IslamLib – Syi’ah adalah sekte pertama di dalam Islam yang kemunculannya sepenuhnya didorong oleh peristiwa politik. Semua bermula dari absennya wasiat Nabi Muhammad tentang siapa penggantinya jika dia meninggal. Jika sejak awal Nabi memberikan wasiat dan diumumkan kepada publik, pastilah sejarah Islam akan berjalan lain.
Ketiadaan wasiat ini memunculkan persoalan besar beberapa saat setelah Nabi meninggal, yakni siapa yang akan menggantikannya? Selain sebagai pemimpin spiritual, Nabi Muhammad juga seorang pemimpin politik bagi warga Madinah. Kematiannya, dengan demikian, bukan hanya berarti hilangnya kepemimpinan spiritual, tapi juga kepemimpinan politik.
Perundingan yang hampir menumpahkan darah di Saqifah yang terkenal itu, sesungguhnya adalah permufakatan untuk mencari pengganti Muhammad sebagai pemimpin politik, bukan sebagai pemimpin spiritual. Semua sahabat Nabi sadar bahwa secara spiritual tak ada yang bisa menggantikan Muhammad.
Juga, mereka tahu diri bahwa tidak ada nabi setelah Muhammad. Bahwa pilihan kemudian jatuh kepada Abu Bakar, sepenuhnya berdasar pertimbangan primus inter pares, yakni karena Abu Bakar dianggap sebagai orang paling senior, paling dekat dengan Nabi, dan punya sedikit jiwa kepemimpinan.
Dari perspektif tata-pemerintahan (polity) yang berlaku saat itu, pilihan kepada Abu Bakar sebetulnya menyalahi aturan umum, yakni jika seorang pemimpin politik meninggal, maka yang akan menggantikannya adalah keturunannya atau famili terdekatnya.
Karena Muhammad tidak memiliki anak laki-laki, yang berhak menggantikannya seharusnya adalah anak perempuannya, sebagaimana yang pernah terjadi pada kerajaan-kerajaan di sekitar Mediterania saat itu.
Ada opsi lain, jika warisan kekuasaan tidak jatuh ke tangan anak perempuan, maka ia akan jatuh ke tangan saudara laki atau perempuan (adik). Masalahnya, Nabi Muhammad tak memiliki adik, karena dia anak tunggal. Satu-satunya famili terdekatnya adalah Ali bin Abi Thalib, sepupunya yang sekaligus juga menantunya.
Tapi, mengapa para petinggi di Saqifah memilih Abu Bakar dan bukan Ali? Bukankah lebih masuk akal dan bisa diterima publik jika Ali yang menggantikan Nabi? Bukankah Fatimah, anak Nabi, layak dijadikan Ratu, penerusnya, mengikuti tradisi tata-pemerintahan yang berlaku di kawasan itu? Apalagi Fatimah adalah isteri Ali, yang juga sepupu Nabi. Adalah tidak masuk akal mengikuti logika para pembesar di Saqifah yang memilih Abu Bakar dan melupakan Ali sama sekali.
Dalam perdebatan sengit antara Faksi Madinah dan Faksi Mekah, yang muncul adalah nama-nama seperti Umar bin Khatab (Mekah), Abu Ubaydah bin Jarrah (Mekah), Sa’ad bin Ubadah (Madinah/Khazraj), dan Bashir bin Sa’d (Madinah/Aws).
Nama Ali atau Fatimah tak disebut sama sekali. Keduanya tak hadir di Saqifah, tapi lebih memilih mengurusi jenazah Nabi, yang menurut al-Tabari (Tarikh), hampir tak dipedulikan para sahabat besar yang tengah memperdebatkan siapa pengganti Nabi kelak.
Bagi Ali dan keluarganya, mengurusi jenazah Nabi dan mempersiapkan pemakamannya jauh lebih penting ketimbang meributkan kandidat pengganti Nabi. Mungkin, Ali dan Fatimah juga berpikir bahwa kekuasaan tak akan pergi ke mana-mana, toh menurut tradisi politik yang berlaku, kekuasaan selalu jatuh ke tangan anak atau famili terdekat.
Asumsi Ali dan Fatimah bahwa kekuasaan ayah mereka akan jatuh ke tangan mereka terbukti keliru. Setelah upacara penguburan Nabi selesai, pengganti Nabi tetaplah Abu Bakar. Satu persatu kaum Muslim melakukan bay’at (sumpah) kepada Abu Bakar sebagai pengganti Nabi (khalifah). Bashar bin Sa’ad, pemimpin Suku Aws yang sempat berminat menggantikan Nabi, mengurungkan niatnya dan berbalik mendukung Abu Bakar.
Dukungannya kepada Abu Bakar bukan karena dia suka kepada mertua Nabi itu, tapi karena rival beratnya, Sa’ad bin Ubadah (pemimpin Khazraj) bisa berpeluang besar, jika kaum Anshar tidak mendukung Abu Bakar.
Maka, terjadilah apa yang pernah terjadi dalam Pilkada DKI 2007, warga Jakarta memilih Fauzi Bowo bukan karena mereka suka dengan pria berkumis itu, tapi karena mereka tidak suka jika Jakarta dipimpin oleh calon yang didukung PKS.
Tidak semua orang mendukung Abu Bakar menjadi pengganti Nabi. Abu Bakar dan timnya (di antaranya Umar bin Khattab yang paling antusias) harus melakukan kampanye dari Jum’at ke Jum’at untuk meyakinkan kaum Muslim di Madinah bahwa dia layak menjadi pengganti Nabi. Bay’at (sumpah setia) harus segera dikumpulkan agar Abu Bakar mendapatkan legitimasi dan lancar dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan politik.
Sayangnya, bay’at tidak diperoleh dengan mulus. Sebagian suku di Madinah (misalnya Banu Ghatafan dan Khawazin) menolak Abu Bakar dan tak bersedia memberikan bay’at. Untuk menunjukkan perlawanan, mereka menolak membayar upeti (zakat), yang kemudian memicu apa yang dalam sejarah Islam dikenal dengan ”Perang Apostasi” (hurub al-riddah).
Yang mengejutkan adalah bahwa penolakan bay’at bukan hanya dilakukan oleh sebagian suku Anshar, tapi juga beberapa tokoh Muhajirin. Ali bin Abi Thalib, menantu dan sepupu Nabi, juga tak bersedia melakukan bay’at kepada Abu Bakar.
Tentu saja, Ali bukanlah satu-satunya sahabat besar Nabi yang menolak Abu Bakar. Ada Sa’ad bin Ubadah (perunding Saqifah dan pemimpin Khahzraj), yang sampai wafatnya tak mau memberikan bay’at kepada Abu Bakar.
Dia juga tak mau memberikan bay’at kepada Umar bin Khattab, dan karena merasa nyawanya terancam, dia hijrah ke Suriah hingga meninggal di sana. Ada Hubab bin al-Mundzir, pahlawan dan ahli strategi yang mengantarkan kemenangan perang Badar. Demikian juga, ada al-Abbas, Salman Al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, dan Khuzaimah bin Tsabit; semua sahabat besar ini pada mulanya enggan memberikan bay’at kepada Abu Bakar.
Ali baru memberikan bay’atnya kepada Abu Bakar setelah enam bulan peristiwa Saqifah. Menurut Bukhari dan Muslim, Ali melakukan bay’at setelah Fatimah, isteri tercintanya, meninggal. Tidak ada yang tahu pasti mengapa Ali kemudian memberikan bay’atnya.
Bagi para pengikutnya yang 25 tahun kemudian dikenal dengan sebutan ”pengikut Ali” (syi’at Ali), bay’at Ali dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dalam tekanan situasi politik di Madinah ketika itu.
Bagi mereka, Ali adalah pewaris yang sah dari kekuasaan yang ditinggalkan Nabi. Bukan hanya karena Ali merupakan isteri Fatimah, tapi menurut ”Syi’at Ali,” karena Nabi telah mengumumkan di Ghadir Khum bahwa Ali adalah calon penggantinya kelak jika dia wafat.
Ghadir Khum adalah episode lain yang penting dalam sejarah Syi’ah. Kaum Muslim dari kalangan Sunni dan Syi’ah berbeda pendapat, bukan hanya apakah Nabi secara eksplisit memberikan wasiat kepada Ali di sana, tapi apakah peristiwa Ghadir Khum itu benar-benar ada. Ghadir Khum adalah sebuah lembah tempat para pesiar dan saudagar Mekah beristirahat dalam perjalanan panjang mereka ke Syam.
Lokasinya persis berada di tengah-tengah, sekitar 180 Km jarak antara Mekah dan Madinah. (di Google Earth, lokasinya terletak di bujur ini: 22°49′30″N 39°4′30″E). Nabi dan para sahabatnya beristirahat di tempat itu dalam perjalanan dari Mekah usai menunaikan haji wada. Di tempat itulah Nabi diyakini memberikan khutbah dan wasiatnya soal siapa penggantinya kelak.
Para perawi Sunni (termasuk Bukhari dan Muslim) membenarkan bahwa Nabi pernah istirahat di situ dan –tentu saja– memberikan khutbahnya. Namun, mereka menolak kalau isi khutbah Nabi secara eksplisit menyebutkan wasiat untuk Ali.
Sebagaimana di tempat-tempat lain, Nabi selalu memberikan khutbah dan seperti juga kebiasaannya, beliau memuji sahabat-sahabatnya. Kadang memuji Abu Bakar, kadang memuji Bilal, kadang memuji Umar, dan kadang memuji Utsman.
Nah, di Ghadir Khum itu, Nabi memuji Ali. Sebetulnya pujian biasa saja, yang sering ia lontarkan juga kepada para sahabatnya yang lain. Sanjungan itu adalah ucapan Nabi bahwa Ali adalah seorang pemimpin yang sama dengan dirinya (man kuntu mawlah, fa ali mawlah). Oleh para pengikut Ali, pernyataan Nabi ini kemudian ditafsirkan sebagai wasiat kepada kaum Muslim bahwa setelah Nabi meninggal nanti yang menjadi penggantinya adalah Ali.
Seperti Cak Nur yang kerap memuji orang, Nabi juga selalu memuji sahabat-sahabatnya. Suatu kali Nabi memuji Abu Bakar sebagai ”pemimpin kaum Muslim di surga,” ”pintu surga akan memanggilnya untuk memasukinya,” dan ”orang Islam pertama yang akan masuk surga.”
Nabi juga pernah memuji Umar dengan ungkapan yang terkenal ini: ”andaikata sesudahku ada Nabi, dialah Umar.” Di Ghadir Khum, yang mendapat pujian kebetulan adalah Ali. Orang-orang Sunni sama sekali tidak menganggap pernyataan Nabi itu sebagai sebuah wasiat.
Nabi biasa memuji sahabat-sahabatnya. Tidak ada yang unik dengan itu. Tapi, bagi para pengikut fanatik Ali, pernyataan Nabi itu adalah sebuah wasiat penting. Bahkan, Ghadir Khum adalah sebuah peristiwa besar, bukan hanya tempat. Ghadir Khum adalah sebuah perjanjian suci yang dilanggar, yang akibatnya memunculkan rangkaian peristiwa berdarah dalam tubuh umat Islam, dari pemberontakan terhadap Abu Bakar, pembunuhan Umar, pembunuhan Uthman, dan puncaknya pembunuhan Ali.