IslamLib – Apa yang bisa kita katakan ketika seorang anak perempuan berumur 9 tahun, –konon anak yang cerdas dan menjadi ketua di kelasnya, anak yang riang,– tiba-tiba diperkosa, disodomi, dibunuh, lalu tubuhnya dilempar dalam kardus di pinggir jalan seperti sampah yang tak berguna? Peristiwa tragis ini terjadi terhadap Putri Nur Fauziah, Sabtu lalu, 3/10. Lokasinya tak jauh dari pusat Ibu Kota. Di Kalideres. Tak ada yang bisa dikatakan. Kita seperti tersedak, kehilangan kata-kata.
Tetapi kekerasan tak bisa dibiarkan. Ia harus dibicarakan. Sebab kita, secara moral, merasa terganggu. Kita merasa ada sesuatu yang mengganjal. Ada semacam “slilit” yang membuat kita merasa tak nyaman secara mental. Kenapa seseorang sanggup melakukan kekejian terhadap anak-anak seperti yang terjadi pada Fauziah itu? Atas alasan apa?
Setiap kasus kekerasan, baik atas manusia atau binatang, selalu menimbulkan rasa mual dalam diri kita. Nausea. Tetapi kekerasan atas anak agak sedikit beda. Ia bukan sekedar kekerasan biasa. Ia adalah kekerasan dalam bentuknya yang murni. Sebab, pada anak-anak tak ada sesuatu yang membuat kita merasa menemukan alasan untuk berbuat kekerasan. Selain kekerasan ringan untuk mendidik, seperti yang dilakukan oleh orang tua atas anak-anak – praktek yang masih sering terjadi di masyarakat hingga sekarang.
Pada orang-orang dewasa, mungkin saja seseorang menemukan sejumlah alasan. Misalnya, balas dendam. Misalnya, si orang dewasa itu memiliki keyakinan yang lain. Misalnya, sasaran kekerasan itu adalah orang yang degil atau jahat sehingga kita merasa telah berbuat benar untuk mengakhiri hayatnya agar kedegilannya tidak menimbulkan kerusakan yang lebih luas.
Tentu saja alasan-alasan itu tak membuat tindakan kekerasan menjadi benar secara moral. Tetapi sekurang-kurangnya ada konteks dan situasi yang membuat seseorang merasa ada pembenaran untuk menimpakan kekerasan atas tubuh orang. Tetapi pada anak-anak, bagaimana alasan itu ditemukan? Bagaimana seseorang mencari justikasi atas tindakan kekerasan terhadap Fauziah, murid Sekolah Dasar yan baru berumur 9 tahun itu? Rasanya, justifikasi semacam itu tidak atau sulit ditemukan.
Karena itu, saya menyebut kekerasan atas anak-anak sebagai “pure violence”, kekekerasan yang murni. Ialah kekerasan yang dilakukan demi kekerasan itu sendiri. Mungkin saja si pelaku didorong oleh keinginan untuk meraih “kenikmatan” saat menjadikan anak-anak sebagai obyek kekerasan – suatu gejala kejiwaan yang tentu saja mengindikasikan adanya penyakit.
Kasus anak Fauziah bukan yang pertama kali. Sebelumnya kita sudah sering membaca berita kekerasan serupa. Yang paling tragis tentu kasus pembunuhan yang sadis atas Angeline (8 tahun) di Denpasar, Juni lalu. Angeline dibunuh dan dibuang di pekarangan rumahnya. Konon, pembunuhan ini melibatkan keluarga terdekatnya sendiri. Ini, tentu saja, membuat peristiwa ini makin tragis: kerabat terdekat justru terlibat dalam makar jahat untuk mengakhiri nyawa Angeline. Kerabat dan rumah yang mestinya menjadi semacam “kastil aman” buat si anak justru berubah sarang serigala yang menerkamnya. Tragis.
Kita bisa merasa sedikit lega karena di negeri kita telah ada sebuah lembaga negara yang secara khusus membela hak-hak anak, yang memantau setiap bentuk kekerasan atas mereka. Ada KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Ini adalah sebuah kemajuan yang patut kita apresiasi. Tak semua hal mengenai negeri ini, pasca-reformasi, adalah buruk. Banyak perkembangan baik yang tak boleh kita abaikan.
Tetapi KPAI hanya langkah awal. Mungkin hanya langkah kecil permulaan yang mestinya memantik langkah-langkah berikutnya, pada skala yang lebih luas di masyarakat. Saya melewatkan masa kecil di kampung pada sebuah era di mana kekerasan atas anak-anak dianggap sebagai “non-issue”, hal yang lumrah. Pengasuhan ala “dragon parenting” (pengasuhan keras ala naga) yang merupakan pemandangan umum waktu saya kecil dulu, melibatkan banyak praktik kekerasan. Tindakan memukul anak oleh orang tua atau kerabat dekat adalah hal biasa.
Hingga sekarang pun, kekerasan atas anak, secara kultural, masih dianggap sebagai perkara sepele. Walau tak dikatakan, di masyarakat masih ada semacam pandangan bahwa orang-tua atau kerabat dekat memiliki hak prerogatif untuk “mengajar” anak dengan cara yang keras, bahkan melibatkan kekerasan fisik.
Tindakan yang tak senonoh terhadap anak-anak juga dipandang sepele, entah itu pencabulan atau gangguan “fisik” yang lain. Gangguan-ganggun kecil semacam ini cenderung “dimaafkan” di masyarakat kita. Tetapi ini bisa menjadi serius ketika sudah berubah ke bentuk berikutnya yang lebih ekstrim: pemerkosaan dan pedofilia. Pemerkosaan anak terjadi, antara lain, karena masyarakat kurang peduli pada praktik-praktik pelecehan yang terjadi secara sporadis dan kecil-kecil. Setelah pecah menjadi tindakan pemerkosaan, masyarakat baru kaget.
Masalah kekerasan atas anak-anak ini tak cukup ditanggapi hanya dengan menghimbau publik kepada nilai-nilai moral. Moralisasi semacam ini hanya akan menambah masalah baru. Sebab, yang terjadi hanya letupan kekagetan sesaat, mungkin dibarengi dengan pengutukan. Tetapi setelah itu, masyarakat kembali ke keadaan normal dan lupa pada akar masalah.
Langkah yang jauh lebih penting adalah membangun sensitivitas pada masyarakat terhadap seriusnya masalah kekerasan atas anak. Pandangan kultural di sebagian masyarakat yang masih melihat kekerasan atas anak sebagai perkara sepele yang tak perlu dipikirkan dengan sungguh-sungguh, harus diubah. Tentu saja, ini melibatkan pekerjaan penting: edukasi publik.
Yang perlu dipikirkan ialah bagaimana masyarakat mau melaporkan segala bentuk tindakan kekerasan atas anak, mulai dari pencabulan yang ringan hingga ke tindak pemerkosaan, apalagi pembunuhan. Tantangannya ialah bagaimana menciptakan mekanisme kelembagaan sosial yang memudahkan masyarakat untuk melapor.Tentu saja laporan yang standar adalah ke pihak polisi. Tetapi ini tidak cukup. Lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat bisa didaya-gunakan sebagai pusat pelaporan kekerasan atas anak, sebagai “crisis centre”.
Misalnya sekolah atau rumah ibadah. Kedua lembaga yang jangkauannya sampai ke level yang paling bawah ini bisa menjadi pusat pelaporan. Saya sedang berpikir tentang kemungkinan masjid untuk bukan saja tempat sembahyang, tetapi juga “crisis centre” semacam itu. Keterlibatan rumah ibadah sebagai bagian dari mekanisme kelembagaan untuk pemantauan kekerasan atas anak memiliki dampak rentetan yang banyak. Terutama untuk mengubah pandangan kultural masyarakat yang cenderung me-normalisir kekerasan.
Harus kita akui, kekerasan, baik sebagai kultur atau praktik sosial, hampir menjadi pemandangan sehari-hari dalam masyarakat kita. Ia begitu endemik. Ia masuk hampir ke segala sektor kehidupan. Kekerasan atas anak hanyalah sudut kecil dari kanvas besar yang sarat dengan gambar kekerasan. Kekerasan ini tak bisa hanya dikutuk atau diratapi dengan petuah moral. Langkah-langkah untuk mengakhirinya harus bersifat kelembagaan, bukan perasaan kemarahan sesaat.
Membiarkan kekerasan atas anak sama saja dengan membiarkan kultur kekerasan bertahan terus di tengah-tengah kita. Sebab anak-anak yang menjadi sasaran kekerasan itu akan menginternalisir praktik kekerasan ke bawah sadarnya, lalu, jika keadaannya mendukung, akan mereproduksinya di masa mendatang. Anak-anak akan mewariskan kekerasan ini kepada generasi berikutnya. Mengkakhiri kultur kekerasan tak bisa lain kecuali dengan melindungi anak-anak kita dari tindak kekerasan.[]