Tanggal 28 November sampai 2 Desember 2004 ini, ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), akan menggelar Muktamar Ke-31 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Solo, Jawa Tengah. Sejauh ini, isu menjelang Muktamar yang paling hangat diperbincangkan di media massa adalah soal suksesi kepemimpinan di jajaran struktural NU.
Tak heran kalau muncul kesan bahwa muktamar kali ini tak lain dari perhelatan untuk pergantian kepemimpinan di jajaran struktural NU belaka. Untuk menyoroti agenda Muktamar ini secara lebih luas, Abdul Moqsith Ghazali dan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) mewawancarai salah seorang intelektual muda NU, Ahmad Baso pada Kamis (25/11) kemarin. Berikut petikannya.
Bung Baso, bagaimana pengamatan singkat Anda tentang penyelenggaraan Muktamar NU ke-31 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Solo (28/11 – 2/12) nanti?
Lancar-lancar saja. Hanya, yang lagi marak adalah pertarungan antar calon ketua umum nantinya. Belakangan ini, Gus Dur sudah membuat manuver guna menggulingkan Ketua Umum PBNU kini, KH Hasyim Muzadi, agar dia tidak terpilih kembali dalam muktamar nanti.
Sudah ada beberapa move yang dilakukan Gus Dur. Di antaranya mendekati dua tokoh yang sangat menentukan dalam muktamar nantinya, yaitu KH Sahal Mahfudz dan KH Mustofa Bisri. Sepertinya, Gus Dur menginkan KH Sahal Mahfudz maju (sebagai Rais Am Syuriah) dengan syarat tidak menerima terpilihnya kembali KH Hasyim Muzadi.
Nah, masalahnya: apakah Kiai Sahal akan menerima begitu saja permintaan Gus Dur itu? Selama ini belum ada statamen Kiai Sahal di muka publik yang menunjukkan kalau dia tidak setuju dengan KH Hasyim Muzadi.
Makanya, kalau ternyata Kiai Sahal tetap mendukung atau tidak mengaggap pencalonan Pak Hasyim kembali sebagai masalah, analisis kita akan berkembang lagi. Kemungkinan, Gus Gur akan mencalonkan dirinya sebagai rais am, bersaing dengan Kiai Sahal.
Apa alasan utama resistensi Gus Dur yang begitu kuat terhadap Pak Hasyim?
Pertama, karena konflik lama. Kita tahu bagaimana panasnya konflik Gus Dur-Pak Hasyim sejak dia digandeng Megawati untuk berduet sebagai cawapres. Ke dua, pertimbangan yang lebih bersifat organisasi, seperti pertanyaan: apakah Pak Hasyim dilarang berpolitik praktis atau tidak.
Gus Dur dan sejumlah kalangan di NU melihat bahwa Pak Hasyim sudah mempolitisasi NU sedemikian jauh. Ini terlihat dari aksi mobilisasi sejumlah pengurus dari tingkat pusat sampai cabang dan ranting untuk mendukung dirinya sebagai cawapres.
Tapi mengapa Muktamar NU kali ini lebih banyak meributkan soal pemimpinnya, bukan program atau agenda apa yang hendak dikerjakan lima tahun mendatang?
Itulah masalah kita. Dalam Musyawarah Besar (Mubes) warga NU di Cirebon, akhir Oktober kemarin, kita juga memprihatinkan masalah ini. Kita sempat membicarakan apa sebetulnya yang lebih relevan untuk menjadi concern NU ke depan, di samping soal politik praktis, posisi, dan sebagainya, yang lagi marak sekarang ini.
Dari situ muncul usulan bagaimana memperbarui struktur organisasi di PBNU. Ada usulan supaya tanfidziyah (eksekutif) NU dipilih langsung, ada juga yang mengusulkan dipilih oleh rais am. Tapi sebetulnya, perkembangan kita dalam lima tahun ke depan bergantung pada bagaimana supaya Pak Hasyim tidak sampai terpilih kembali.
Lagi-lagi asal bukan Hasyim Muzadi, dong!
Itu yang jadi target utama. Karena kalau Pak Hasyim terpilih kembali, itu sudah alamat terjadinya demoralisasi yang akut di tubuh NU. Demoralisasi ditunjukkan dengan munculnya ketidakpercayaan dalam diri NU sendiri, bahkan di kalangan jamaah NU terhadap organisasinya. Pertanyaannya: NU ini sebetulnya mau jadi apa?