabaikan apa yang disebut sebagai human errors.

Mereka dengan sadar mengakui keterbatasan dirinya. Dan karenanya tidak bersikap telak melenyapkan keberadaan Tuhan. Mereka hanya mengakui bahwa dirinya tidak tahu apakah Tuhan benar-benar ada atau tidak. Dan bagi mereka ketidaktahuan bukanlah sebuah cela yang harus diperangi yang karenanya mendorong manusia bersikap defensif seperti ditunjukkan oleh kalangan atheis.

Ketidaktahuan adalah bagian dari kebodohan. Dan kebodohan bukanlah kesalahan. Begitu kata Ayu Utami dalam autobiografinya “Si Parasit Lajang” yang saya nikmati seperti halnya “Pengakuan Eks-Parasit Lajang”.

Sikap para agnostis di atas bagi saya merupakan sebuah bentuk kejujuran yang melahirkan konsekuensi berkebalikan dengan agresivitas yang dilancarkan para atheis dalam menyerang agama atau bahkan orang beragama; atau seperti kebanyakan orang beragama yang mengutuk sesiapa saja yang tak mempercayai agamanya.

Mereka ini lebih dewasa, adem-ayem dan tidak berpretensi mencari musuh. Mereka lebih merdeka! Dan itu mengilhami saya dalam menentukan sikap terhadap konsep pernikahan.

Seperti si agnostis, saya berusaha untuk realistis.

Terhadap pernikahan saya tidak segera meyakini keharusannya, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa bagi sebagian orang itu memang menjadi harus. Tanpa perlu mengajukan argumentasi canggih tentang mengapa saya memilih tidak menikah laiknya para feminis radikal, saya hanya perlu mengatakan: pernikahan is not my choice.

Untuk mencintai seseorang saya tidak butuh menikah. Untuk menjadi mapan, saya bisa mengurusnya sendiri tanpa dampingan seorang suami. Lagipula, nasib adalah kesepian masing-masing itu menjadi hal paling nyata yang sering saya lihat di kalangan orang yang menikah.

Betapa banyak pasangan menikah yang tak bisa benar-benar jujur satu sama lain. Bahkan di antara mereka kesulitan mencari bahan pembicaraan selain tentang anak, keluarga saya, keluarga besan, dan segala hal di luar dirinya.

Tidak sedikit yang akhirnya lebih terbuka kepada Facebook dibanding terhadap pasangannya sendiri. Pasangan menikah dalam jenis ini, mereka tinggal bersama tetapi hidup sendiri-sendiri.

Dalam konteks pernikahan, seperti mereka yang agnostik bersikap terhadap agama, saya tak ingin menggebu-gebu memercayakan urusan cintakasih kepada lembaga pernikahan. Sebab, seperti alasan para agnostis tak memercayai fungsi agama, sayapun ingin bersikap kritis terhadap fungsi pernikahan sebagai sebuah lembaga yang mewadahi cinta, seks dan status sosial secara bersamaan.

Sebab, konsekuensi dari pernikahan sebagai lembaga itulah yang ingin saya hindari. Jika salah satu konsekuensi pelembagaan agama adalah lahirnya para ekstremis, maka dalam kasus pernikahan adalah berserakannya jiwa-jiwa yang tak merdeka.

Cara pernikahan mengikat seseorang sangatlah tidak sesuai dengan naluri manusia yang ingin merdeka. Sebuah ikatan, bagaimanapun ia tetaplah mengikat, bisa juga menjerat. Dalam konteks pernikahan, sifat mengikat ini menyimpul kemerdekaan seseorang ke dalam anyamannya. Artinya, dalam pernikahan segala kompromi itu adalah simpul yang mengikat kemerdekaan. Dan orang kerap tersesat dari cintanya semula ketika kemerdekaannya dirongrong sana-sini.

Maka sikap paling toleran yang bisa saya tunjukkan di sini hanyalah dengan melenturkan pandangan terhadap pernikahan: ia bukan musuh saya, dan mungkin memang ada manfaatnya. Saya juga tidak semestinya bertanya secara sinis kepada orang yang menikah, “Kok mau sih didikte sama institusi pernikahan?”

Lewat tulisan Fahd justru saya mulai menghargai upaya luar biasa para pengiman pernikahan dalam berkompromi dengan segala konsekuensi sosial dari pilihannya itu. Sebab, mereka telah selesai dengan pergulatan batinnya tentang kemerdekaan.

Semoga kawan-kawan yang menikahpun bisa menghargai pilihan saya dan berhenti menanyakan: “Kapan kamu menikah?” Sebab pertanyaan tersebut sangat membosankan untuk dijawab, tidak substansial seperti pertanyaan saya di atas.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.