Satu lagi kejumudan modernisme semakin memperoleh afirmasi, dan kini diperlihatkan oleh sebuah gerakan Islam modernis bernama Muhammadiyah, yang terjebak dalam perangkap imperialisme dan ideologi.
Mentahbiskan diri sebagai gerakan tajdid dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah seolah seperti Portugis atau Spanyol, yang merasa mempunyai legitimasimission sacre dari Paus untuk menguasai belahan dunia Timur dan Barat.
Kekuatan imperialis yang memperoleh “mandat Tuhan” untuk melakukan hegemoni, kolonisasi, dan penindasan demi keutuhan dan kemurnian Islam yang sebenar-benarnya.
Mendasarkan diri pada “kegagahan” kacamata kuda dari logika positivistik yang hanya mengetahui satu sumber kebenaran, arus utama yang kini mendominasi Muhammadiyah selalu memahami dan menempatkan realitas kehidupan dalam dua sisi yang saling bertentangan secara diametral.
Suatu pendekatan oposisi biner yang membagi dunia dalam dua kutub plus minus, sekali dan selamanya. Tidak lebih tidak kurang. Melalui pendekatan ini, Islam dan realitas keber-islam-an mengalami simplifikasi ke dalam dua polar: yakni “Islam murni” versus “bukan Islam murni”. Seluruh kualitas dan karakteristik yang disandarkan pada dua polar tersebut mengikuti model oposisi biner.
Islam murni adalah satu-satunya paham keagamaan dan cara beragama yang dipandang ortodoks (murni dan utuh), sementara lawannya adalah paham dan cara yang telah terkontaminasi atau tercampuri unsur-unsur asing, dan karenanya disebut heterodoks atau sinkretis.
Bertolak dari klaim ortodoksi itulah Islam murni memperoleh justifikasi dan legitimasi untuk melakukan hegemoni. Hegemoni nampak pada proses pengarus-utamaan paham keagamaan tersebut atas paham-paham yang bercorak lain atau keluar dari mainstream dalam Muhammadiyah.
Meskipun untuk keberhasilan upaya hegemoni ini ia harus memanipulasi diri sebagai paham keagamaan tanpa mazhab, namun sesungguhnya lebih menyandarkan diri pada paham keagamaan a la wahabi (sebagian menyebutnya salafi) dengan daya dukung struktural untuk memberangus sang “lian” (the other).
Atas dasar kemurnian itu pula paham mainstream ini merasa berhak untuk melakukan kolonisasi dan penindasan secara fisik dan atau psikis pada mereka yang secara aqidah (thought), ibadah (action), maupun jamaah (fellowship) tidak sejalan dengan MKCH (matan keyakinan dan cita-cita hidup), masa`il al-khamsah (agama, dunia, ibadah, sabilillah, dan qiyas), muqaddimah anggaran dasar, Himpunan Putusan Tarjih, dan sebagainya.
Sifat-sifat hegemonik-imperialistik Islam Murni tidak cukup sampai di situ. Beberapa di antaranya dapat dilihat pada beban teologis yang dipikul di pundaknya. Pandangan teologis yang berpijak pada misi suci ar-ruju ila al-Qur’an wa as-Sunnah, membuat Muhammadiyah terbebani tanggung jawab mempertahankan Islam Murni itu.
Dengan basis Islam Murni ini pula, para penganjurnya “menuduh”, mendiskreditkan “Muslim lain”, “Muhammadiyah lain” yang tidak sepaham sebagai “heresy” yang dipenuhi takhayul, bid’ah dan khurafat (TBC), dan karenanya dapat dianggap sesat (dhalalah). Sebuah klaim kebenaran (truth-claim) yang pada akhirnya mesti diiringi dengan penilaian bahwa mereka yang dhalalah itu akan dijerumuskan ke dalam dan distempel sebagai penghuni neraka.
Hanya Islam murni satu-satunya jalan yang menjamin keselamatan (salvation-claim). Karena itu, para pendukungnya yang fanatik merasa bertanggung jawab untuk menegakkan dan menjunjung tinggi Islam Murni, serta memandang perlu untuk mengislamkan kembali dan atau memproselitisasi mereka yang tersangka tidak islami, amoral, atau dalam kesesatan.
Inilah yang secara istilahi dapat disebut sebagai Islam Murni’s burden, tanggung jawab “memperadabkan” individu maupun kelompok yang menyimpang dari jalan lurus mereka.
Dari sini nampak bahwa ada “kegairahan” yang terus menyala pada Islam murni untuk tetap dominan dan memegang supremasi terhadap mereka yang marginal dan pheriperal. Adalah faktual bahwa para penganjur Islam Murni melakukan diskriminasi atas nama paham dan praktek keagamaan.
Islam populer, Islam tradisi, Islam liberal, dan sebagainya, diposisikan pada level bawah cara beragama, atau bahkan bid’ah yang merusak tatanan (kosmos) agama, menurut kacamata Islam Murni. Dengan demikian, Islam Murni adalah satu-satunya cara beragama yang benar dan karenanya lebih superior dibanding cara dan “jalan lain ke sana” (baca: menuju keselamatan), meminjam judul sinetron Chaerul Umam.
Sebagaimana layaknya rezim kolonial, Islam Murni juga menarik garis batas tegas antara “mereka” dan “kami”. Inilah segregasi yang sengaja diciptakan melalui pendekatan dan istilah yang cukup populer di kalangan mereka, yakni “minna” wa “minhum”.
“Minna” adalah representasi golongan kanan (ashab al-yamin), kelompok dengan klaim kebenaran absolut; dan “minhum” sebagai wakil golongan kiri (ashab asy-syimal), kelompok sekte/sempalan dan penuh kesesatan (ahl al-bid’ah wa adh-dhalalah). Beban teologis semacam ini membawa pembenaran bagi mereka untuk “membabat secara arif” kelompok-kelompok semacam itu di luar Islam Murni.
Di usianya yang satu abad, introspeksi adalah keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar. Boleh jadi, Muhammadiyah merasa semakin beranjak dewasa, atau bisa juga sudah menjadi tua bangka dan “loyo” untuk terus bertajdid (too old to be reformist).
Ini semua berpulang para para penganutnya yang setia. Yang jelas, setelah melalui perjalanan panjang sepuluh dasawarsa itu, Muhammadiyah rupanya semakin mengkristalkan diri sebagai kekuatan ideologis, yang dipahami dalam bahasa Karl Mannheim. Yakni ideologi lebih dimaknai dan nampak sebagai battle cry atau arena propaganda.
Organisasi yang dibidani oleh Kyai Ahmad Dahlan ini, kini menyatakan perang dan melakukan propaganda (iman) yang berusaha membentuk opini tentang isu-isu tertentu yang boleh dan tidak boleh diperdebatkan, absah dan tidak absah untuk dikritik dan diubah. Atas nama misi suci ar-ruju` ila al-Qur’an wa as-Sunnah dan slogan TBC, mereka dapat memobilisasi massa, membentuk opini publik, memolitisir kekuasaan untuk “berjuang demi” atau “menentang terhadap”.
Artinya, dengan keyakinan mempertahankan, menegakkan dan menjunjung tinggi Islam murni, apapun perlu dilakukan sembari mengenyahkan kekuatan-kekuatan yang dipersepsi sebagai penghalang atau duri bagi tujuan luhur ini.
Nampaknya belum terbersit dalam pikiran dan nurani kelompok pendukung ideologi Islam murni ini untuk mendudukkan ideologi lebih sebagai masalah “partisipasi” (daripada dominasi atau manipulasi), sebagaimana dipahami Gramsci dan Bakhtin.
Dalam arti luas, ideologi lebih merupakan persoalan “pandangan dunia” (worldview) daripada propaganda partisan. Jadi, ideologi adalah sistem kepercayaan yang komprehensif yang diikuti oleh berbagai kelompok sosial, dan dengan berbagai macam alasan. Meminjam analisis tersebut, seyogyanya Muhammadiyah menempatkan diri sebagai tenda besar bagi keragaman kelompok pendukung dan simpatisannya.
Semua individu dan kelompok memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam rangka memberikan kontribusi untuk mendefinisikan “apa”, “siapa” dan “bagaimana” menjadi Muhammadiyah. Bukan mempropagandakan paham arus utama yang disebut Islam murni itu, dan meminggirkan mereka yang berbeda. Taruhlah misalnya, rezim Islam murni merasa perlu menggusur kelompok berhaluan `irfani atas nama ideologi Muhammadiyah yang dipahami secara sempit.
Wacana Dakwah Kultural yang berkembang dalam sidang Tanwir Muhammadiyah di Bali pada 24-27 Januari 2002, merupakan lompatan ide yang patut dihargai. Karena gagasan ini merupakan gejala awal lahirnya “ijtihad ketiga”. Momentum ini dapat menjadi pendulum pemecah es kejumudan tergantung pada bagaimana respon dan tindak lanjut dari pimpinan dan warga Muhammadiyah sendiri.