Usulan Adhie Massardi, mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, agar para ulama yang akan menjadi pengurus MUI melalui proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test), saya kira patut didengar. Meski kelihatannya main-main, ide itu sesungguhnya memiliki alasan kuat dan masuk akal.
MUI kini bukan sekadar lembaga fatwa yang hanya mengurusi persoalan keagamaan kaum muslim, tapi sudah mencampuri urusan sosial, politik, dan pemerintahan. Dan karenanya, ia telah menjadi lembaga publik yang memiliki implikasi bagi orang banyak.
Suara MUI, misalnya, cukup kuat mempengaruhi kepolisian dalam urusan pemberantasan judi dan pelacuran. Suara MUI juga telah mempengaruhi batalnya pembentukan tim kecil dalam mengatasi persoalan judi di Jakarta. Dan yang terbaru, suara MUI juga dijadikan bahan pertimbangan bagi Mahkamah Agung untuk memutuskan perkara “aliran sesat” dalam Islam (kasus Ahmadiyah).
Benar bahwa masalah judi, pelacuran, dan “aliran sesat,” adalah persoalan menyangkut urusan agama. Tapi, masalah ini juga sangat erat terkait dengan isu kebebasan, hak-hak warga negara, dan aturan ruang publik secara umum.
Di sinilah letak masalahnya. Pada satu sisi, MUI berperan sebagai lembaga keagamaan yang fungsinya sebatas mengurusi persoalan internal kaum muslim, sebuah fungsi yang mirip dengan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) bagi umat Katolik atau PGI (Persatuan Gereja-gereja di Indonesia) bagi umat Protestan. Tapi pada sisi lain, MUI kerap kali diposisikan –atau merasa dirinya– sebagai sebuah lembaga penasehat pemerintah.
Tentu saja, tak ada salahnya jika MUI berusaha memosisikan diri sebagai penasehat pemerintah, misalnya seperti Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada zaman Soeharto dulu. Dan juga tak ada salahnya jika pemerintah menganggap MUI seperti itu. Tapi, tentu saja, harus ada aturan main yang jelas.
Jika MUI memang diposisikan –atau menganggap dirinya– sebagai penasehat pemerintah, maka ia haruslah dikelola secara profesional dan harus tunduk pada aturan ketatanegaraan modern.
Usulan uji kelayakan dan kepatutan bagi MUI itu adalah salah satu mekanisme yang harus dijalankan jika MUI memang merasa berfungsi seperti itu. Orang-orang yang masuk ke lembaga itu harus benar-benar diseleksi dan sesuai dengan keinginan publik; jangan lagi karena alasan pertemanan atau jaringan organisasi Islam.
Jika MUI diposisikan sebagai lembaga penasehat pemerintah, maka orang-orang yang berada di sana haruslah betul-betul ulama par excellence, ulama yang memang sudah terbukti keilmuan (‘ilm) dan kebijaksanaannya (hikmah). Ulama bukanlah sekadar ustad atau penceramah, atau “tukang pidato” yang bisanya cuma mengompori umat Islam.
Ulama berkaitan dengan ilmu. Karenanya, ia haruslah dibuktikan dengan syarat-syarat keilmuan. Dan harus ada sebuah tim atau lembaga khusus yang menangani hal ini. Selama ini, pemilihan pengurus MUI salah kaprah. Mereka dipilih bukan karena keilmuannya, tapi karena posisinya sebagai wakil organisasi Islam tertentu.
Malangnya, banyak wakil organisasi itu adalah pejabat struktural di masing-masing organisasinya yang tampaknya lebih pandai berpolitik ketimbang berilmu. Karakter politikus yang mereka miliki kemudian ikut terbawa ketika mereka berada dalam MUI.
Lewat proses uji kelayakan dan kepatutan, hasrat-hasrat politik dan kekuasaan para petualang agama mestinya bisa diminimalisir, jika tak bisa dihilangkan sama sekali. Proses semacam itu akan menjadikan MUI sebagai lembaga profesional yang dihuni hanya oleh orang-orang yang pantas dan sesuai dengan keinginan publik.
Ilmu berkaitan dengan akal-pikiran, dan bukan dengan retorika, panjangnya sorban, atau rapinya baju koko. Selama ini kita terlanjur salah dalam mempersepsi ulama. Ulama adalah orang yang berilmu, yang menguasai persoalan dari berbagai sudut-pandang. Hanya orang yang memiliki pandangan komprehensif yang dapat memutuskan sesuatu secara bijak.
MUI dalam strukturnya sekarang telah memperlihatkan sikap arogan dan merasa paling benar sendiri. Sikap arogan ini bukan hanya buruk, tapi jelas membahayakan. Fatwa tentang “aliran-aliran sesat” yang mereka keluarkan, baik terhadap Ahmadiyah maupun terhadap gerakan-gerakan yang menyokong liberalisme, sekularisme, dan pluralisme, jelas keluar bukan dari sebuah ijtihad yang bijak, tapi dari rasa permusuhan, kebencian, dan amarah.
Kebencian dan amarah memang selalu menutupi akal sehat dan kewajaran. Akibat sikap emosional itu, MUI tak menyadari bahwa fatwa mereka tentang haramnya pluralisme dan liberalisme telah melanggar Pancasila dan UUD 1945.
Pancasila adalah sebuah ideologi yang jelas-jelas mengusung pluralisme. Bhinneka Tunggal Ika adalah pengejawentahan faham pluralisme. Begitu juga, kebebasan adalah cermin dari Pasal 28 (tentang kemerdekaan mengeluarkan pikiran) dan Pasal 29 (kebebasan agama) UUD 1945. Dan MUI dengan segala kejahilannya telah mengabaikan dua pasal penting ini.
Saya kira, memang sudah saatnya ada perubahan dalam MUI. Kalau lembaga ini ingin terus dipertahankan, saya kira, harus ada mekanisme baru dalam memilih para anggota MUI. Kita tak ingin memiliki ulama yang fatwa-fatwanya meresahkan masyarakat.