Home » Mazhab » Wahabisme » Darurat Wahabi!
Protest outside Saudi Embassy - In response to the Wahabi aggression in the recent events in Medina on shia pilgrims. March 8, 2009. (Foto: [email protected]/flickr.com)

Darurat Wahabi!

3.72/5 (25)

IslamLib – Terminologi Wahabi atau Wahabisme (Arab: Wahhabiyyah) mengacu pada nama pendiri sekaligus tokoh utamanya, Muhammad bin Abdul Wahhab (1703 – 1792 M). Meski sejarah kemunculannya tak lepas dari catatan kelam, perlahan namun pasti sekte Wahabi menunjukkan kemajuan yang sangat pesat, terutama dalam hal jumlah pengikut.

Dimulai dari Najd, Arab Saudi, Muhammad bin Abdul Wahhab terus melebarkan pengaruh dan ajaran yang dia bawa hampir di seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia.

Reputasi Muhammad bin Abdul Wahhab semakin legitimate manakala Khairuddin az-Zirikli, dalam kamus biografi para tokoh, al-A’lam, menyebutnya sebagai, “Pemimpin gerakan pembaharuan agama era modern,” dan tokoh yang “menempuh metode Salafus Salih, menyeru kepada tauhid yang murni, mencerabut bid’ah, dan menghancurkan berbagai waham yang dilekatkan pada Islam.”

Sekilas, julukan sebagai “pembaharu” itu tampak bagus. Tapi tunggu dulu. Pembaharuan yang dimaksud tak lain adalah eliminasi-eliminasi dan pengingkaran dia terhadap praktik-praktik ibadah, bahkan akidah, yang telah disepakati kesahihan dalil-dalilnya oleh mayoritas umat Islam, seperti: tawasul, istighatsah, peringatan Maulid Nabi, ziarah makam Nabi, meminta syafaat kepada Nabi, meminta keberkatan dari orang-orang saleh terdahulu, dan lain-lain.

Dia lantas melabeli praktik-praktik ibadah itu sebagai perbuatan syirik atau bid’ah yang harus dibersihkan. Bahkan, darah pelakunya pun halal ditumpahkan!

Karenanya, jika di Indonesia beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo menetapkan status “Darurat Narkoba” dalam hal kesehatan dan mental, maka dalam hal pemikiran dan ideologi, negeri ini sejatinya sedang dilanda darurat lain yang tak kalah mengerikan. Yaitu “Darurat Wahabi.”

Ya, ajaran Wahabi sangat berbahaya jika dibiarkan terus berkembang di negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesantunan ini, selain tentu saja tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya.

Masih segar dalam ingatan bagaimana Pemerintah “kecolongan” dengan diedarkannya buku pelajaran berjudul Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk siswa Kelas XI SMA/sederajat di dunia pendidikan kita. Buku yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2014 itu ternyata terdeteksi berisi ajaran-ajaran Wahabi yang sangat berbahaya.

Dengan vulgar, buku ini berusaha menanamkan doktrin-doktrin radikalisme dan ekstremisme kepada para siswa yang notabene berdarah muda untuk melakukan tindakan-tindakan intoleran, bahkan melawan kebebasan beragama yang dijamin oleh Tuhan sendiri. La ikraha fi ad-din, tidak ada paksaan dalam agama, kata Allah.

Di antara poin-poin isinya, sebagaimana termaktub dalam halaman 170 buku tersebut yaitu:

(1) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah swt., dan orang yang menyembah selain Allah swt. telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh. (2) Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang sebenarnya, kerena mereka meminta pertolongan bukan lagi dari Allah, tetapi dari syekh atau wali dan kekuatan gaib. Orang Islam demikian juga telah menjadi musyrik. (3) Menyebut nama Nabi, syekh, atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga merupakan syirik.

Meski kemudian buku tersebut ditarik dari peredaran, namun yang perlu dicatat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang merupakan benteng pendidikan dan pembentukan karakter generasi muda Indonesia, telah berhasil ditembus. Ini pertanda bahwa ajaran Wahabi sudah sedemikian hebat meracuni generasi muda Indonesia, termasuk dunia pesantren.

Sekarang ini, banyak sekali pesantren, pendidikan Islam, atau majelis taklim—baik secara terang-terangan maupun malu-malu kucing—yang mengadopsi paham-paham Wahabi dan mengajarkannya kepada peserta didik mereka.

Hasilnya bisa ditebak, kita dapat dengan mudah menjumpai di berbagai media sosial “anak-anak bau kencur” yang baru belajar agama “kemarin sore” sudah berani memvonis sesat, liberal, bahkan kafir tokoh-tokoh sekaliber Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Ahli Tafsir M. Quraisy Shihab. Yang teranyar adalah soal membaca al-Quran dengan langgam Jawa pada peringatan Isra Mi’raj beberapa waktu lalu.

Sebagaimana tergambar dari poin-poin di atas, kelompok Wahabi memang memiliki karakter yang sangat khas, yang terangkum dalam empat kata kunci: kafir, bid’ah, sesat, musyrik. Keempat kata kunci ini acap kali mereka alamatkan kepada umat Islam yang tidak sejalan dengan ajaran mereka, terutama yang mengamalkan praktik-praktik keagamaan seperti di atas.

Dengan dalih menjaga kemurnian tauhid dan mengembalikan ajaran Salaf Shalih (orang-orang saleh terdahulu), mereka mengklaim seolah-olah akidah mereka yang paling benar dan paling bersih dari unsur kesyirikan. Padahal, apa yang mereka tuduhkan sebagai bid’ah atau kemusyrikan itu sesungguhnya telah ada sejak zaman Rasulullah dan diamalkan oleh para sahabat, bahkan oleh Rasulullah sendiri.

Tetapi mereka lantas membuat ajaran dan akidah baru yang mengeliminasi ajaran Rasulullah dan para sahabat itu. Jadi, merekalah pembuat bid’ah yang sesungguhnya.

Sebenarnya cukup mengherankan bagaimana doktrin Wahabi ini bisa diterima sedemikian luas di Indonesia, bahkan dianggap sebagai pembaruan. Sebab, pada dasarnya ajaran-ajaran Wahabi berembrio dari ketidakmampuan dan keterbatasan Muhammad bin Abdul Wahhab dalam memahami agama dan teks-teks Islam secara lebih mendalam dan menyeluruh.

Soal tawasul, misalnya. Muhammad bin Abdul Wahhab menganggap tawasul dengan orang yang telah mati itu syirik, dengan dalil bahwa Umar bin Khatthab pernah memohon hujan dengan bertawasul melalui perantara Abbas ra., bukan dengan perantara Nabi saw. Sebab, ketika itu Nabi telah wafat.

Kenyataannya bukanlah demikian. Permintaan hujan Umar melalui wasilah Abbas adalah dalam rangka memberitahu umat Islam bahwa meminta hujan dan bertawasul dengan selain Nabi Muhammad itu dibenarkan, termasuk dengan orang yang sudah mati.

Qarinah-nya (petunjuk atau tanda yang menguatkan) adalah hadis yang diriwayatkan oleh Umar ra. sendiri bahwasanya Nabi Adam as. pernah  bertawasul kepada Allah dengan perantara Nabi Muhammad saw.,  bahkan sebelum beliau diciptakan.

Dalam kaitannya dengan muamalah sehari-hari, kelompok Wahabi juga acap kali mevonis berbagai amalan umat Islam sebagai bid’ah yang sesat dan menyesatkan. Seperti peringatan Maulid Nabi, istighatsah, termasuk membaca al-Quran dengan langgam Jawa tadi.

Dalil andalannya adalah hadis terkenal, “Seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru yang diada-adakan, dan setiap perkara baru yang diada-adakan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah tempatnya di dalam neraka.”

Padahal, banyak sekali ulama mu’tabar (kapabel) yang telah menjelaskan bahwa hadis tersebut tidak serta merta berlaku umum untuk seluruh bid’ah. Salah satunya adalah Imam Nawawi.

Dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim, dalam memahami hadis ini beliau menyatakan, “Sabda Nabi saw., ‘Semua bid’ah adalah sesat,’ adalah kalimat umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud ‘semua bid’ah itu sesat’, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).

Mengapa kaum Wahabi sangat “hobi” memberi vonis minor terhadap keyakinan orang lain? Ini dapat dipahami karena pola pikir Muhammad bin Abdul Wahhab, dan kaum Wahabi pada umumnya, terlalu tekstual dan cenderung menolak takwil (penafsiran) dalam memahami dalil.

Sebab takwil, menurut mereka hanya akan membuat ajaran Islam tidak murni lagi, karena terkontaminasi oleh pendapat-pendapat manusia yang tidak suci dari kesalahan.

Doktrin mereka, kebenaran yang diterima dari al-Quran dan sunah adalah kebenaran mutlak. Tak perlu didiskusikan, apalagi diperdebatkan. Jika kebenaran diperdebatkan, maka yang terjadi adalah keragu-raguan terhadap kebenaran itu.

Jadi, segala urusan agama harus dirujuk langsung kepada al-Quran hadis apa adanya, sebagaimana yang tersurat secara tekstual. Jika tidak ada landasan tekstualnya di dalam al-Quran atau hadis, serta-merta mereka anggap sebagai bid’ah atau kesesatan.

Inilah alasan mendasar mengapa kelompok Wahabi selalu membid’ah-bid’ahkan, bahkan mevonis syirik amalan mayoritas umat Islam, padahal amalan itu hanyalah masalah furu’iyyah.

Ujung-ujungnya, mereka akan mengeluarkan fatwa bahwa setiap orang melakukan amalan tersebut berarti telah musyrik, dan orang musyrik boleh dibunuh, seperti kita lihat dalam buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk siswa Kelas XI SMA tadi.

Dari sini, sudah sepatutnya pemerintah turun tangan menanggulangi ideologi Wahabi ini melalui segala kekuatan yang dimiliki: intelijen, lembaga antiterorisme, institusi pendidikan, lembaga keagamaan, dan sebagainya.

Sebab, gerakan mereka semakin massif dan terstruktur, dengan basis yang rata-rata dihuni oleh anak muda yang sedang “gairah-gairahnya” mempelajari agama. Jika dibiarkan, bukan tak mungkin status “Darurat Wahabi” akan menjadi ancaman serius terhadap keutuhan NKRI. Na’udzubillah min dzalik.

 

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.