IslamLib – Belakangan ini kata “Wahabisme” bagi kita sudah seperti keranjang sampah. Tahun lalu, ketika Indonesia diramaikan kampanye Pilpres, Alwi Shihab menyebut mereka yang melakukan fitnah terhadap Jokowi sebagai Wahabi.
Meskipun mungkin melegakan secara emosional, praktik ini rasanya tak sehat untuk pikiran, khususnya bagi segelintir orang yang berkumpul di majlis mulia ini. Karenanya, di bawah ini saya kemukakan beberapa catatan yang mudah-mudahan bisa memberi minyak lagi bagi perbincangan kita tentang Wahabisme (dan Salafisme).
Harap maklum, saya tidak sedang ingin membela Wahabisme: selain pernah menerbitkan edisi Indonesia buku Hamid Algar (2008), salah satu yang paling kritis terhadap Wahabisme, saya pernah beberapa kali membuat kursus dan menulis mengenai bahaya Wahabisme. Saya membuat catatancatatan ini, yang saling terkait, karena trust saya terhadap forum yang mulia ini.
Kebaikan dalam Wahabisme. Seraya menjadikan Wahabisme keranjang sampah, kita sudah makin jarang memisahkan antara Wahabisme dan Salafisme, apalagi melihat sesekali jangan-jangan ada kebaikan (virtue) di dalam keduanya.
Penting diingat bahwa keduanya bukan “ideologi” baru di Nusantara ini, dan sejumlah nenek-moyang kita pernah mendukungnya dengan bergairah (yang pasti bukan tanpa alasan). Bukankah kita dapat mengapresiasi panggilan tawhid dan kemurnian pada keduanya (seperti pernah ditunjukkan Cak Nur, dan tentu saja Muhammadiyah), sambil menghindari praktik takfiri berlebihan (yang sebenarnya juga ada pada semua teologi politik)?
Penting sesekali merenung kalau-kalau kelakuan kita yang gebyah-uyah terkait Wahabisme hanya mencerminkan ketakberdayaan kita menghadapi ekspansi Wahabisme (lihat di bawah), atau politically motivated, sambil mengambil manfaat dari pengembangan wacana yang sebenarnya kurang kokoh seperti “Islam Nusantara” (yang tidak takfiri dan sepenuhnya damai?).
Keragaman dalam Wahabisme. Sekarang ini makin wajib bagi kita untuk memberi perhatian pada keragaman di dalam Wahabisme. Beberapa peneliti, khususnya Madawi al-Rasheed (2006), tapi juga Tareq Masoud (2010) dan Quintan Wiktorowicz (2006), menyepakati bahwa, secara garis besar, ada Wahabi yang apolitis (quietist), yang reformis (sahwis), dan ada yang jihadis. Di antara ketiganya ada lebih banyak nuansa lagi, seperti warna-warni pelangi.
Pandangan yang bernuansa akan memudahkan kita untuk menentukan siapa pesaing atau lawan, tapi siapa pula golongan di dalam kelompok “sana” yang bisa dan harus menjadi kawan dan sekutu kita. Pandangan yang bernuansa juga akan mengantarkan kita pada pemahaman yang lebih lengkap bahwa hubungan antara Wahabi jihadis dengan rezim Arab Saudi pun mengalami naik dan turun, cinta dan benci.
Hal ini tercermin misalnya dalam karir Osama bin Ladin, yang berkembang dari kawan, lalu pesaing, lalu musuh pemerintah (seakan dia menjalankan dengan baik perintah al-Qur’an untuk pertama-tama menasihati, lalu mengingatkan, sebelum akhirnya memerangi penguasa 2 yang dianggapnya lalim).
Wahabisme dan Kekerasan. Wahabisme sering kali kita identikkan dengan kekerasan. Ini bukan saja tak adil, tapi juga berbahaya, karena beberapa sebab. Sementara jelas bahwa tak semua Wahabi mendukung aksi-aksi kekerasan, apalagi terorisme, juga jelas bahwa diperlukan lebih dari sekadar kemauan (teologi politik, commitment), untuk melakukan kekerasan, tetapi juga kemampuan (capacity) untuk melakukannya.
Dan pada gilirannya, aspek kedua ini, kemampuan, sebenarnya mengandung dua sisi: kemampuan si subjek sendiri, sebutlah Wahabi teroris, untuk melakukan aksi-aksi seperti teror; dan kemampuan pihak-pihak lain yang menjadi pesaingnya, khususnya negara yang berdaulat, untuk membatasi dan menghambat kemampuan pihak pertama.
Penting diingat, sedikitnya dibayangkan, bahwa di antara fatwa (Wahabisme) dan kekerasan (teroris) ini banyak sekali aspek yang sifatnya relational: seperti persaingan di antara jihadis sendiri, di mana kekejian al-Qaeda seperti menjadi tak seberapa dibanding kekejian ISIS; ongkos barang, mulai dari senjata, “pekerja perang” hingga platform seperti Twitter yang meningkat akibat aksi-aksi kekerasan; polisi atau tentara yang sengaja mendiamkan berkembangnya kantong-kantong radikal agar dana operasi terus berlanjut atau kesempatan naik pangkat terus terbuka; atau pemimpin agama atau aktivis perdamaian yang berharap ada program deradikalisasi terus-menerus; dan lainnya dan sebagainya.
Fakta Wahabisme. Jika yang di atas adalah teori atau logika terkait Wahabisme dan kekerasan, yang ini fakta, evidence yang harus kita perhatikan. Dalam laporannya yang banyak dipuji, Sidney Jones dan ICG (2004) menyimpulkan bahwa “most Indonesian [S]alafis find organisations like Jemaah Islamiyah (JI) … anathema. Salafism may be more of a barrier to the expansion of jihadist activities than a facilitator.”
Kesimpulan lainnya yang tak kalah penting adalah terkait perlunya pendalaman sistematis mengenai keragaman mereka, seperti sudah saya singgung juga di atas: “More than ever, there is need for an empirical study of the educational backgrounds of known JI-members, but ICG concludes that salafism in Indonesia is not the security threat sometimes portrayed. It may come across to outsiders as intolerant or reactionary, but for the most part it is not prone to terrorism, in part because it is so inwardly focused on faith.”
Kesarjanaan soal Kekerasan. Yang disarankan dalam butir di atas rupanya belakangan sudah menjadi wacana penting dalam kesarjanaan soal kekerasan dan Islam – dan kita, apalagi JIL, harus memikirkannya sungguh-sungguh. Dalam bidang perbandingan teori politik misalnya, sarjana seperti Roxanne Euben dan Michaelle Browers (2007) menganalisis isi karya-karya para Islamis (misalnya Sayyid Quthb) sebagai bagian dari tradisi diskursif yang dinamis.
Berbeda dari para sarjana yang berorientasi pada kebijakan, yang berusaha membuat anatomi atas identitas Wahabi yang dipandangnya esensial (“dari sananya”), kedua sarjana di atas menggambarkan bentuk-bentuk identitas Islam sebagai cermin ekspressi gagasan keislaman yang dinamis dan cair: ya, sebagai gagasan, konstuk manusia yang bisa terus diutak-atik.
Jadi, mari kita kembali ke khittah. Mari kita (Islam liberal?) menjadi rival, pesaing, atau bahkan musuh, yang baik dari Wahabisme: lebih ramah, lebih demokratis, lebih adil. Dan kita harus memulainya sejak dalam pikiran.