Sementara teori kedua, social construction, berangkat dari keyakinan bahwa adalah benar manusia memiliki seks (biologis/kromosom dan seterusnya) namun manusia bukanlah binatang yang ajek dalam “mengoperasionalkan” seksnya.
Manusia adalah binatang berpikir yang antara lain kemudian berkreasi dengan pemikiran tentang seks (biologisnya/tubuhnya) membentuk seksualitas (bangunan imaginasi, pandangan, nilai baik buruk, kepantasan) yang kesemuanya adalah hasil olah pikirnya sebagai manusia.
Dalam pandangan ini seksualitas adalah sebuah konsep tentang bagaimana seks beroperasi. Pada tubuh lelaki, ngaceng itu biologis, hasrat/instingtif. Tapi bagaimana ngaceng itu dikelola, disalurkan, dinegosiasikan dalam tatanan sebuah masyarakat, itu semua terkait dengan pemikiran, cara pandang, dan bagaimana hasrat itu dipersepsikan untuk bertingkah laku membentuk nilai seksualitas.
Di sini lahir keragaman, tergantung pada nilai, cara pandang, cara pikir manusia tentang seksuaitas. Masuk ke dalam elemen yang mengkonstruksikannya adalah pandangan keagamaan, di luar politik, ekonomi dan relasi kelas sosialnya.
Dalam pandangan kedua ini, kekerasan seksual karenanya bukan terletak pada penisnya melainkan bagaimana pemiliknya, agamanya, masyarakat di sekitarnya, negaranya, membangun pandangan soal seksualitas.
Dalam masyarakat yang membangun konstruksi gender dan seksualitas yang melahirkan sifat, karakter, nilai, persepsi bahwa lelaki adalah maskulin, kuat, gagah, perkasa, macho, berani dan seterusnya, sebaliknya perempuan feminin, lemah, halus, nrimo dan seterusnya, maka seksualitas pun harus diekpreksikan dalam pandangan-pandangan serupa itu.
Jadi ini urusan perkosaan berjamaah bagaimana, tetep nih mau disate penisnya? (LM FB)
Iya bagaimana itu Mbak? Ini urusan kepala, urusan perspektif yang mendasar tentang (cara memandang) perempuan. Kok penis yang dikebiri ya! Penis kan implikasi urusan otak yang sangat misoginis. Jadi, ini urusan sesat pikir. Sebaiknya jangan ditularkan ke publik Indonesia. Nanti sesat pikir semua mereka. (Neng Dara, FB)
Mestinya, tak ada yang keliru dengan maskulinitas dan femininitas sebagai produk kebudayaan manusia sejak zaman purba. Maskulinitas dan femininitas ini nyatanya juga diterjemahkan dalam praktik sosial berbasis pandangan keagamaan – lelaki mendapat warisan lebih karena harus melindungi klannya/baninya, kawin sebagai akad kepemilikan buthi (kelamin) karena lelaki mencari nafkah dan seterusnya.
Pada era Wild-Wild West, di mana maskulinitas membutuhkan wujud kejantanan seperti sifat pemberani dan macho aka ekspresi kejantanan/maskulinitas, boleh jadi memiliki konteksnya. Namun dalam perkebangan peradaban, seksualitas pun ikut masuk sekolah. Lahir nilai-nilai kepantasan baru dan terus berkembang mendefinisikan kembali maskulinitas lelaki.
Kekerasan seksual itu buruk, bukan tanda kegagahan, memperkosa itu bentuk penindasan yang menunjukkan adanya relasi timpang antara pelaku dan korban. Kekerasan seksual adalah bentuk penyerangan kepada intergritas perempuan dengan memanfaatkan kelamin sebagai sasaran penyerangan dan penaklukan.
Dengan cara pandang serupa itu, penghukuman berupa pemasangan chip kepada pelaku kejahatan pedofilio atau hukuman kebiri dan hukuman mati bukanlah hukum yang tepat. Sebab, hukum serupa itu mengabaikan seluruh fakta bahwa seksualitas bukan soal tubuh biologis melainkan soal kontsruksi maskulinitas sesat yang dikultuskan.
Kutuk Maskulintas dan Ketidakhadiran Negara.
Dunia yang patriarkis adalah penjara abadi bagi para lelaki.Betapa berat menjadi seorang lelaki: menangis saja tabu. Kalah itu memalukan. Menganggur dan mengurus rumahtangga, itu akhir zaman. Ditolak cinta oleh perempuan? Alangkah nista. (Baginya) Perempuan itu layak diberi pelajaran yang takkan pernah sanggup ia lupakan!
Tindak kekerasan seksual adalah “the last resort” yang diakomodasi oleh sebuah budaya dan sebuah sistem (maskulinitas patriakh) yang mampu menghancurkan generasi demi generasi. Senjata makan tuan! (Jane Ardaneshwari, FB 18 Mei 2016)
Siti Maimunah dari Sayogyo Intsitute menggambarkan dengan sangat jernih tentang kasus YY dalam konteks kemiskinan yang menyejarah di Rejang Lebong. Intinya adalah para lelaki dan anak lelaki luar biasa didera untuk tetap tegar sebagai maskulin dalam lanskap politik ekonomi yang mengekpoitasi ruang hidup mereka habis-habisan sejak zaman Kolonial, ketika buruh perkebunan dihadirkan hingga kini, ketika tanah-tanah dikupas, digali dan diekploitasi untuk industri ekstraktif.
Dalam situasi ekonomi yang berubah namun tata nilai yang terjadi justru semakin ketat / konservatif, sebagai mekanisme pertahanan dalam involusi pertanian/kebudayaan (sebagaimana dikemukakan Geertz) para lelaki muda harus menunjukkan kejantanan mereka, tanpa ada peluang untuk menunjukkan kejantanan sejatinya akibat kemiskinan akut, tanpa pendidikan, tanpa hukum.
Kekerasan seksual berupa perkosaan atau perkosaan berjamaah dalam sejarah Indonesia merupakan mekanisme pengecut yang juga dilakukan negara atau badan non-negara seperti dalam sejarah konflik-konflik di Indonesia. Dalam PRRI, DOM, Mei ‘98 atau dalam konflik perebutan tanah kekerasan seksual dan perkosaan merupakan mekanisme yang digunakan untuk penaklukan dan penghancuran mental lawan negara.
Walhasil kita kini berada dalam situasi darurat ketika negara akhirnya pasrah pada bentuk penghukuman yang mungkin populer, namun sesungguhnya terjerembab ke dalam rezim seks biologis akut.
Dengan ditandatanganinya Perppu kebiri kimia hari ini oleh Presiden menandakan bahwa, kekerasan seksual tidak dilihat sebagai konsep penyerangan atas tubuh manusia melalui tindakan seksual melainkan semata-mata soal libido—yang sebetulnya adalah mitos belaka.
Kedua, kekerasan seksual tidak dilihat sebagai diskriminasi gender atau kekerasan berbasis gender, sebab hanya reaksi atas serangan seksual pada anak-anak. Padahal kekerasan berbasis gender rentan terjadi pada anak-anak perempuan. Selain itu, tidak adanya perhatian pada perempuan dewasa menunjukkan bahwa persepsi atas kejahatan kemanusiaan ini hanya berlaku pada anak-anak.
Ketiga, suntik kebiri sebetulnya adalah terapi yg menjadi bentuk rehabilitasi, bukan efek jera. Keempat, sejumlah ilmuwan dan lembaga negara hak asasi manusia diabaikan ketika memiliki analisis khusus tentang perspekitf kejahatan kemanusiaan; bahwa kebiri bukan peraturan yg tepat, justru terjebak pada salah kaprah atas kasus kekerasan seksual.
Terakhir, revolusi mental dalam program Nawacita tidak memiliki konsep yg jelas, sebab aturan kebiri justru tidak mengubah mental pelaku, karena dipikirnya hanya soal kelamin saja. Revolusi mental tidak tampak pada kebijakan yang tak menggunakan logika. Semakin tenggelam. Presiden dan kabinetnya masih terbata-bata dalam menerjemahkannya ke dalam aturan dan program. Semua hanya diputuskan berdasarkan suara terbanyak yang sangat konvensional—jauh dari makna revolusi. Jauh dari makna pembaruan. Sayang sekali (Mariana Amirudin, FB, 25 Mei 2016).
Kekecewaan sebagaiman dikemukakan aktivis perempuan, Mariana Amruddin, niscaya tak berlebihan. Bagi saya, hukuman tubuh, hukuman mati dan kebiri untuk kejahatan seksual hanya pantas terjadi dalam negara yang pasrah dan kehilangan akal atas terjadinya ketidakadilan; negara tak sanggup mengatasi situasi kemiskinan akut, pendidikan buruk, agama yang kehilangan inti ajarannya, penegakan keadilan kendor, keluarga kocar kacir akibat sistem sosial yang morat-marit, ikatan-ikatan keluarga hancur oleh perubahan perubahan sosial-ekologis yang dahsyat, dan kegagalan dalam memaknai masukulinitas sejati. []
Bogor 27 Mei 2016