Belakangan ini, pro-kontra seputar pemakaian jilbab kembali mencuat. Ini terjadi menyusul aksi yang dilakukan pelajar di lingkungan Diklat Departemen Perhubungan (Dephub) yang menentang kebijakan pelarangan pemakaian jilbab bagi pelajar di lingkungannya (Jawa Pos, 09/03).
Begitu juga yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pemerintah daerah otonomi khusus ini bahkan hendak merekrut sekitar 2.500 santri dan mahasiswa IAIN untuk menjadi “Polisi Syariat” yang tugasnya terkait dengan pemakaian jilbab bagi perempuan.
Selama ini jilbab diyakini banyak pihak telah menjadi simbol keislaman. Alasannya, selain termasuk model busana perempuan yang diperintahkan agama, juga diyakini sebagai wujud ketegaran sikap perempuan Islam menghadapi penindasan patriarkhi, kapitalisme, dan globalisasi.
Tetapi, saya melihat hal itu telah disalahpahami banyak pihak, baik kalangan Islam maupun kalangan di luar Islam. Di kalangan Islam sendiri, sering dijumpai keyakinan tentang superioritas ketakwaan perempuan berjilbab daripada yang tidak berjilbab. Sedangkan di kalangan luar, kelompok berjilbab sering dianggap sebagai kalangan fundamentalis yang militan, radikal, dan anti-Barat. Setidaknya, dua kemungkinan itu yang saya tangkap.
Untuk sedikit membuka tabir polemik seputar aurat dan jilbab, terutama dari aspek teori hukum, saya teringat pada salah satu ulama kontemporer, yaitu Mohammed Shahrour. Mengapa harus Shahrour? Banyak kalangan menganggap memakai jilbab adalah kewajiban.
Sebab, rambut perempuan adalah bagian dari aurat. Tapi, ada juga yang menganggap tidak demikian. Nah, di antara penggugat kemapanan pendapat pertama adalah Shahrour, terutama dalam buku al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu’ashirah (1992).
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa dalam buku kontroversialnya itu, Shahrour mendapatkan banyak reaksi dari kelompok yang mendukung maupun yang kontra. Dari kalangan yang sependapat, bisa disebutkan di sini, misalnya Halah al-’Ouri dalam Qira’ah fi Kitab al-Kitab wa al-Quran dan Jamal al-Banna dalam Nahwa Fiqh Jadid (1996).
Sedangkan yang kontra adalah orang-orang, misalnya, Khaled Abdurrahman (al-Furqan wa al-Quran: 1994), Salim al-Jabi (Mujarrad Tanjim: 3 volume, 1992-1994), Munir M. Thahir al-Syawwaf (Tahafut Qira’ah Mu’ashirah: 1993), Ibrahim Abdurrahman (Minnat al-Mannan fi ’Ulum al-Qur’an: 1994), serta Ahmed ’Omran (al-Qira’ah al-Mu’ashirah li al-Quran fi al-Mizan: 1995).
Menutup Aurat
Perintah Tuhan terhadap manusia (terutama perempuan) untuk menutup aurat, banyak sekali kita dapatkan. Di antaranya QS Al-Nur: 31, yaitu ayat wa al-yadlribna bi khumurihinna ’ala juyubihinna wa la yubdina zinatahunna illa li bu’ulatihinna… wa la yadlribna bi arjulihinna li yu’lama ma yukhfina min zinatihinna … (Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya kecuali pada suami mereka…….Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang disembunyikannya. ………).
Dari ayat di atas, kita menemukan kata-kata kunci, yaitu kata al-dlarb. Dalam terminologi Arab, kata ini mempunyai arti: melangkah di muka bumi untuk kepentingan profesi, perdagangan, dan jalan-jalan (perhatikan QS Al-Nisa’: 94 dan 101, QS Al-Ma’idah: 106).
Arti lainnya: membentuk, menjadikan, dan melaksanakan (QS Ibrahim: 45). Sedangkan kata al-khumur berasal dari al-khimar yang berarti penutup. Kata juyub adalah bentuk jamak dari kata al-jayb, yang berarti suatu hal yang terbuka dan mempunyai dua tingkat, tidak sekadar satu. Berbeda dengan penafsiran umum yang mengartikannya sebagai kantong atau lubang pakaian.
Karena itu, bisa dipahami bahwa al-khimar yang dimaksud dalam ayat tersebut bukan penutup kepala seperti yang lazim diketahui. Melainkan segala macam penutup tubuh, baik kepala maupun anggota badan yang lain. Sedangkan anggota tubuh yang berlekuk, bercelah, dan mempunyai tingkat, bagi perempuan itu berarti bagian di antara buah dada. Juga, di bawah buah dada, di bawah ketiak, kemaluan, dan kedua bidang pantat.
Pertanyaan selanjutnya, bukankah hidung, mata, dan mulut juga termasuk dalam kategori al-juyub dalam pengertian ini? Menurut Shahrour, organ tubuh itu (mulut, hidung, dan mata) memang termasuk al-juyub, namun termasuk al-juyub al-dhahiriyyah (yang terlihat) bukan al-khafiyyah (yang tersembunyi). Apalagi terletak di wajah -yang umumnya digunakan sebagai identitas dan pengenal.
Karena itu, larangan dalam wa la yadlribna bi arjulihinna dimaksudkan agar kaum perempuan tidak menampakkan bagian tubuh mereka yang termasuk dalam kategori al-juyub. Ini menunjukkan bahwa Tuhan melarang kaum perempuan beriman untuk menampakkan bagian tubuh yang terlarang. Termasuk bekerja sebagai penari, peragawati, apalagi bekerja di tempat prostitusi. Karena itu, perempuan boleh beraktivitas di manapun, dengan catatan tidak menampakkan kategori al-juyub al-khafiyyah ini.
Selain itu, jika dikaitkan dengan konsep Shahrour tentang al-hadd al-adna (batasaan minimal) dan al-hadd al-a’la (batasan maksimal), kemudian dibandingkan dengan hadits Nabi SAW yang menyatakan seluruh bagian tubuh perempuan adalah ’aurat, kecuali wajah dan telapak tangan, bisa dikatakan bahwa al-hadd al-adna dari bagian tubuh yang harus ditutup adalah bagian-bagian yang termasuk kategori al-juyub. Sedangkan al-hadd al-a’la-nya adalah ma dhahara minha (wajah, telapak tangan, dan telapak kaki).
Konsekuensinya, seorang perempuan yang menutup seluruh bagian tubuhnya telah melanggar hudud Allah (batasan ketentuaan Tuhan). Begitu juga yang memperlihatkan tubuhnya yang termasuk kategori al-juyub. Karena itu, kaum perempuan diperbolehkan berpakaian sekehendaknya selama masih dalam batasan antara keduanya dan tidak dimaksudkan untuk menunjukkan al-zinah al-khafiyyah (anggota tubuh yang harus disembunyikan).
Muhammed Ainul Abied pernah mencatat dua akibat dari penafsiran Shahrour tentang pakaian perempuan dalam Alquran.
Pertama, bahwa berpakaian adalah termasuk ayat-ayat ta’limat yang boleh untuk tidak dikerjakan. Sebab, manusia secara natural diciptakan telanjang. Ini didukung firman Tuhan, QS Al-A’raf: 26: ya bani adama qad anzalna ’alaykum libasan yuwari saw-atakum warisya (wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan).
Ayat ini termasuk dalam ayat-ayat ta’limat. Sedangkan perintah yang bersifat hudud hanya wajib dikerjakan apabila perempuan atau lelaki itu berkumpul dengan ghairu-muhrim atau bukan muhrimnya (QS Al-Nur: 31).
Kedua, semua bentuk pakaian dengan beranekaragam modelnya dan termasuk dalam kategori baynahuma masih diperbolehkan menurut agama. Yaitu, menutup al-juyub sebagai al-hadd al-adna dan menutup seluruh tubuh kecuali ma dhahara minha sebagai al-hadd al-a’la.
Pribumisasi
Jika memaknai “pembacaan kontemporer” yang dilakukan Shahrour secara letterlijk, kita semua tentu akan dituduh sekuleris, westernis, sampai fasiq (rusak), dan bahkan kafir. Saya menangkap, meski Shahrour menggunakan metode semantik an sich, sehingga Ibrahim Khalifah melihatnya telah menyimpang dari al-mutabadir fi al-fahm (yang tersirat dalam pikiran) hingga lebih dekat kepada kesalahan, saya lihat ada satu hal yang ingin disampaikannya. Yaitu, kebolehan perempuan Islam untuk melepaskan jilbabnya.
Ini bukan berarti saya mendukung gagasan dejilbabisasi yang sering dilontarkan kalangan tertentu. Namun, saya mencoba realistis (?) dalam melihat kompleksitas persoalan kontemporer. Terutama terkait dengan keberadaan perempuan Islam yang bekerja di perusahaan-perusahaan milik asing atau pengusaha pribumi yang anti jilbab atau dalam kondisi yang tidak mendukung pemakaian jilbab.
Sebagai contoh, saya tidak bisa membayangkan bagaimana beratnya para perempuan di NAD yang tidak pernah berjilbab tiba-tiba “dipaksa” Polisi Syariat untuk berjilbab. Atau kasus perempuan di luar NAD yang bekerja di perusahaan asing, yang kebetulan melarang pemakaian jilbab.
Pengusaha seperti ini memang melupakan kebebasan beragama yang memakai jilbab termasuk di dalamnya. Di sisi lain, pengusaha disibukkan dengan pelayanan relasi yang memang westernis dan sekuleris. Ini kenyataan yang sangat dilematis bagi perempuan Islam. Satu aspek mengharuskannya tidak berjilbab, aspek lain (baca: syariat) menuntutnya memakai jilbab. Payahnya, jika pertentangan ini harus diakhiri dengan alienasi perempuan.
Jika kita membaca dari sudut ini, saya kira gagasan yang ditawarkan Shahrour cukup memperoleh relevansinya. Artinya, Shahrour mencoba mencari jalan tengah dari aspek teologis agar perempuan Islam tidak menjadi korban ajaran agamanya sendiri.
Sementara jejaring kapitalisme global tidak bisa dihindari oleh mayoritas umat Islam. Sedikitnya kalangan Islam yang bisa menyediakan pekerjaan atau semakin banyaknya perusahaan nasional jatuh ke tangan asing, apakah kita masih bisa berharap adanya kebijakan yang memungkinkan jilbab tetap eksis?
Persoalannya, jika keluwesan itu tidak ditemukan dan menjadi conditio sine qua non, tidak ada salahnya jika perempuan Islam melirik tawaran Shahrour. Tentu dengan catatan tetap dalam bingkai keindonesiaan yang mengedepankan etika, norma ketimuran yang substansinya tidak jauh dari ajaran Islam. Mungkin saya terlalu condong ke determinisme ekonomi, namun inilah kenyataannya. Wallahu a’lam.