Ketika Shirin Ebadi, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2003, menginjakkan kaki di Airport Teheran 14 Oktober 2003 lalu, ia disambut bak seorang pejuang yang baru menang perang. Beberapa organisasi non-pemerintah dan asosiasi independen, misalnya asosiasi penulis Iran dan sekelompok pengacara, membentuk panitia penyambutan yang dipimpin Fariborz Ra’is-Dana, seorang reformis sekular yang radikal.
Beberapa ribu orang, sebagian besar perempuan yang mengenakan jilbab berwarna putih (menutup rambut wajib hukumnya bagi perempuan di Iran) dan memegang bunga juga berwarna putih, memenuhi terminal dan ruas-ruas jalan di airport.
Di pintu keluar, Ebadi disambut tidak saja oleh anggota panitia penyambutan, melainkan juga oleh dua deputi yang khusus diutus Presiden Mohammad Khatami. Yang tak kalah penting, turut juga menyambut Ebadi sejumlah anggota Parlemen Iran, termasuk semua anggota perempuannya.
Zahra Eshraqi – cucu Ayatullah Ruhullah Khomeini dan istri Mohammad Reza Khatami, saudara Presiden Khatami dan pemimpin Mosharekat, partai reformis terbesar di Parlemen – mengalungkan karangan bunga di leher Ebadi.
Tetapi, sehari kemudian, Jomhuri-ye Islami, koran kubu konservatif yang garisnya paling keras, mengecam tindakan Eshraqi sebagai pengkhianatan terhadap kebijakan kakeknya dan menyatakan bahwa, seandainya Khomeini masih hidup, ia akan mengutuk keras tindakan cucunya itu.
Kata koran itu, Eshraqi sudah pasti dimanipulasi suaminya, yang dalam upayanya mempertahankan kedudukan partainya di parlemen, memaksa istrinya untuk melakukan tindakan nista itu. Tapi Eshraqi dengan cerdas memukul balik tuduhan itu.
Dalam wawancara dengan jurnal online Emrooz 19 Oktober, ia membela tindakannya sambil menyindir para penyerangnya yang mengembangkan ideologi patriarki itu: “Untuk semua hal, kaum perempuan memang hanya mengikuti perintah suami mereka. Karena perempuan dianggap tidak bisa berpikir dan mengambil keputusan sendirian.”
Kasus penyambutan Ebadi ini mencerminkan kenyataan yang juga terjadi dalam wacana tentang Islam dan relasi gender di Iran kontemporer. Dua arus ini berjalan sendiri-sendiri, tanpa dialog. Saya kira, ada cukup alasan yang kuat untuk berharap bahwa hadiah Nobel Ebadi dapat menjembatani kedua kubu ini.
Dua Arus tanpa Dialog
Apa yang saya sebut dua arus di atas dikemukakan dengan ilustrasi amat kaya oleh Ziba Mir-Hosseini dalam Islam and Gender: The Religious Debate in Contemporary Iran (1999 : 4-5). Yang pertama adalah karya-karya dengan corak dan isi keislaman yang dominan, umumnya ditulis oleh para teolog laki-laki tetapi belakangan juga oleh beberapa penulis perempuan, dan disebut Mir-Hosseini sebagai karya-karya yang shari`a-based.
Ada beragam perspektif dan argumen dalam arus ini, dari yang sepenuhnya mendukung ideologi patriarki hingga yang menuntut kesetaraan gender. Tetapi karya-karya itu punya posisi yang sama dalam satu hal: semuanya berusaha mempertahankan Islam dari apa yang mereka persepsikan sebagai serangan Barat atas Islam, khususnya serangan kaum feminis Barat.
Yang kedua adalah yang disebut Mir-Hosseini sebagai karya-karya feminism-based. Karya-karya ini ditulis dengan warna feminisme yang tegas, umumnya oleh para penulis feminis dengan latar belakang agama atau budaya Islam seperti Fatima Mernissi, Haleh Afshar, Riffat Hassan, Nawal Saadawi, Amina Wadud-Muhsin, dan lainnya.
Berbeda dari karya-karya di atas yang ditulis khususnya untuk kalangan muslim sendiri, karya-karya ini tidak khusus ditulis untuk kaum muslim, dan kadang ditulis dalam bahasa Inggris atau Perancis.
Menurut Mir-Hosseini, sekalipun para penulis di atas (di kubu yang pertama maupun kedua) mengemukakan pemikiran mereka dari sudut pandang orang-dalam (insiders), hampir sepenuhnya tidak ada dialog di antara mereka.
Menurutnya, “bukan saja mereka berbicara dalam bahasa yang berbeda, secara harfiah maupun metaforis, tetapi mereka juga mempergunakan model argumentasi yang berbeda dan datang dari dua tradisi kesarjanaan yang berbeda.”
Meski begitu, mereka sesungguhnya punya banyak kesamaan: sama-sama memberi respon terhadap posisi kaum perempuan muslim yang mengalami perubahan, kesadaran baru mereka mengenai gender, dan aspirasi mereka bagi partisipasi penuh dan kesetaraan di dalam masyarakat.
Harapan dari Hadiah Nobel Ebadi
Ada harapan momen pemberian hadiah Nobel untuk Ebadi dapat menjembatani jurang antara dua kubu di atas. Kenapa? Ada beberapa alasan untuk itu.
Pertama, rekor Ebadi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di Iran tak tercela. Ia adalah hakim perempuan pertama dalam sejarah Iran. Ketika ia kehilangan jabatan itu akibat revolusi Islam pada 1979, ia mulai lagi karirnya dari titik nol.
Ia lalu menjadi pengacara untuk kasus-kasus HAM, khususnya yang menyangkut hak-hak perempuan dan anak, dan mereka yang dipenjara akibat menyuarakan kritik terhadap rezim. Ia konsisten melakukan hal itu terlepas dari berbagai tekanan atasnya, termasuk dipenjara pada tahun 2000.
Kedua, tidak seperti umumnya feminis muslim yang menyuarakan aspirasi mereka dari pengasingan, Ebadi terus bertahan di dalam negeri, seperti Aung San Suu Kyi di Myanmar. Melihat reputasinya, sebenarnya mudah baginya untuk hidup aman di salah satu negara Barat misalnya, sambil berlaku heroik menyuarakan kekejaman rezim Iran. Tapi ia tidak mau pengecut seperti itu. Menurutnya, perjuangan sesungguhnya hanya bisa efektif jika dilakukan di negeri sendiri.
Ketiga, dan ini poin yang lebih penting, segala daya upaya Ebadi didasarkan atas keyakinan bahwa standar HAM universal tidak bertentangan dengan Islam. Hal ini berkali-kali ia tegaskan dalam pernyataannya setelah memperoleh hadiah Nobel Perdamaian. Saya kira, hal ini harus diletakkan dalam konteks filsafat hukum Ebadi dan teologi baru yang dikembangkan gerakan perempuan Iran.
Dalam riset-risetnya, Ebadi berkali-kali menegaskan kontradiksi dalam berbagai hukum Islam yang diterapkan di Iran. Misalnya, ia mempertanyakan keabsahan hukuman mati atas perempuan berusia sembilan tahun dan laki-laki berusia 15 tahun dengan anggapan bahwa mereka sudah dewasa, padahal mereka tidak diizinkan bepergian tanpa persetujuan orangtua mereka.
Ia juga menemukan bahwa hukum Islam yang mengizinkan perkawinan anak di bawah umur berdasarkan kesepakatan orangtuanya sebagai tidak manusiawi, bertentangan dengan semangat pembebasan Islam dan prinsip HAM internasional yang ikut ditandatangani Iran.
Yang paling menghebohkan dalam hukum Islam di Iran adalah aturan mengenai hak asuh anak. Ebadi punya pengalaman langsung soal ini. Pada 1997, ia tampil sebagai pengacara bagi ibu-cerai dari Aryan, gadis berusia enam tahun yang meninggal di rumah ayahnya akibat disiksa oleh ibu tiri dan saudaranya.
Selama bertahun-tahun dan sekalipun disertai bukti yang kuat, petisi ibunda Aryan agar ia diberi hak untuk mengasuh anaknya, selalu ditolak pengadilan dengan alasan: dalam kasus perceraian, menurut hukum Islam yang ditafsirkan pengadilan, hak mengasuh anak jatuh ke suami.
Kasus ini mengundang kemarahan banyak orang. Hal itu memungkinkan Ebadi untuk menuntut penghapusan aturan yang melarang istri mengasuh anak ketika perceraian terjadi. Pengadilan ini akhirnya berujung pada diamendemennya aturan mengenai hak asuh anak itu di tahun 1998.
Mungkin kita bertanya mengapa Ebadi tidak acuh saja terhadap warisan Islam di Iran dan menyuarakan hal yang sepenuhnya sekuler seperti banyak dilakukan feminis Iran di diaspora? Bagi Ebadi, hal ini tidak mungkin.
Di negara yang sebagian besar penduduknya muslim taat, membiarkan Islam dikelola oleh para ulama, kata Ebadi, adalah sesuatu yang tidak strategis secara intelektual dan secara politik sama saja dengan bunuh diri.
Dalam konteks ini, tepatlah apa yang dikatakan Panitia Nobel mengenainya: “Ebadi mewakili Islam yang reformis (reformed Islam), dan yang mengupayakan penafsiran baru atas Islam yang sejalan dengan hak-hak asasi seperti demokrasi, kesetaraan di muka hukum, kebebasan berekspresi dan kebebasan berbicara.
…Dengan Islam sebagai titik tolaknya, ia menyuarakan perlunya solusi damai atas masalah-masalah sosial, dan mempromosikan pemikiran baru dalam kerangka Islam. Ia telah menunjukkan keberanian personal luar biasa sebagai pengacara, dalam membela orang-orang atau kelompok yang menjadi korban sistem politik dan hukum yang disahkan oleh penafsiran Islam yang tidak manusiawi. Ebadi telah menunjukkan kesediaan dan kemampuannya untuk bekerja sama baik dengan wakil-wakil dari pemikiran sekuler maupun kalangan agamawan.”