Home » Lembaga » Muhammadiyah » Ujian Buat Din

Ujian Buat Din

3/5 (1)

Inisiatif untuk membantu orang yang sedang susah, baik bagi yang mengaku beragama ataupun tidak, tentu akan berbilang kebajikan. Kalau inisiatif itu diamalkan, ia tentu akan berbuah pahala di akhirat dan pujian di dunia. Namun, kali ini nasib baik tidak berpihak kepada Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah). Iktikad baiknya untuk membantu orang susah justru dihujat sumpah serapah.

Kisah tragis itu bermula ketika Din menggelar pertemuan tokoh-tokoh lintas agama di gedung PP Muhammadiyah, Rabu (21/12) kemarin, tepat empat hari menjelang Natal. Saat itu, salah seorang pengurus gereja berkeluh-kesah karena kesulitan mencari tempat ibadah untuk merayakan Natal.

Respon Din sangat manusiawi dan agamawi, “Kecuali masjid, semua fasilitas Muhammadiyah bisa dipinjam untuk keperluan Natal.” Dengan sedikit penekanan, dia yang berwajah simpatik menambahkan, “Ini perintah Ketua Umum Muhammadiyah kepada seluruh pengurus Muhammadiyah di daerah.” (Jawa Pos, 22/12).

Pernyataan Din itu tampaknya bukan sekadar warta, tapi titah Ketua Umum PP Muhammadiyah. Titah itu sudah semestinya dianggap bijak, simpatik, dan heroik. Ini kejutan baru dan termaju yang pernah dilontarkan Din dalam merespon keadaan sosial-keagamaan kita dewasa ini. Sebab tahun ini, sebagaimana tahun sebelumnya, NU pun hanya menurunkan Banser untuk mengamankan perayaan Natal.

Namun untuk disebut terlalu maju, tentu saja tidak. Lima belas abad lampau, dengan konteks yang agak berbeda, Nabi Muhammad pun telah menyediakan masjidnya di Madinah untuk kebaktian delegasi Nasrani Najran yang dipimpin Abu Al-Harits.

Kanjeng Nabi menyediakan satu hamparan di dalam masjid, bukan sekadar menawarkan gedung, ruang pertemuan, rumah, barak, atau tempat-tempat “sekuler” lainnya buat digunakan sebagai tempat kebaktian.

Namun sudahlah! Untuk Din, pernyataan itu sudah bisa dianggap maju, meski menantang arus. Karena itu, tak heran banyak pihak yang kaget dan ragu. Ujaran spontankah atau pernyataan serius? Bisa dimengerti, dengan pernyataan itu, Din telah melawan arus besar konservatisme yang selama ini melingkupinya.

Tapi, dengan mengecualikan masjid dari tawaran acara Natal, Din sudah menunjukkan penilaian yang cermat dan penuh sadar akan kondisinya. Din memang tak ingin membanting kendali, lalu melawan arus. Din mungkin saja sedang bertekad membangun aliansi strategis agar tak terlalu diombang-ambing oleh arus besar yang mengepungnya. Itu artinya, Din memang serius dengan tawarannya.

Selain itu, titah Din juga terhitung lumrah. Ia adalah seorang pemimpin sebuah ormas keagamaan yang selama ini dikenal moderat dan sangat peduli terhadap masalah-masalah sosial anak bangsa. Lebih dari itu, Din adalah Ketua IComRP(Indonesian Commission on Religion and Peace), salah satu wadah komunitas lintasagama di Indonesia.

Kepedulian atas nasib para penganut agama menjadi salah satu titik perhatian IComRP. Ketika beberapa waktu lalu tersiar kabar penutupan rumah tinggal yang terpaksa dijadikan gereja dengan cara kekerasan, Din termasuk orang yang menentang.

Ketika tuntutan pengusiran atas JIL menguat, Din ikut menolak sembari berkomentar bijak: “Janganlah dalam kehidupan masyarakat yang plural ini, kita saling usir-mengusir. Kita harus membangun kehidupan bersama yang santun, dialog terbuka, dan betul-betul menerapkan toleransi yang riil.”

Tragisnya, iktikad baik Din justru mendapat penolakan dan hujatan dari dalam dan luar lingkungan Muhammadiyah. Titah Din, dibantah mentah-mentah oleh bawahan, rekan, dan sejawatnya. Mereka seakan-akan tak sudi bila Din berbagi empati dan solidaritas dengan pihak lain.

Malang bagi Din, ia tak punya kharisma sekuat Syafi’i Ma’arif, pendahulunya di Muhammadiyah, atau Gus Dur, punggawa NU, yang titahnya tak bisa sekonyong-konyong ditampik lingkungan internalnya.

Tapi yang tetap disayangkan, menghadapi derasnya penolakan dan hujatan, iktikad Din bukan hanya surut, tapi juga tampak kedodoran. Dia seolah menyerah kalah. Padahal, kalau ia benar-benar sadar kalau titahnya akan menebar benih-benih kebajikan dan toleransi, tentu ia tak perlu mudah menyerah.

Karena itu, komitmen Din yang surut absah juga dipertanyakan. Mengapa ia begitu gampang mundur, padahal membangun lembaga keagamaan yang otoritatif, independen, dan moderat, pastilah diperlukan komitmen dan perjuangan yang sungguh-sungguh.

Di tengah derasnya arus terorisme dan radikalisme agama, komitmen Din yang sempat menyejukkan hati itu, tentu harus terus-menerus didorong, meski ia tak akan pernah lepas dari ujian. Semoga Din selalu kuat!

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.