Pertimbangan fikih tentang halal dan haramnya suatu produk makanan dan minuman terhitung cukup sederhana, bahkan tak perlu menunggu labelisasi segala. Beberapa kaidah fikih bahkan percaya bahwa naluri manusia yang normal dapat membedakan mana barang yang halal dan baik untuk mereka konsumsi dan mana yang tidak. Jika demikian halnya, apakah sertifikasi dan labelisasi halal masih diperlukan? Kenapa tidak labelisasi haram saja?
Untuk membahas soal itu, Novriantoni Kahar dari JIL berbincang-bincang dengan Ust. Imam Nakha’i (ahli fikih dari Situbondo) dan Abd. Moqsith Ghazali (intelektual muda NU) seputar pernyataan MUI awal Maret lalu tentang tidak jelasnya kehalalan beberapa produk makanan yang belum mendapat sertifikat halal. Berikut petikan perbincangan Kamis (31/3) lalu itu.
Imam Nakha’i
Bung Nakha’i, awal Maret lalu, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan pernyataan bahwa beberapa produk makanan seperti Hoka-Hoka Bento, Bread Talk, dan beberapa produk lain, diragukan kehalalannya karena belum menyelesaikan proses sertifikasi kehalalan. Apa pandangan umum fikih tentang halal-haramnya makanan?
Dalam beberapa kitab fikih, saya menemukan kaidah al-tahrîm wal ihlâl haqqulLâh wahdah. Artinya, pengharaman atau penghalalan benda atau barang tertentu adalah hak murni Tuhan. Jadi, tidak boleh ada seseorang yang menyatakan ini halal atau itu haram kecuali atas apa yang telah ditetapkan Tuhan langsung.
Perlu dicatat, barang-barang atau wilayah yang diharamkan Tuhan itu jauh lebih sedikit dibandingkan barang-barang atau wilayah yang dihalalkan. Maksudnya, yang dihalalkan Allah lebih banyak dari pada yang diharamkan.
Dalam Alqur’an sendiri hanya tercatat beberapa benda yang haram. Saya melihat, benda yang haram karena zatnya, dalam Alqur’an cuma babi saja. Walau ada beberapa jenis makanan yang diharamkan juga, seperti al-mauqûdah dan al-mutaraddiyah, tapi itu (diharamkan) bukan karena zatnya. Jadi, wilayah haram itu sangat sempit dalam ajaran Islam.
Karena sempitnya wilayah haram, mestinya yang diberlakukan labelisasi haram dong, bukan labelisasi halal?!
Seharusnya begitu. Tapi kenyataannya dibalik sehingga membuat sulit. Seharusnya, penentuan baik dan buruknya makanan diserahkan saja sepenuhnya pada masyarakat atau komunitas tertentu. Sebab, Alqur’an dalam banyak ayat hanya menggariskan hal yang global.
Misalnya, “yâ ayyuhalladzîna ‘âman kulû min thayyibâti mâ razaqnâkum.” Artinya, makanlah hal baik yang telah Kami berikan kepadamu wahai orang yang beriman! Dalam ayat lain Allah menyebutkan, “…wayuharrim `alaikumul khabâ’is.”
Di sini ada dua kata kunci, yaitu tentang thayyibât dan khabâ’is, yaitu tentang makanan yang baik dan makanan yang buruk. Makanan yang baik itu apa, dan apa pula makanan yang buruk itu?
Makanan yang baik itu sebenarnya bukan makanan yang dilabelisasi halal oleh orang-orang tertentu. Makanan yang baik atau halal adalah makanan yang dianggap baik oleh naluri kemanusiaan yang normal, atau dianggap baik oleh semua manusia. Jadi bukan makanan yang dianggap baik oleh orang-orang tertentu saja.
Makanan yang buruk adalah sebaliknya. Saya membaca, labelisasi halal ini terkait penghalalan dan pengharaman barang yang diserahkan hanya kepada lembaga tertentu. Menurut saya, ini tidak tepat.
Yang tepat menurut Anda bagaimana?
Yang tepat adalah menyerahkannya kepada keinginan masyarakat untuk menyeleksi barang-barang tertentu sesuai yang ia suka. Saya kira, kalau soal labelisasi halal ini diserahkan pada kelompok tertentu, dia akan sama persis dengan kaidah Imam Syafi’i yang masyhur itu. Menurutnya, “al-thayyibât maâ ihtasanathul `arab”. Artinya, yang halal dan yang baik itu adalah sesuatu yang dianggap baik oleh orang-orang Arab.
Orang Indonesia lalu mengikuti kaidah ini dalam konsep-konsep fikih kita yang lama. Padahal ada kaidah-kaidah lain tentang makanan yang baik, seperti yang dikemukakan Ibn Rusyd dalam kitabnya Bidâyatul Mujtahid. Menurutnya, “al-thayyibât mâ ihtasanathu al-thabâ`ius salîmah.” Artinya, makanan yang baik atau halal adalah makanan yang dianggap baik oleh naluri, atau karakter yang normal dari setiap orang.
Artinya soal halal-haram ini sebetulnya sederhana sekali dan tak perlu dilabelisasi segala?
Ya. Makanya dalam kitab fikih, soal ini jadi sangat mudah sekali. Apa standar halal-haram itu? Sesuatu yang berguna bagi badan, itu halal; sesuatu yang tidak berguna bagi badan dan berdampak buruk baik secara fisik atau pun psikis, maka ia haram.
Bahkan dalam fikih-fikih klasik dikatakan bahwa andaikan ular tidak mengandung bisa atau racun, ia boleh saja dimakan. Bahkan meminum racun sekalipun, kalau tidak berbahya bagi fisik seseorang, maka tidak apa-apa.
Artinya, tanpa diatur-atur sekalipun, orang yang normal bisa menalar sendiri kepentingannya dalam soal makanan ini.
Bung Nakha’i, apakah penyerahan pada naluri manusia itu tidak terlalu berisiko?
Memang itu seharusnya diserahkan kepada masyarakat. Kondisi masyarakat tertentu selalu berbeda dengan kondisi masyarakat lain. Komunitas tertentu berbeda dengan komunitas yang lain.
Keputusan soal apakah sesuatu itu halal atau haram, menjijikan atau tidak, sebenarnya akan lebih banyak ditentukan masyarakat. Bisa jadi sejenis makanan atau hewan tertentu dipandang tidak baik oleh suatu kelompok, tapi baik menurut kelompok yang lain.
Bagi orang yang menganggap makanan tertentu jelek atau khabâ’its, ya haram bagi dia memakannya. Bagi kelompok yang mengatakan barang yang sama adalah baik, dia boleh memakan barang itu.
Anda percaya sekali kalau pilihan-pilihan masyarakat itu cukup bijak!
Ya, dan ini memang masuk soal pilihan masyarakat. Dulu kita sering mendengar tentara kita makan ular atau katak kalau sedang berada dalam kondisi perang di hutan. Bagi kelompok tertentu, makan katak itu sesutau yang wajar dan sesuai dengan karakteristik mereka. Jadi, bagi mereka itu tidak jadi soal. Tapi bagi kelompok lain, katak itu menu yang menjijikkan dan haram. Karena itu, dia berpengaruh pada kondisi psikis mereka.
Tapi apa tips Anda untuk menenangkan hati masyarakat ketika membeli produk tertentu seperti korned atau sarden?
Saya kira, persoalannya kembali kepada `urf atau tradisi. Orang tidak perlu susah-susah bertanya apakah barang ini haram atau halal, karena memang pada dasarnya segala sesuatu itu boleh (al-ashl fil asyâ’ al-ibahah) kecuali kalau ada dalil agama yang mengharamkan (hattâ yadullad dalîl ‘alâ tahrîmih).
Jadi kalau membeli suatu produk yang sudah disepakati masyarakat atau komunitas tertentu sebagai barang yang halal, maka sudah tidak jadi soal. Jadi simpel saja. Kita tidak perlu menunggu labelisasi halal segala.
Abd. Moqsith Ghazali
Bung Moqsith, tadi Ustaz Nakha’i menyebut bahwa soal halal-haram itu sederhana saja dan tidak perlu labelisasi segala. Tapi kita tahu, lembaga yang melakukan sertifikasi dan labelisasi halal merasa mewakili keresahan masyarakat atas status kehalalan sebuah produk. Bagaimana Anda menilai hal ini?
Ada tiga problem terkiat persoalan labelisasi halal yang selama ini haknya ada di tangan MUI. Pertama adalah persoalan politis yang ditimbulkan soal labelisasi itu sendiri. Kita tahu, MUI berhak melakukan kajian, penelitian, hingga labelisasi halal, karena mendapat mandat dari negara atau pemerintah. Artinya, melalui tangan MUI, pemerintah sebetulnya mengintervensi hak-hak sipil masyarakat yang bisa dikelola secara swasta tanpa campur tangan negara. Secara politis, itu agak bersoal.
Kedua adalah persoalan keagamaan. Kita tahu, dengan ditunjuknya MUI sebagai pihak berwenang dalam labelisasi halal, akan ada kecenderungan ‘oligarki penafsiran’. Artinya, penafsiran hanya akan berada di tangan kelompok-kelompok tertentu –dalam hal ini MUI dan orang-orang yang berada di dalamnya.
Kita tahu, barang-barang yang diharamkan Islam itu jumlahnya sangat sedikit, sementara yang halal otomatis lebih banyak. Yang tegas dinyatakan haram secara zat oleh Alqur’an hanya babi. Karena itu, keharaman babi tentu tidak sama persis dengan keharaman Hoka-Hoka Bento. Yang satu haram berdasarkan nash yang sharîh, sementara yang lain berdasarkan penafsiran atas nash.
Karena itu, tafsir agama saya kira tidak bisa dimonopoli oleh suatu lembaga. Dulu Gus Dur pernah berdebat dengan MUI soal halal-haramnya Ajinomoto. MUI menyatakan Ajinomoto haram, sedangkan Gus Dur bilang tidak. Saya menduga, Gus Dur saat itu bertujuan menghancurkan oligarki penafsiran oleh satu kelompok tertentu, karena ini persoalan keagamaan.
Yang ketiga terkait soal ekonomi. Dengan ditetapkannya labelisasi halal, para pengusaha tentu harus terkena beban biaya tambahan, karena harus membeli labelisasi halal dari MUI. Begitu labelisasi punya harga khusus, otomatis pembebanan biaya juga ditimpakan pada konsumen. Karena itu, ada dampaknya bagi masyarakat yang tidak mampu membeli karena beban tambahan itu.
Dengan tiga persoalan tadi, perlukah perubahan cara labelisasi, misalnya dari labelisasi halal ke labelisasi haram?
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh. Pertama, serahkan soal itu kepada masyarakat melalui organisasi-organisasi sosial keagamaan masing-masing untuk menentukan mana-mana yang halal dan haram. Persoalan ini jangan sampai dimonopoli oleh satu lembaga saja, tapi perlu didesentralisasikan.
Yang kedua, saya kira yang dibutuhkan justru bukan labelisasi halal, tetapi labelisasi haram seperti yang Anda katakan. Saya menganut kaidah al-ashl fil ‘ath`imah al-ibâhah. Jadi pada dasarnya, semua makanan itu diperbolehkan, kecuali ada dalil yang mengharamkan.
Makanya, yang agak problematis sebenarnya adalah soal ekonomi labelisasi halal. Biaya labelisasi itu sedikit banyak akan berimplikasi pada biaya produksi dan lainnya. Itu membuat harga barang semakin mahal, dan daya beli masyarakat semakin melemah.
Kalau begitu, apa urgensi dari sertifikasi dan labelisasi halal ini?
Saya kira, problem labelisasi halal ini sebenarnya lebih merupakan problem masyarakat modern. Zaman nabi atau para sahabat tentu tidak ada labelisasi halal. Saya kira, masyarakat-masyarakat di pedesaan kita juga tidak membutuhkan labelisasi halal.
Saya takut, jangan-jangan persoalan ini sangat bias Jakarta atau bias kota. Sebab, masyarakat di desa sebenarnya tidak membutuhkan isu ini. Mereka sudah bisa membedakan mana-mana makanan yang halal dan baik untuk dirinya, dan mana yang haram dan buruk.
Soal itu sudah mereka akrabi tanpa perlu labelisasi. Misalnya, untuk membeli tempe, mereka tidak perlu lagi menunggu labelisasi halal-haram. Begitu juga ketika membeli sarden. Hukum asal makanan tersebut sudah jelas; bahan-bahan dasarnya pun halal dimakan. Jadi tidak ada soal bagi merek.