IslamLib – Jika Anda pernah menonton A Separation, film peraih Oscar untuk kategori The Best Foreign Language Film tahun 2012, di sana Anda dapat merasakan getirnya seorang manusia menghadapi sebuah perceraian. Rangkaian peristiwa dramatis digambarkan demikian apik dan menyentuh untuk memotret berbagai konsekuensi yang, secara langsung maupun tidak, seolah bermula dari keinginan seorang istri untuk menceraikan suaminya.
Gambar senyap pada adegan terakhir, ketika Simin dan Nadir duduk terpisah dalam kegelisahan masing-masing, merupakan ekspresi kecemasan yang paling memukau. Ekspresi yang hanya bisa dikenali dengan mudah oleh mata-mata terluka sebab keterpisahan (separateness).
Namun A Separation, dalam pandangan saya, bukan semata memotret suami-istri yang kalang-kabut menghadapi perceraian, tetapi juga ingin menangkap getirnya keterpisahan antara: anak dengan orang tua –begitu juga sebaliknya– pekerja dengan pekerjaannya, seorang ibu dengan jabang bayinya.
Bahkan sampai pada keterpisahan manusia dengan sesuatu. Misalnya saat karakter-karakter dalam film ini mencemaskan kepercayaan, harga diri, prinsip hidup, dan “kebenaran” yang ingin mereka kejar di sepanjang alurnya.
Bagi saya, inilah pesona film Iran yang menyabet berbagai penghargaan sekaligus reaksi positif dari banyak kritikus tersebut. Cara ia mengulik kecemasan manusia dalam menghadapi sebuah keterpisahan.
Entah disadari atau tidak oleh Asghar Farhadi, sang sutradara, A Separation lebih tepat mewakili kegetiran dalam pengertian umum. Film ini tak hanya bercerita tentang perpisahan suami-istri, seperti judulnya semula: A Separation between Simin and Nader.
Saya tidak ingin me-review film ini. Sebab, Anda bisa menemukan begitu banyak ulasan canggih mengenai film yang telah dirilis empat tahun lalu itu.
Perceraian, ini yang akan kita bicarakan. Di sini saya akan menariknya lebih jauh hingga pada konsep keterpisahan, separateness, jika kita melirik bahasa yang digunakan Erich Fromm. Keterpisahan dalam segala bentuk hubungan: apakah jalinan asmara—dalam sebuah pernikahan ataupun bukan— dan pergaulan sosial.
Dalam konteks ini, A Separation ibarat sebuah pintu untuk memasuki ruang-ruang tergelap dalam diri kita: kecemasan, ketakutan dan keserakahan.
Persoalan Eksistensial. Beberapa tahun lalu, seorang teman pernah menangis tersedu-sedu dalam pelukan saya. Kekasihnya menikah dengan perempuan lain, meninggalkan kebersamaan yang mereka rajut selama lebih dari tujuh tahun. Saya berang tak terkira saat mendengar kisahnya.
Sebab, saya tahu seperti apa pengorbanan sang perempuan selama hubungan mereka berlangsung. Saya menyaksikan sendiri sejak laki-laki itu tidak memiliki apa-apa dan sahabat saya tak pernah berkeluh-kesah memenuhi semua kebutuhannya. Lalu, setelah lelaki itu sedikit bisa melampaui sahabat saya dalam soal finansial, begitu ringannya dia lari ke dalam pelukan perempuan lain, sembari mengisyaratkan alasan yang sebetulnya masih bisa dikompromikan: izin orangtua.
Beberapa kali saya menyaksikan para perempuan yang hancur akibat tercerainya tali kasih mereka. Juga, sesekali saya melihat laki-laki yang linglung karena kehilangan pasangan hidupnya. Tak sedikit manusia yang memilih jalan paling ekstrim setelah mengalami keterpisahan, apakah dengan kekasih atau hal lain seperti pekerjaan.
Menyaksikannya, kita seolah sampai pada satu kesimpulan: perpisahan adalah momen paling getir dalam hidup manusia. Maka, segeralah kita akan menganggukkan kepala ketika Erich Fromm menulis: “Separateness is the source of intense anxiety.”
Tetapi yang dimaksud Fromm bukan semata perpisahan yang terjadi tiba-tiba terhadap seseorang. Ia menelisik lebih dalam hingga pada persoalan eksistensial manusia sejak kelahirannya.
Nyatanya, keterpisahan telah menjadi ‘kodrat’ spesies manusia yang tak terhindarkan. Saya membahasakannya sebagai kodrat sebab, di sini saya setuju dengan filsuf Jerman dari Mazhab Frankfurt tersebut, benar bahwa manusia terlanjur mengandung benih keterpisahan yang dramatis dan inheren dalam dirinya.
Perangkat adaptasi manusia yang berbeda dengan binatang adalah pemicu dari situasi tersebut. Kesadaran, rasionalitas dan imajinasi yang dimilikinya menjadikan ia sebagai makhluk yang selalu berada di ambang batas ketakutan.
Kesadaran: bahwa manusia tak pernah punya pilihan selain dilahirkan, sekaligus tak memiliki kuasa untuk melawan kematiannya. Kandungan akalnya menuntut ia selalu awas membaca setiap perubahan di sekitarnya demi tetap survive memperjuangkan keberlangsungan hidup. Imajinasi mengantarkan ia pada pikiran tentang mimpi-mimpi besar. Semua itu melahirkan kecemasan tiada tara pada diri manusia, sekaligus kesepian tersembunyi yang abadi.
Sebab, kualitas perangkat yang dimilikinya menyadarkan ia pada satu hal: bahwa semua yang dilahirkan dari kualitas tersebut adalah entitas yang terpisah dari dirinya. Sesuatu yang ingin didekatinya tetapi ia sendiri tak pernah tahu akan seperti apa jadinya. Karenanya, manusia selalu terperangkap dalam rangkaian kemungkinan-kemungkinan. Ketidakpastian menjadi satu-satunya yang ia sadari.
Dalam Man for Himself, Fromm menggambarkannya dengan sendu: “Manusia hanya mengenal masa lalunya; bahwa ia telah dilahirkan (tanpa kehendaknya). Di luar itu, manusia amatlah gelap akan masa depannya. Satu-satunya yang ia tahu tentang masa depan adalah kepastian tak terbantahkan bahwa suatu saat ia akan mati.”
Sebuah kepastian yang mutlak dan berbagai kemungkinan yang mencemaskan.
Sebab mengandung benih yang mencemaskan itu maka manusia melakukan berbagai cara untuk mengatasinya. Jalan yang paling banyak diambil adalah melalui pernikahan, pekerjaan, dan terhubung dengan berbagai komunitas, termasuk agama. Dengan begitu seseorang akan merasa aman. Nyaman.
Meski masa depan tetap menjadi misteri, tetapi rasa takutnya sedikit berkurang selama kesendirian tidak nampak jelas pada dirinya. Selama ia bisa bergantung kepada yang lainnya. Meski ia tahu kematian tak dapat dilawan, tetapi agama menenangkannya melalui kehidupan yang akan datang.
Lantas, apakah dengan begitu persoalan telah selesai? Tentu saja tidak. Manusia tak pernah benar-benar tidak sendiri. Sebab tadi itu, keterpisahan dan kesendirian adalah sesuatu yang inheren dalam dirinya. Kematian mengikat manusia dengan kesendirian dan keterpisahannya. Ancaman impotensi peran dan keterlibatannya dalam dunia memaksa makhluk ini berlari sekencang mungkin mengimbangi pesatnya gerak zaman.
Ketakutan akan kejatuhan dan akhir hidup dihadapi oleh masing-masing individu secara unik dan terpisah. Karenanya, meski pernikahan, begitu juga pekerjaan dan komunitas, menenangkan mereka dalam sebuah penyatuan, kesendirian tak pernah benar-benar meninggalkannya. Karena ia tak pernah tahu sekaligus merasa terancam oleh pertanyaan: kapan penyatuan ini akan tercerai?
Saya tidak sedang menganjurkan Anda untuk berpisah dengan seseorang yang Anda cintai. Saya hanya ingin berbagi dengan mereka yang “galau” atas jalinan yang tengah dihadapinya.
Mungkin beberapa di antara kita sedang merasakan, “something wrong here”, apakah dalam hubungannya dengan seseorang atau sesuatu yang lain.
Seringkali kita menjumpai sesuatu yang salah berdiri tegak di hadapan kita. Menggoda untuk dipertimbangkan. Atau menghasut untuk dimarahi. Tetapi sesering itu pula kita membiarkannya berlalu sembari menyerahkan semua kepada waktu. Biasanya karena keserakahan kita yang tak ingin melepaskan diri dari zona aman. Atau, malas menghadapi situasi yang kompleks dan merepotkan.
Misalnya, kita tahu pasangan gemar berselingkuh, tetapi tak menjadikan perpisahan sebagai jalan keluar. Alih-alih memikirkan cara untuk mandiri setelah perpisahan, kita mengumpulkan banyak alasan mengapa perpisahan bukan sebuah jalan. Padahal, perselingkuhan bukan hanya sebuah dosa tak termaafkan, tetapi terkait dengan harga diri yang ingin kita pertahankan. Selain itu, kebiasaan berselingkuh seperti zat addict yang membuat para pecandu sulit menyembuhkan diri.
Lebam memenuhi tubuh, jiwa kehilangan ruh, pasangan menjadikan kita sebagai pelampiasan kemarahannya terhadap hidup, tetapi kita masih saja mengira cinta tak bisa dipisahkan. Apakah demikian cinta? Atau itu hanya alasan untuk menghindari ketakutan ketika Anda dituntut menghadapi dunia sendirian?
Kesendirian, jika kita menerimanya dengan optimis sebagai kodrat eksistensial manusia, bukanlah monster paling menakutkan. Mengakrabi kesendirian bisa berarti mengenali diri sendiri: potensi, mimpi-mimpi, sesuatu yang benar-benar ingin kita perjuangkan.
Saat benar-benar sendiri kita bisa lebih awas terhadap berbagai kemungkinan yang akan kita hadapi. Sebab segala penyatuan, yang lebih sebagai pelarian dari keterasingan, tidak lagi mengalihkan pandangan kita dari kemungkinan-kemungkinan tersebut. Memilih sendiri bisa membuat kita menjadi pribadi yang mandiri dan kokoh.
Seringkali ketika bersama seseorang justru membuat kita merasa sangat sendirian. Menjalani hidup bersama pasangan tak jarang mengaburkan pandangan kita tentang apa yang benar-benar ingin dilakukan untuk diri sendiri. Lebih parah lagi ketika ternyata pasangan menjadikan kita sebagai objek yang dikuasai.
Jika bersama seseorang keadaannya demikian, mengapa masih takut menjalani hidup sendirian?