IslamLib – Dalam sebuah dialog tentang anak yang diselenggarakan Homeschooling Freethinkers, seorang warga negara Amerika berujar kepada saya: “Semua anak pada mulanya adalah ateis. Sampai orang tua memasukkan hal-hal konyol seputar Tuhan, malaikat dan keajaiban lainnya terhadap mereka, lalu melabeli semua itu sebagai bagian dari agama.“
“Sedari kecil anak-anak telah dijauhkan dari kebebasan berpikir. Orangtua membentuk mereka sebagai pewaris sebuah dogma. Anak-anak pun tidak diizinkan untuk mempertanyakannya secara kritis. Sebab, mempertanyakan doktrin agama dipandang sebagai perbuatan dosa,” lanjutnya.
Dari percakapan dengan admin gerakan ateis republik tersebut, saya tertarik pada topik kebebesan berpikir untuk anak-anak yang ia lontarkan.
Saya sependapat bahwa mengenalkan konsep liberalisme kepada anak-anak memang sangat penting. Karena anak-anak pada dasarnya manusia yang bebas. Mereka senang sekali bertanya. Nalurinya dipenuhi dengan keingintahuan. Segala yang dilihat dan didengar merupakan hal baru baginya.
Di sinilah kita bisa melihat, bagaimana nilai-nilai liberalisme bisa menjadi anugerah terbesar bagi anak-anak. Alam pikiran mereka yang belum terisi banyak hal, memancing keingintahuan yang luar biasa dalam diri mereka.
Maka tak jarang kita menemukan anak-anak begitu asyik dengan imajinasinya sendiri. Sebab melalui imijinasinya tersebut mereka berselancar dengan bebas, mencari jawaban atas hal-hal yang ingin diketahuinya. Manakala imajinasi tersebut terus berkembang tanpa ada upaya pembatasan dari orangtua, maka berbagai potensi luar biasa akan terlahir darinya.
Namun banyak orangtua yang masih mengabaikan fakta tersebut. Tak jarang kita menemukan mereka yang bersikap antipati atau cuek dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan anak-anaknya.
Apalagi jika pertanyaan tersebut berkaitan dengan agama atau soal-soal keimanan. Kalaupun tidak melarang bertanya, orangtua akan menjejalkan berbagai doktrin sebagai jawabannya.
Lantas mereka akan menegaskan bahwa doktrin-doktrin tersebut bersifat sakral dan tak boleh dipertanyakan, apalagi diragukan. Dalam hal ini, teramat sering kita mendengar orang berkata soal agama: “Imani saja, jangan banyak tanya.”
Selain dari orangtua, anak-anak juga mendapat doktrin dari guru-guru mereka di sekolah. Terutama dari guru agama. Saya pernah mengalaminya sendiri ketika masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dahulu.
Ketika itu, saya sempat berperilaku seperti para bigot di zaman sekarang. Fanatik buta terhadap agama yang saya anut. Dan itu disebabkan oleh pengaruh seorang guru agama di sekolah saya.
Saat itu, guru agama saya kerap menjejali kami dengan semangat kebencian dan permusuhan terhadap agama lain. Seringkali dengan bangganya ia mengagulkan superioritas Islam. Menurutnya, dengan demikian kita bisa mempertebal keimanan dan kepercayaan diri sebagai seorang Muslim.
Tetapi, beruntung saya dibesarkan dalam sebuah keluarga yang tidak terlalu fanatik dalam menganut agama. Dengan begitu, pengaruh guru agama tersebut tidak kekal dalam diri saya. Setelah menamatkan SD, cara beriman yang sempit itu berakhir pula dalam diri saya. Usai itu saya mengalami transformasi besar dalam hal beragama.
Begitu memasuki sekolah menengah (SMP), kemudahan untuk mengakses internet membantu saya dalam proses transformasi tersebut. Saat itulah, melalui internet, saya mulai berkenalan dengan ateisme.
Sejak itu pula saya mulai menggemari buku-buku yang ditulis oleh Richard Dawkins, Lawrence Krauss, William James, dan Sam Harris. Di antara mereka, yang paling saya sukai adalah William James. Dia secara gamblang menjelaskan bahwa agama pada dasarnya adalah upaya manusia untuk mengatasi ketakutan mereka terhadap kematian.
Di samping membaca berbagai literatur tokoh-tokoh di atas, saya juga mulai akrab dengan pemikiran para reformis Islam seprti Farag Foda, Salman Rushdie, dan yang paling saya kagumi adalah Irshad Manji.
Namun pandangan yang menarik tentang agama dan anak datang dari Richard Dawkins melalui karyanya, The God Delusion. Di sana ia menyatakan bahwa kematian karakter pluralis dan sekuler pada diri anak-anak, serta tertutupnya pemikiran liberal mereka, disebabkan oleh pelabalean identitas agama oleh orangtuanya.
Agama telah dilekatkan kepada diri anak-anak sejak ia lahir. Orangtualah yang memilihkan identitas tersebut kepada mereka. Bukan hanya itu, anak-anak juga dijejali dengan doktrin: agama saya yang paling benar, dan agama lain salah; kitab agama lain adalah buatan manusia; penganut agama lain tidak akan masuk surga.
Seringkali, anak-anak juga diajarkan untuk membenci penganut agama lain oleh orangtuanya. Misalnya tercermin lewat doktrin: umat agama lain adalah penyebab kisruhnya agama kita; mereka bisa dan akan menjadi ancaman buat kita; umat agama lain tidak akan puas jika kita tidak mengikuti agama mereka.
Belum lagi doktrin-doktrin yang serba mengharamkan tradisi di masyarakat. Atau kecenderungan mengafirkan ajaran orang lain. Semua indoktrinasi ini masih bisa kita dapati hingga sekarang.
Bagi saya, ini adalah pola pendidikan yang sangat berbahaya untuk anak-anak. Sebab dengan begitu, anak-anak akan tumbuh sebagai pribadi yang tidak kritis. Mereka akan mewujud sebagai penganut agama yang hanya manut-manut saja, tanpa mempertanyakan kualitas dan manfaat doktrin tersebut untuk dirinya dan masyarakat. Bahkan ketika doktrin tersebut telah mengeliminasi hak orang lain.
Menurut saya, indoktrinasi seperti itu adalah bentuk penanaman ajaran agama yang salah kaprah. Secara tidak langsung, pendidikan seperti itu hanya akan melahirkan para penganut agama yang tipis imannya, setipis batang lidi. Mereka tidak berani menghadapi berbagai ujian karena terlanjur berada di zona aman.
Segala hal yang dipandang bisa mengancam keimanannya, padahal seringkali itu hanya perasaannya saja, maka harus disingkirkan. Mereka takut ancaman tersebut akan menggoyahkan imannya.
Menurut saya, mereka yang mengajarkan doktrin-doktrin seperti itu terhadap anaknya, secara tidak langsung telah menciptakan teroris-teroris kecil di masa depan.
Cara pendidikan seperti itu juga bisa mendorong anak-anak bersikap munafik. Mereka dijejali doktrin yang menuntutnya untuk membenci kalangan tertentu di masyarakat, tetapi seringkali dengan memanfaatkan produk yang dihasilkan oleh kalangan yang dibenci tersebut.
Mereka diajarkan untuk menyesatkan kepercayaan orang lain, tetapi juga melakukan perbuatan yang lebih tercela. Misalnya dengan memperbolehkan atau bahkan melakukan kekerasan terhadap kalangan yang dianggap sesat tersebut.
Pendidikan seperti itu sama sekali tidak ada relevansinya dalam konteks kehidupan masa kini. Masa di mana setiap orang mulai dituntut untuk menghargai dan menerima perbedaan. Sebab hanya dengan jalan itu kehidupan bisa berlangsung damai.
Sudah semestinya orangtua merawat benih-benih kebebasan berpikir pada anak. Karena kebebasan berpikir yang diasah sejak dini bisa membentuk mereka menjadi manusia berkarakter dan mandiri.
Lalu, bagaimana caranya merawat benih pemikiran liberal pada anak? Ini bisa dilakukan melalui beberapa langkah. Pertama, dengan menanamkan ajaran filsafat. Dalam hal ini filsafat agama.
Mengapa harus filsafat? Bukankah filsafat itu sesuatu yang rumit? Sebenarnya tergantung cara kita membawakannya. Ilmu yang mudah sekalipun jika disampaikan dengan jelimet, tentu akan menjadi rumit.
Mengapa filsafat? Sebab filsafat menekankan dimensi keberagaman. Sehingga dengan mempelajarinya, seorang anak akan tumbuh sebagai manusia beragama yang open minded. Selain itu, metode filsafat yang mengutamakan pendekatan kritis sejalan dengan karakter dasar anak-anak yang serba ingin tahu.
Langkah kedua bisa ditempuh dengan mengenalkan anak-anak pada konsep yang semestinya, bukan seharusnya. Di sini saya terinsipirasi oleh Ahmad Wahib. Dalam “Pergolakan Pemikiran Islam” dia menjelaskan bahwa Islam seharusnya yang utama, tetapi pada kenyataannya dia bukan yang utama. Ada banyak entitas kepercayaan yang berbeda.
Keharusan Islam sebagai yang utama berasal dari keinginan manusia yang mengimaninya. Tetapi keberagaman agama dan kepercayaan, sebagaimana keberagaman dalam aspek lainnya, adalah sebuah kemestian. Sesuatu yang tak bisa kita hindarkan.
Di sinilah kita perlu menekankan kepada anak-anak bahwa keberagaman agama dan kepercayaan adalah sesuatu yang bersanding dengan kita. Ia sesuatu yang harus kita hargai, bukan dimusuhi.
Dalam hal ini, anak-anak perlu dibawa pada satu pemahaman: keberagaman adalah anugerah terbesar dari Tuhan. Daripada menanamkan doktrin: “Bumi ini milik Allah,” lebih bagus jika kalimatnya tidak berhenti sampai di sana, tapi dilanjutkan dengan, “milik Allah yang diperuntukkan bagi semua makhluk, baik itu yang mempercayai ataupun tidak mempercayai-Nya.”
Juga bisa dilanjutkan dengan kata-kata seperti ini: “Semua makhluk dianugerahi rahmat-Nya. Semoga dunia ini tetap beragam dan Allah menjaga keberagaman itu. Karena keberagaman adalah mukjizat-Nya yang paling besar.”
Ketiga, tanamkan kepada anak agar selalu belajar dari yang lain. Jadikan perbedaan sebagai pembelajaran bukan sebagai pembeda. Dengan mempelajari ajaran agama lain, sikap kritis mereka akan terasah, dan anak-anak tidak akan tumbuh sebagai penganut agama yang eksklusif dan fanatik.
Sebagaimana Budha berkata: “Jangan mudah percaya ajaran apapun yang ada di dunia, meskipun ia tertulis dalam kitab suci. Selidiki dan telitilah menggunakan akal budimu.”
Sesungguhnya ajaran Budha ini selaras dengan ajaran Islam tentang perintah pertama yang diterima Nabi. Perintah itu menyeru Nabi untuk membaca, bukan mengarahkan pada fanatik buta.
Langkah keempat bisa ditempuh dengan membudayakan dialog serta mengenalkan anak-anak pada bacaan yang berkualitas. Rekomendasikan karya-karya para pemikir yang menjunjung pluralisme, liberalisme, dan juga sekularisme. Ini penting untuk membentuk karakter berpikir dan beragama mereka.
Dalam ajaran agama Bahai, yang sempat saya pelajari, Abdu’l Baha’ pernah mencetuskan pandangan yang mengesankan: “Seorang anak ibarat tambang, banyak kekayaan yang bisa digali darinya. Tetapi, kekayaan itu juga harus dibentuk, agar ia bisa bernilai.”
Di akhir artikel ini saya menyarankan beberapa bacaaan penunjang bagi orang tua yang ingin mendidik anaknya secara baik. Di antarnya, Anda bisa membaca pemikiran Dale McGowan tentang strategi mendidik anak agar berpikir liberal. Juga karya Thomas Wartenberg mengenai cara terbaik mendidik anak agar mudah memahami filsafat.