Home » Keluarga » Perempuan » Nia Dinata: “Pendidikan Kritis Sangat Penting Bagi Perempuan”
Nia Dinata on set (Foto: cosmopolitan.co.id)

Nia Dinata: “Pendidikan Kritis Sangat Penting Bagi Perempuan”

5/5 (1)

Anda selalu ingin corak keberagamaan yang kontekstual dengan tingkat keragaman masyarakat Indonesia?

Tentu saja. Dari kecil saya sudah Islam dan percaya Islam walau bukan orang yang 100% religius. Saya memang nggak religius, tapi saya merasa itu adalah hubungan saya yang sangat pribadi dengan Tuhan. Di situ tak boleh ada intervensi orang lain. Saya yakin adanya Allah dan nggak ingin diintervensi orang lain dalam hubungan langsung yang pribadi itu. Saya juganggak pernah konsultasi dengan agamawan. Konsultasinya langsung aja ke Dia, hehe.

Itu tidak hanya saat shalat, di mobil juga bisa. Misalnya saat waktu tersita di mobil kala macet. Saya sering diam dan berusaha untuk kontemplasi dan berdialog dengan-Nya. Tapi itu hal-hal yang sifatnya sangat pribadi. Karena itu, kalau kita menjadikan agama hanya simbol untuk sosialisasi, akhirnya dalam diri kita bisa kosong. Padahal spiritualitas dalam itu yang justru harus kita pelihara. Gitu, kan?

Selalu terjadi konversi-internal dalam cara kita beragama. Misalnya dari toleran jadi tidak toleran atau sebaliknya. Anda mengalami itu?

Banyak yang saya lihat seperti itu. Tapi pada saya pribadi, itu tak terjadi. Mungkin karena saya beruntung banyak diajarkan bertoleransi. Jadinya, semakin ke sini makin toleran. Apa lagi yang kita cari sih dalam hidup ini kalau bukan hidup berdampingan secara damai dan sejauh mungkin menjauhi kekerasan?

Mengapa memilih topik poligami dalam film terbaru Anda, Berbagi Suami?

Sebenarnya yang membuat saya agak gregetan dan punya kekuatan untuk menuangkannya dalam skenario untuk diproduksi, sangat simpel dan sederhana. Saya melihat fenomena itu banyak terjadi di lingkungan saya, sejak supir sampai orang-orang kelas sosial elite.

Dalam diskusi dan omong kosong sehari-hari, terlau banyak pendapat yang mengatakan begini: enak banget jadi orang Islam, karena poligami ibadah. Nah, dari situ saya terusik dan langsung riset; benarkah Islam mengatakan seperti itu?

Saya memang harus riset mendalam, karena sebelumnya tidak adabackground yang kuat. Benarkah Islam begitu? Secara tak langsung, saya tak terima kalau ada banyak omongan seperti itu walau dalam bentuk canda. Kalau lagi ngopi-ngopi, kita selalu mendengar kalau perempuan yang mau dipoligami atau istri yang sudah dipoligami akan dibukakan baginya pintu surga. Padahal menurut saya, masih banyak jalan lain menuju surga; kenapa memilihnya itu? Jadi, saya awalnya gregetan.

Anda ingin mengajukan sudut pandang apa lewat film itu?

Ini bukan film propaganda. Karena itu, saya tetap memilih teknik bertutur lewat bentuk satire-drama. Jadi ini drama yang ada unsur satirenya. Saya ingin mengatakan hidup ini pilihan, karena itu poligami juga pilihan. Kalau laki-laki memilih poligami dan isterinya tidak keberatan, terjadilah tiga pola kehidupan seperti film itu. Ada kehidupan Salma, Siti, dan Ming.

Ketika perempuannya sudah merasa tidak enaknya dipoligami, mereka bisa memilih untuk keluar, seperti Salma. Dia pelan-pelan memilih untuk tidak langsung keluar, padahal dia perempuan mapan. Ini menunjukkan, sebetulnya kemapanan bukanlah tolok-ukur orang menerima atau menolak poligami.

Saya percaya, semapan-mapannya perempuan, selama masih dibesarkan dalam keluarga-keluarga yang sangat kuat unsur patriarkhinya, dia tetap akan terjebak dalam tradisi itu. Tapi kalau dia mulai bisa menentang suami dalam bentuk berbeda pendapat—karakter perempuan itu tidak mau konflik—suaminya akan shock, lalu mati.

Terus, kalau suatu ketika seorang perempuan yang dipoligami mulai merasanggak nyaman, seperti di cerita kedua, dia memilih minggat. Sementara satunya lagi, karena masih muda, memilih untuk memulai hidup baru.

Jadi saya rasa, ini semua pilihan. Tapi inti yang sebenarnya hendak saya katakan, nggak cuma orang Islam yang melakukan poligami, karena itu bagian dari tradisi. Dulu dalam sejarah kita, negeri ini terdiri dari raja-raja kecil yang punya banyak istri atau selir. Jadi itu bukan tradisi mereka yang beragama Islam atau berasal dari suku tertentu saja. Tapi itu fakta dan pilihannya ada di kedua belah pihak.

Ada perkembangan mengembirakan dan mengkhawatirkan di tanah air kita bagi kaum perempuan. Tahun lalu disahkan Undang-undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT). Tapi kini perempuan juga diviktimitasi dan dijadikan kambing hitam kebobrokan moral. Apa usul Anda bagi kaum perempuan Indonesia?

Saya rasa, perempuan tak bisa mengubah nasibnya bagai membalik tangan. Tapi pendidikan sangat penting. Pendidikan yang penting adalah pendidikan kritis seperti banyak membaca buku, berani menuliskan pendapat, dan banyak-banyak komunikasi dengan lingkungan terdekat untuk menuju yang lebih luas.

Sekarang, sudah banyak jalur-jalur pendidikan seperti itu. Medianya banyak tersedia, dan itu harus lebih banyak diisi pendapat-pendapat perempuan. Kalau pendapat perempuan terekspresikan, pasti akan ada yang mendengar. Orang akhirnya juga berpikir dan punya kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan-kesimpulan terdahulu. Jadi saya rasa, pendidikan non-formal yang kritis itu yang justru sangat penting buat perempuan Indonesia.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.