IslamLib – Tanggal 25-28 Mei 2006 lalu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengadakan ijtima’ di Pondok Modern Gontor Ponorogo, dan mengeluarkan 19 butir fatwa. Hampir bersamaan dengan itu, The Wahid Institute juga mengeluarkan sebuah buku yang berjudul “Kala Fatwa jadi Penjara”. Buku ini merupakan respon dari kalangan kelompok-kelompok Islam yang kritis terhadap gejala-gejala fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Berikut perbincangan Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal dengan Ahmad Suaedy dari The Wahid Institute.
Setelah era reformasi fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI kesannya menjadi penting di masyarakat, bukan karena ia otoritatif, tapi karena dampaknya yang menghawatirkan. Bagaimana pengamatan Anda?
Secara keagamaan, fatwa mestinya tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Karena fatwa hanya mempunyai kekuatan semacam seruan moral, atau himbauan moral. Jadi tidak ada kewajiban untuk mengikuti. Karena itu sifat fatwa tidak mengikat. Misalnya ada fatwa yang menganggap pemahaman orang lain kafir.
Selama kita memahami fatwa seperti itu tidak wajib dan tidak mengikat, maka fatwa itu tidak akan memiliki kekuatan sama sekali. Lagi pula, pada asalnya kafir itu adalah stigma politis. Oleh karena itu, fatwa menjadi penting bukan karena subtansi fatwanya secara keagamaan tapi karena konteks politiknya.
Anda melihat fatwa-fatwa MUI mungkin tidak terlalu memperhatikan. Fatwa tentang halalnya budi daya kodok mungkin orang tidak terlalu peduli, tapi ketika fatwa itu menyangkut misalnya sesatnya kelompok Ahmadiyah. Kemudian ada situasi di mana orang sedang agresif menyerang kelompok lain yang berbeda, dampaknya luar biasa?
Ya, saya kira ada beberapa hal untuk bisa dilihat. Yang pertama, adalah bahwa politisasi dari fatwa itu misalnya karena Majelis Ulama Indonesia menjadi bagian dari atau setidak-tidaknya lembaga yang diangkat oleh pemerintah, dan mendapat dana dari pemerintah. Jadi bobot fatwa itu sendiri memberikan bobot politik.
Apalagi dikaitkan dengan pertarungan dengan politik di dalam, misalnya di dalam Departemen Agama antar kelompok, antar agama dsb. Jadi fatwa itu lahir bukan hanya karena fenomena di dalam masyarakat tetapi untuk merespon pertarungan politik internal.
Yang kedua, dari sudut politik identitas. Fatwa menjadi salah satu ritme dari peneguhan identitas. Tentu saja, identitas Islam dalam pengertian dan tujuan tertentu pula dalam konteks ini.
Jika sebagai politik identitas, fatwa ini bisa berlawanan dengan identitas-identitas lain?
Tepat, tidak hanya berhadapan, namun juga adanya kekerasan untuk melenyapkan identias-identitas lain. Karena itu dengan fatwa-fatwa MUI itu, kelompok-kelompok yang selama ini mengklaim paling Islam dan kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan—atau yang sering disebut “preman berjubah” mendapat dorongan moral dan kekuatan baru untuk melakukan itu.
Bahwa fatwa MUI telah melakukan penyesatan terhadap kelompok lain yang dipandang berbeda, dan meyakini pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Nah atas dasar fatwa MUI ini mereka melakukan aksi-aksi kekerasan.
Salah satu poin dalam buku “Kala Fatwa Jadi Penjara” mengulas bahwa karakter fatwa MUI sangat eksklusif. Apa sebabnya menurut Anda?
Salah satu sebab saya kira karena latar belakang sosio-politik fatwa itu ketika keluar, yaitu perebutan akses politik. Lebih dari itu, saya kira ada yang berbeda dalam tradisi fatwa. Misalnya antara tradisi fatwa NU dan MUI. Saya ingin memberi contoh di NU, biasanya NU kalau mengeluarkan fatwa atau dalam Bahtsul Masail ada alasan rasionya, ada ‘illat hukumnya. Kemudian juga tidak hanya memberi satu vonis, misalnya seperti fatwa MUI yang hanya mengenal kalau tidak haram ya sesat.
Dalam NU tidak seperti itu. Misalnya hukum bunga bank di NU kalau tidak salah ada 4 hukum. Jadi tidak hanya hukumnya haram saja seperti fatwa MUI itu. Nah, bagi saya tradisi fatwa di MUI ini adalah tradisi fatwa Wahabi. Dua alasan tersebut yaitu perebuatan akses kekuasaan dan perbedaan tradisi fatwa MUI yang memberi corak fatwa-fatwa itu eksklusif.
Khaled Abu el Fadl pernah melakukan studi kritis terhadap fatwa-fatwa ulama Wahabi. Dia membedakan antara fatwa yang otoriter dengan fatwa yang otoritatif. Mas Suaedy melihat jenis fatwa-fatwa MUI setelah reformasi ini?
Ada perbedaan antara MUI era Orde Baru dengan Era Reformasi ini. MUI Orde Baru praktis di bawah kendali Soeharto. Dalam pengantar buku ini dijelaskan bahwa MUI dibentuk atas dasar kepentingan Soeharto. Nah, sekarang MUI tidak bisa dikendalikan lagi oleh pemerintah. MUI sekarang bersifat ormas. Jadi kalangan MMI, FPI, HTI dan lain-lain semuanya masuk. Kalau ada sidang-sidang semua organisasi itu memiliki utusan yang sama.
NU meskipun mempunyai jutaan umat utusannya sama dengan yang lain. Demikian halnya nasib Muhamadiyah. Dan saya melihat produk fatwa MUI itu mayoritas berasal dari agenda kelompok-kelompok kecil yang tidak memiliki banyak umat. Sayangnya utusan-utusan NU dan Muhamadiyah di MUI hanya ikutan-ikutan saja.
Ketika MUI mengharamkan “sekularisme” berarti ia tidak bisa membedakan antara otoritas politik dan otoritas agama. Berarti yang diinginkan MUI adalah penyatuan antara otoritas politik dengan otoritas agama, artinya kan teokrasi. Apa seperti itu kira-kira yang bisa kita pahami dari fatwa itu?
Saya kira itu. Dalam teori politik identitas kita dikenalkan ancaman mergernya dua absolutisme. Absolutisme agama dan absolutisme nasionalisme atau kekuasaan. Jadi inilah pentingnya kita bicara tentang MUI bukan hanya dari fatwanya, tapi juga dari konteks politiknya. Jadi kalau dua absolutisme itu bertemu, apalagi kalau ada satu lagi absolutisme modal, kita sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi.
Misalnya kita lihat, Wahid Institute yang kebetulan melakukan riset tentang itu, beberapa SK Bupati dan Walikota yang melarang kelompok tertentu di kotanya dan mereka memakai konsideran dari fatwa MUI ini. Jadi menurut saya kalau kita bicara soal demokrasi ini ancaman yang cukup berbahaya. Jadi kalau kita berbicara NKRI tidak cukup hanya Pancasila dan UUD 1945, secara formal dan simbolik. Tapi kita harus bicara detail soal mergernya dua absolutisme ini.