Pada prinsipnya, kekuasaan politik harus ada di tangan rakyat. Sejarah Nabi membuktikan bahwa meskipun beliau memegang otoritas dunia dan keagamaan sekaligus, beliau tetap melakukan proses-proses partisipasi publik untuk mengambil kebijakan yang bersifat duniawi. Untuk soal agama, otoritas penentu kebijakan memang sepenuhnya berada di tangan Nabi.
Persoalan reinterpretasi teks-teks agama, baik Al-Qur’an, Hadis, dan konsep-konsep yang dirumuskan ulama klasik Islam merupakan persoalan mendasar dalam upaya membangun kembali pemikiran keislaman. Sebab, pada titik inilah pemikiran keislaman lantas menjadi ajang pertaruhan.
Jargon “Tidak ada hukum selain hukum Tuhan” misalnya, menjadi teks antidemokrasi bila sampai di tangan mereka yang antidemokrasi dan tak paham akan konteks jargon tersebut. Konsep-konsep kekuasaan politik dalam pandangan ulama Islam klasik juga potensial untuk disalahgunakan bila diinterpretasikan oleh mereka yang tidak bertanggungjawab.
Untuk menggali konsep-konsep ulama klasik Islam tentang kekuasaan politik dan bagaimana interpretasinya, Ulil Abshar-Abdalla mewawancarai KH. Husein Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Aryowinangun, Cirebon. Kyai yang akrab disapa Kang Husein ini setia bergelut dengan pemikiran klasik Islam dan aktif dalam kelompok Fahmina, sebuah LSM di Cirebon yang berjuang untuk kesetaraan gender. Berikut petikannya:
Kang Husein, dalam doktrin Islam, soal memilih seorang pemimpin atau nashbul imâm merupakan suatu keharusan dan tidak bisa dihindari. Bagaimana pandangan umum Islam tentang kekuasaan politik?
Benar, kekuasaan politik adalah keniscayaan, dan memilih seorang pemimpin atau nashbul imâm adalah wajib. Tapi di sana juga terdapat perdebatan pendapat: apakah (kewajiban memilih penguasa atau imam itu) berdasarkan logika atau titah dari Tuhan? Tapi semuanya sepakat pada poin wajibnya memilih pemimpin.
Menurut Anda, kewajiban itu berdasar pada titah Tuhan atau kebutuhan logika saja?
Saya kira, ketika aturan dan ketentuan-ketentuan Tuhan sudah turun pada manusia, maka itu semua sudah berada pada wilayah kemanusiaan. Artinya, Tuhan dalam hal ini hanya menyebutkan hal-hal pokok dan mendasar bagi kepentingan kemanusiaan.
Sementara bagaimana caranya menerjemahkan hal-hal pokok itu diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Saya kira, di sinilah peran logika yang dimiliki manusia. Jadi, ada kesamaan antara (ketentuan Tuhan tadi) dengan kepentingan logika untuk mengatur kehidupan ini.
Adakah alasan agama mewajibkan memilih penguasa politik?
Alasan-alasan yang dikemukakan antara lain: tanpa adanya kekuasaan politik, sesungguhnya manusia cenderung tidak teratur. Ini mungkin digambarkan oleh sebuah syair klasik berikut: “Al-mulk bid dîn yabqâ, wad dîn bil mulki yaqwâ.” (dengan [mengindahkan] etika agama, kekuasaan menjadi langgeng; dan dengan kekuasaan [politik], agama menjadi kokoh, Red). Makanya, menegakkan kekuasaan (politik) menjadi suatu keniscayaan, baik secara logika maupun tuntunan agama.
Kalau merujuk pendapat tersebut, apakah artinya agama harus ditegakkan melalui kekuasaan politik negara?
Saya kira tergantung interpretasi terhadap agama itu sendiri. Saya ingin menginterpretasikannya lain dari yang umum dilakukan. Agama yang dimaksud di sini bukan hanya gugusan moralitas universal, tapi juga keyakinan personal. Hanya saja, keyakinan personal itu, ketika berhubungan dengan orang lain menjadi urusan pribadi yang tidak layak dibawa-bawa.
Yang dipentingkan dalam konteks ini adalah bagaimana wujud kepercayaan pribadi tadi menjelma dalam bentuk-bentuk tindak kemanusiaan yang universal. Nilai-nilai kemanusiaan universal itu mencakup soal kesetaraan, keadilan, kejujuran, dan lain-lain. Karena itu, menurut saya teks-teks keagamaan merupakan wilayah perdebatan antarmanusia. Jadi di situ tidak berlaku prinsip “apa yang disebutkan teks dengan sendirinya harus dilakukan.”
Kang Husein, bagaimana agama melihat pilihan golput, misalnya pernyataan Gus Dur kemarin karena gagal menjadi calon presiden?
Itu adalah persoalan hak. Selama itu menjadi hak masyarakat, tentu boleh-boleh saja. Tetapi tentu ada resiko-resikonya. Ketika lebih banyak masyarakat yang berpartisipasi dalam pemilu, maka kekuasaan yang terpilih akan cenderung menjadi lebih kuat.
Kalau golput dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kekuasaan yang dianggap tidak sesuai dengan moral, atau tidak memenuhi harapan perubahan, bagaimana?
Saya kira persoalan ini dilematis. Ketika kita tidak berpartisipasi (dalam pemilu), tentu akan menimbulkan masalah yang besar bagi sebuah kekuasaan. Kalau kita ikut berpartisipasi, mungkin juga akan menimbulkan kesulitan. Hanya saja, kadang-kadang kita harus melakukan dukungan terhadap kekuasaan, meskipun kurang bagus, dibandingkan tidak mengikuti apa-apa, dan potensial menimbulkan suasana yang chaos atau anarkhi.
Dalam konsep kekuasaan klasik Islam (khususnya paham Sunni, Red), apapun kondisi sebuah kekuasaan –termasuk yang zalim sekalipun– lebih baik dibandingkan suasana chaos dan anarkhisme. Jadi di sini perlu diperhatikan: sejauh mana sikap golput itu tidak menjadi masalah, ataukah akan akan menimbulkan suasana chaos.
Berdasarkan rumusan tadi, mana yang Anda pilih: kekacauan yang terjadi akibat tidak ada kekuasaan, atau kekuasaan yang menjaga ketertiban, meskipun bersifat tidak adil?
Saya sampai hari ini masih mengikuti pilihan kedua, sambil tetap kritis untuk menciptakan aturan baru yang memperbaiki kondisi yang zalim itu.
Dalam doktrin kekuasaan yang dirumuskan periode klasik Islam, faktor ketertiban (harmoni) nampaknya sangat ditekankan. Akibatnya, rezim-rezim Dunia Islam banyak menyalahgunakan doktrin itu untuk melegitimasi kekuasaan politik mereka yang korup dan otoriter. Pendapat Anda bagaimana?
Sebetulnya pada tingkat substansi, kondisi seperti itu (kekuasaan yang otoriter dengan dalih menjaga ketertiban, Red) tentu tidak ideal. Saya melihat penerimaan terhadap kondisi seperti itu (status quo) adalah bagian dari penerimaan terhadap kondisi yang darurat.
Biasanya dalil-dalil fikih memberikan semacam tuntunan untuk situasi darurat, berupa pilihan pada alternatif yang lebih kecil resikonya (akhaffud dlarârain). Artinya, pilihan terhadap kekuasaan yang otoriter itu dianggap lebih kecil resikonya dari pada kondisi chaos dan anarkhisme.
Apakah teori kedaulatan rakyat, bahwa kekuasaan sebenarnya ada di tangan rakyat melalui jargon vox populi vox Dei (suara rakyat [setara dengan] suara Tuhan) itu, dalam pandangan Islam bisa dibenarkan?
Pada prinsipnya, kekuasaan politik harus ada di tangan rakyat. Sejarah Nabi membuktikan bahwa meskipun beliau memegang otoritas dunia dan keagamaan sekaligus, beliau tetap melakukan proses-proses partisipasi publik untuk mengambil kebijakan yang bersifat duniawi. Untuk soal agama, otoritas penentu kebijakan memang sepenuhnya berada di tangan Nabi.
Selompok umat Islam mengatakan sumber kekuasaan yang sebenarnya adalah Tuhan. Karena itu, konsep demokrasi mereka tolak, karena melandaskan kekuasan pada kamauan rakyat. Betul begitu?
Dalam sejarah Islam, ketika konflik antara kekuatan Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan berkecamuk dan kemudian berbuah mekanismetahkîm (arbitrase) untuk meredakan konflik, muncul sekelompok orang yang tidak puas dengan proses tahkîm tersebut (sekte Khawarij atau kaum pembelot, Red) sambil meneriakkan “lâ hukm illâ lilLâh” (tak ada proses hukum yang sah kecuali yang ditentukan Allah, Red).
Mereka lalu menginterpretasikan bahwa semua kekuasaan hanya ada di tangan Allah. Ungkapan inilah yang dijadikan landasan mereka yang menentang demokrasi. Padahal, ungkapan kaum Khawarij itu dikritik habis-habisan oleh Sayyidina Ali sendiri. Menurutnya, jargon tersebut merupakan “kalimatu haqqin urîda bihâl bâthil” (ungkapan yang benar untuk kepentingan yang salah).
Mungkin, ini disebabkan sulitnya kita mendefinisikan apakah yang disebut dengan kekuasaan Tuhan, dan apakah yang dimaksud dengan hukum Tuhan? Pada akhirnya nanti, tetap saja ada proses interpretasi yang bersifat manusiawi (dilakukan manusia, Red) terhadap apa yang disebut hukum atau keputusan Tuhan itu.
Mungkin ada persoalan mendasar di situ: kalau kita mengatakan kekuasaan itu milik Tuhan, bagaimana bentuk akuntabilitasnya? Sebab Tuhan kan tidak terlihat. Tapi ketika kekuasaan dirumuskan sebagai milik rakyat, kita bisa mempertanggungjawabkannya secara objektif dan terukur.
Ya. Saya kira, lagi-lagi kita akan terjebak pada persoalan interpretasi. Ketika menyebut Tuhan pada tingkat manusia, pada tingkatan realitas sosial, maka kita mencari apa yang sebetulnya mewakili Tuhan?
Saya ingin mengatakan bahwa, apa yang disebut Tuhan dalam realitas sosial, sesungguhnya adalah prinsip-prinsip kemanusiaan universal yang ditentukan Tuhan untuk manusia itu sendiri. Jadi pada tataran konsep teologis tentang Tuhan, akan terjadi dua pengertian.
Pertama, otoritas Tuhan-Yang-transendental; kedua, otoritas Tuhan yang diwujudkan dalam tatanan masyarakat. Pengertian yang kedua ini mencakup nilai keadilan, kesetaraan dan lain-lain. Itulah yang saya sebut sebagai “Tuhan pada tataran konsep sosial”.
Apakah Anda ingin mengatakan bahwa Tuhan itu diwakili oleh ide-ide tentang keadilan, kesetaraan, dan lain-lain, sehingga kalau sebuah kekuasaan mendasarkan diri pada ide tentang keadilan, maka dia dapat disebut kekuasaan Tuhan, apapun nama dan bentuknya?
O ya, betul! Apapun nama dan bentuknya. Kalau merujuk ke Imam Syafi’i atau Abul Wafa’ ibn Aqil, mereka mengatakan, ”As-siyâsah mâ kâna fi’lan yakûnu ma’an nâs yakûn ’aqrab ilâs shalâh wa bau’da ‘anil fasâd, wain lam yadha’hur rasûl walâm yanzil bihî wahyun.”
Artinya, kebijakan publik itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat dan menjauhkan mereka dari kerusakan, meskipun aturannya tidak ditentukan oleh Nabi ataupun keputusan wahyu.