IslamLib – Banyak orang yang prihatin saat ini melihat dua ormas besar Islam, yaitu NU dan Muhammadiyah, ikut cawe-cawe dalam hiruk-pikuk politik praktis. Keprihatinan ini lebih mendalam lagi di kalangan anak-anak NU yang melihat Ketua Umumnya sekarang begitu sibuk dengan dunia politik, seolah-olah menelantarkan NU sebagai ormas.
Keprihatinan seperti itu bisa dimaklumi, bahkan harus dipahami sebagai cerminan dari sikap “eman” atau sayang terhadap dua ormas besar itu. Selama ini, dua ormas itu telah menjadi semacam “reservoir” atau bendungan tempat merawat perkembangan Islam secara sehat.
Orang-orang khawatir, jika kedua ormas itu terlalu “dalem” masuk ke dalam hiruk-pikuk perpolitikan saat ini, keduanya bisa mengalami perpecahan internal yang timbul karena perbedaan afiliasi politik para anggota, tokoh-tokoh dan kiai-kiainya. Harus diakui, ancaman seperti itu sudah mulai membayang sekarang, meski masih lamat-lamat.
Tetapi, apakah mungkin menalak atau memisahkan NU dan Muhammadiyah dari perkembangan politik. Saya rasa sulit. Keduanya adalah organisasi besar, dengan jutaan anggota yang tersebar di seluruh Indonesia, atau sekurang-kurangnya Jawa (untuk kasus NU). Bagaimanapun, kedua ormas itu pasti mempunyai “magnet politik”.
Bagaimanapun, keduanya akan selalu dilibatkan oleh banyak pihak setiap kali terjadi momen-momen politik penting di negeri ini. Itu terjadi baik dulu atau sekarang. Oleh karena itu, tak realistis mengharapkan kedua ormas itu untuk memunggungi atau bahkan menolak sama sekali terlibat dalam hiruk-pikuk perebutan kekuasaan.
Sebut saja NU dan Muhammadiyah itu hidup di antara dua dunia: dunia sosial dan dunia politik. Keduanya berlayar dalam tegangan antara dua dunia itu. Sudah tentu dibutuhkan jalan tengah yang menguntungkan semua pihak. Mereka yang ada dalam dua ormas itu dan hendak terjun dalam dunia politik tetap harus diberi kesempatan. Tetapi integritas kedua ormas itu sebagai organisasi masyarakat sipil tetap harus dijaga.
Jalan tengah itu, dalam kasus NU, ditemukan atau paling tidak dirumuskan di Rembang, dalam rapat Syuriyah PBNU, pada 16 Mei 2004 yang lalu. Rapat itu memutuskan untuk menon-aktifkan KH. Hasyim Muzadi dan Solahuddin Wahid dari jabatan mereka sebagai Ketua Umum dan Ketua PBNU sejak resmi ditetapkan sebagai calon wakil presiden hingga tuntasnya seluruh proses pemilu presiden.
Keputusan merupakan jalan tengah yang fair: keinginan anggota NU untuk terjun dalam dunia politik tetap dimungkinkan, tetapi integritas NU sebagai ormas juga tetap ditegakkan.
Kita tetap berharap, bahwa baik NU atau Muhammadiyah tetap merupakan bendungan tempat merawat tradisi, perbedaan pemikiran, kiprah sosial, dan pendidikan umat. Dari kedua ormas inilah kita bisa berharap lahirnya corak Islam yang “lain”, Islam a la Indonesia, yang tentu akan memperkaya corak-corak keislaman di dunia sekarang ini.
Di situlah daya tarik kedua ormas tersebut. Jika kedua ormas ini harus mengalami fragmentasi internal hanya karena urusan “pulitik”, sudah tentu amat kita sayangkan. Oleh karena itu, jalan tengah dari Rembang itu bisa menjadi “golden rule” yang diikuti terus di NU.