IslamLib – Bengis. Seribuan orang menyerbu sebuah rumah di Cikeusik, Banten. Tiga orang terbunuh. Beberapa lainnya terluka parah. Dalam gegap-gempita takbir para pembunuh beraksi. Mereka membakar, mengeroyok, menggorok, menginjak-injak tanpa ampun. Kebencian menyeruak dari pekik “Allahu Akbar.”
Lalu kita bertanya, bagaimana bisa agama memproduksi kebengisan? Pada setiap aktivitas, umat Islam dianjurkan membaca kalimat basmalah. Dengan nama Allah, Tuhan Maha Kasih, Tuhan Maha Sayang. Kalimat ini diulang-ulang sepanjang hidup sehingga acapkali muncul secara spontan seperti nafas yang dihela dan dihembuskan di luar kesadaran. Tapi apa yang terjadi di Cikeusik?
Para peneliti barangkali akan menyatakan bahwa kebengisan itu tidak memiliki akar dalam agama. Ia berasal dari hal-hal lain di luar agama. Kekerasan dan terorisme agama dianggap sebagai cara perlawanan kelompok lemah yang tidak memiliki kekuasaan.
Meminjam istilah James C. Scott, kekerasan dan terorisme adalah senjata kaum lemah (weapons of the weak). Kaum lemah dan terpinggirkan dianggap tidak memiliki hal lain di luar kekerasan untuk menyampaikan aspirasi, barangkali juga eksistensi.
Analisa semacam ini diamini oleh tidak sedikit orang, termasuk para cerdik pandai di Indonesia. Mereka menganggap bahwa akar persoalan dari kekerasan agama di Indonesia adalah kemiskinan dan ketidak-adilan. Kekerasan adalah semacam bentuk pemberontakan kaum miskin.
Tidak sedikit yang kemudian mengaitkan kekerasan dengan politik. Para pelaku kekerasan bukan hanya orang-orang miskin, tetapi juga yang bisa terbeli oleh mereka yang memiliki kepentingan politik tertentu. Kekerasan dianggap sebagai komoditas politik yang bisa diperjual-belikan. Para pelaku politik memanfaatkan situasi kisruh untuk meraup keuntungan elektoral.
Entah bagaimana menghubungkan faktor-faktor pemicu ini. Yang pasti pola yang hendak dibangun adalah kemiskinan ? politisasi ? kekerasan. Faktor materi atau ekonomi dianggap sebagai pemicu. Analisa yang sangat Marxian, bukan?
Kalau penjelasan di atas benar, pertanyaannya adalah dimana peran agama? Jika motif ekonomi dan politik dengan mudah menyulut orang berbuat bengis, dimana pengaruh basmalah yang terus-menerus diucapkan di setiap aktivitas?
Apakah “Allah Maha Kasih, Maha Sayang” yang diulang-ulang seperti tarikan nafas itu sungguh tidak memiliki jejak? Tarolah penjelasan ekonomi dan politik itu benar, sekali lagi, dimana peran dan fungsi agama?
Kita tentu sepakat bahwa agama adalah pembawa damai. “Kubawa damai bagimu.” Ia adalah rahmat bagi seluruh alam. Itu artinya, pada setiap aksi kekerasan, eksistensi agama terkikis. Pada setiap aksi kebengisan atas nama agama, agama retak. Goyah.
Tentu kita tidak sudi membiarkan agama semakin rapuh dan hancur oleh kebrutalan dan kebengisan. Mari kita rekatkan kembali dengan pesan-pesan damai, kasih, juga sayang. Biarlah Cikeusik menjadi cerita kebengisan terakhir yang pernah dialami oleh umat manusia, umat manusia beragama.