IslamLib – “Gue enggak percaya kalau kita berasal dari tanah, gue kan berasal dari sperma. Mungkin iya, gue mati jadi tanah.” Perkataan ini keluar dari mulut teman saya ketika kami sedang berbincang-bincang tentang kekuasaan Ilahi.
Sebagai bangsa Indonesia yang dipayungi Pancasila, kami tentunya bertuhan dan (harus) beragama, agama kami adalah agama mayoritas penduduk Indonesia yaitu Islam.
Agama Islam sendiri memiliki tiga sumber hukum Islam sebagai pedoman sehari-hari kita bertindak yaitu Alquran, Hadis, dan Ijtihad. Merujuk pada sumber pertama yaitu Alquran tentang penciptaan manusia, esai kali ini akan membahas tanah sebagai tempat manusia berasal, hidup dan mati.
Budaya patriarki menonjolkan penciptaan manusia yang sibuk berdebat tentang penafsiran literal terhadap air mani sebagai awal penciptaan manusia, bukan kepada tanah. Dan ayat yang dirujuk adalah surat Al Mu’minun Ayat 12-16 berisi:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan nuftah dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat. [Al Mu’minun: 12 – 16]
Kebanyakan Tafsir akan merujuk pada penciptaan manusia secara aktif dari air mani (sperma) menyampingkan tahapan pertama bahwa manusia berasal dari saripati tanah. Memang lebih mudah bagi kita untuk memaknai penciptaan manusia yang berasal dari air mani karena pernyataan tersebut muncul secara harafiah.
Silakan lihat di buku-buku agama pelajaran SD-SMP-SMA, semua menjelaskan bahwa Alquran secara nyata menjabarkan penciptaan manusia oleh air mani. Hanya sedikit saja yang menyinggung tanah dalam penciptaan manusia.
Sehari-hari kita menjejak bumi, tanah, dunia. Kita tidak pernah jauh dari tanah. Apapun yang kita makan semuanya berasal dari tanah. Air yang kita minum, pada labelnya terpampang jelas “Sumber mata air pegunungan”.
Sapi dan kambing yang dikurbankan kemarin, sehari-harinya menyantap rumput yang tumbuh di atas tanah. Bahkan beras yang kita makan setiap hari, tumbuh di atas tanah. Kita tidak bisa hidup tanpa tanah. Kita memang tergantung dengan tanah.
Dalam studi ekofeminisme, tanah merupakan representasi dari tubuh perempuan. Karena merujuk pada ayat tersebut, tanah adalah segalanya. Tanah adalah tempat darimana kita berasal. Tanah adalah rahim, tanah adalah tubuh perempuan.
Kata Dunia yang kita kenal sekarang pun berasal dari serapan bahasa Turki yaitu Dunya. Dunya adalah nama dari perempuan cantik. Mengapa perempuan? Karena tubuh perempuan bukan saja lambang kesuburan tapi perempuan adalah kesuburan itu sendiri.
Betapa terpananya orang-orang dari jazirah Arab melihat keindahan alam Indonesia di mana sungai-sungai mengalir jernih, bukit hijau terhampar. Indonesia adalah citra surga yang kitab suci ceritakan.
Maka apa lagi yang hendak kita sangsikan dari krusialnya tanah dalam hidup kita?
Mungkin kita harus merevisi buku-buku pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah untuk kembali memahami dan mengajarkan pemahaman akan posisi perempuan dan status tubuh perempuan yang justru paling berperan dalam proses penciptaan manusia.
Bahwa tubuh perempuan adalah sebuah berkah kesuburan, bukan aib. Jadi tidak perlulah ditutup-tutupi.
Masih hangat dalam benak saya puisi “Di Negeri Tujuh Ribu Rok” karya Zubaidah Djohar. Selama ini kita menganggap posisi perempuan sebagai subordinat, pelengkap tulang rusuk.
Sedangkan pada kenyataannya kamu tidak bisa hidup tanpa perempuan, tanpa tubuhnya. Tanpanya bahkan kamu tidak bisa lahir ke dunia ataupun bertahan di sana. Dan tanpa tubuh perempuan, (D)unia tidak ada.[]