IslamLib – Kasus pembunuhan terhadap tiga jemaat Muslim Ahmadiyah di Cikeusik mungkin sudah selesai dalam perbincangan publik. Tapi sebenarnya kasus itu sedang disidangkan di pengadilan negeri Serang, Banten.
Warga Ahmadiyah yang keluarganya dibunuh belum memperoleh rasa keadilan. Warga Ahmadiyah yang rumahnya dirusak sama sekali belum memperoleh ganti rugi. Warga Ahmadiyah sama sekali belum hidup dalam rasa aman.
Ribuan orang menyerbu, menganiaya, dan membunuh. Namun yang disidangkan hanya 12. Para polisi yang membiarkan kekerasan terjadi belum menjadi tersangka. Dan yang paling menyedihkan, seorang warga Ahmadiah justru dijadikan tersangka. Kepalanya dibacok berkali-kali. Tangannya hampir putus dan sampai sekarang belum berfungsi.
Alih-alih menghukum para penyerangnya, justru ia dituntut 10 tahun penjara. Ia dianggap memprovokasi ribuan warga karena memilih mempertahankan aset kantornya yang hendak diobrak-abrik.
Ketika korban terancam 10 tahun penjara, para penyerang justru dituntut 5 sampai 7 bulan saja. Di negeri ini, mempertahankan hak milik pribadi bisa jadi perkara rumit. Sementara kejahatan yang dilakukan beramai-ramai sangat mungkin dimaklumi.
Sujana, warga Ahmadiyah yang terluka sekaligus diperkarakan itu, mendengar kabar kantor Ahmadiyah Cikeusik akan diserang. Dia kemudian datang ke sana bersama beberapa pemuda Ahmadiyah lainnya.
Sejumlah kantor, sekolah, rumah, dan masjid milik Ahmadiyah di pelbagai tempat diserang dan dihancurkan. Mereka ingin berupaya menyelamatkan aset yang juga terancam penghancuran itu. Dipimpin oleh Deden, mereka bernegosiasi dengan polisi.
Mereka meminta bantuan polisi untuk mengamankan aset kantor mereka. Bukannya malah memberi rasa aman kepada warga Ahmadiyah, pihak polisi justru berterus-terang bahwa mereka tak sanggup menghalau massa. Tiba-tiba polisi seperti tidak punya senjata. Tiba-tiba polisi seolah tidak berwenang menghalau perusuh yang diamuk amarah.
Menghadapi gejala buruk seperti itu, Deden menyindir polisi dengan mengatakan bahwa kalau polisi tak sanggup memberi rasa aman, maka biarkan saja terjadi bentrokan. Deden dan kawan-kawannya sudah bosan menyaksikan pengrusakan dan tindakan semena-mena terhadap diri dan aset mereka.
Di pengadilan, bahkan ketika Deden menjadi saksi, ia telah dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan layaknya seorang pesakitan. Dia dituntut enam tahun penjara karena dianggap provokator.
Kalau hukum masih ditegakkan secara terbolak-balik seperti itu, rasa-rasanya keadilan bagi para korban kekerasan dan pembunuhan di Cikeusik masih jauh dari harapan.