IslamLib – Kemaren sore, Minggu 20/10, saya bertemu dengan rombongan mahasiswa dari National University of Singapore (NUS). Ada delapan belas orang dalam rombongan itu. Sebagian besar adalah mahasiswa S1. Sebagian, mahasiswa S2. Dalam rombongan itu, ikut serta Dr. Noor Aisha Abdul Rahman, Ketua Department of Malay Studies. Ada juga aktivis kelompok The Reading Group, Mohamed Imran Mohamed Taib.
Mahasiswa Singapura ini berkunjung ke Indonesia, dan bertemu dengan sejumlah tokoh dan organisasi Islam di sini, untuk mengetahui “first hand” masalah dan dinamik Islam di tanah air kita. Sebagai negeri besar dengan perubahan-perubahan yang begitu cepat usai reformasi dulu, sudah tentu Indonesia menjadi obyek pengamatan yang menarik, terutama bagi sarjana yang mau mengkaji perkembangan Islam di kawasan Melayu.
Setelah perubahan besar pada 1998 di tanah air, ada banyak lompatan ke depan, tetapi juga sekaligus kemunduran dalam beberapa sektor. Salah satu perkembangan yang menarik di Indonesia tentu saja yang berkenaan dengan Islam. Percakapan serta diskusi Islam di Indonesia mungkin salah satu, jika bukan malah yang paling menarik di seluruh dunia Islam sekarang. Percakapan Islam di sini begitu dinamis, meski kadang juga menjengkelkan.
Di Indonesialah, sejumlah eksperimen keislaman berlangsung dalam lima belas tahun terakhir, baik dari segi pemikiran atau aksi gerakan. Eksperimen ini dimungkinkan, antara lain, karena adanya ruang terbuka yang tersedia setelah reformasi.
Dalam diskusi sore itu, sejumlah masalah mengemuka. Yang paling menarik saya ialah komentar salah seorang anggota rombongan: Bahwa ada ketakutan dan kecemasan atas pemikiran Islam liberal di Singapura. Saya tak kaget mendengar hal ini. Hal serupa juga terjadi di Malaysia. Bahkan saya pernah dilarang masuk ke negeri itu pada Agustus, 2014. Alasannya: kedatangan saya dikhawatirkan menggoncangkan iman umat Islam di negeri itu. Luar biasa!
Ketakutan semacam ini bukan hal baru. Sejak era klasik hingga sekarang, kita kerap berjumpa dengan ketakutan pada ide. Sebut saja “logiaphobia” – kecemasan pada logia, ujaran, atau gagasan. Waktu di pesantren dulu, saya selalu diwanti-wanti: jangan dekat-dekat dengan ide Mutazilah. Berbahaya!
Yang menarik adalah ini. Walau kami dulu ditakut-takuti dengan Mutazilah, tetapi kitab-kitab yang kami pelajari, terutama yang berkenaan dengan teori hukum Islam (ushul fiqh), banyak memuat ide-ide kelompok itu. Mutazilah menjadi semacam “enemy in the mirror”, musuh dalam cermin. Setiap kali posisi intelektual kaum Sunni disebut dalam kitab yang kami pelajari, pada saat yang sama pendapat Mutazilah juga dihadirkan. Sebagai bahan perbandingan.
Tampaknya, kaum Sunni mendefinisikan dirinya secara negatif dengan cara mengontraskan diri terhadap Mutazilah. Jika Mutazilah berpendapat A, maka Sunni harus B. Tak boleh sama. Tentu ini bisa dipahami. Sebab salah satu pendiri mazhab Sunni yang paling dominan, yaitu Abul Hasan al-Asyari (w. 936), adalah mantan tokoh Mutazilah yang keluar dan mendirikan mazhab terpisah. Sunniisme adalah semacam “counter discourse” terhadap Mutazilisme.
Kebiasaan menakut-nakuti umat semacam ini melahirkan kultur sensor atau melarang pendapat-pendapat yang dianggap berlawanan dengan keyakinan yang dominan. Pendapat-pendapat semacam ini di-block, tidak diberikan ruang untuk menyatakan diri. Dalam diskusi sore itu, saya mengemukakan bahwa salah satu masalah dengan umat Islam saat ini adalah masalah ruang. The problem of and with space.
Ini bukan ruang fisik berupa tanah atau bangunan. Tetapi ruang mental, ruang intelektual, ruang pemikiran. Kelompok ortodoks yang menguasai kebenaran dalam Islam mencoba untuk mengkolonisasi, menduduki ruang itu, menjaganya, memagarinya agar tidak diintervensi oleh paham-paham lain yang berseberangan.
Imran Taib, ketua rombongan dari Singapura itu, mengemukakan observasi yang menarik dalam percakapan sore kemaren: Siapa yang menyebar-nyebarkan ketakutan ini? Siapa yang diuntungkan? Saya kira jawabannya jelas: yang diuntungkan ialah para pemangku ortodoksi yang merasa “vested interest”-nya akan terganggu jika ada ide lain yang mendesak pakem kebenaran yang selama ini ia lindungi dan jaga dengan sepenuh iman.
Tetapi, di era digital yang sangat terbuka sekarang, apalah arti sensor? Dulu, ruang pemikiran bisa dimonopoli, dijaga dengan ketat agar “yang lain” tak bisa masuk. Sekarang, ruang itu melebar, mekar, dan sulit dibatasi. Di ruang maya, siapapun bisa masuk, berbicara, mengemukakan pandangan, menyanggah ide orang lain, mempersoalkan, dst. Di ruang ini, apa yang disebut Habermas sebagai tindakan komunikatif yang relatif bebas, tanpa distorsi, berlangsung.
Tak ada yang bisa mencegah rombongan dari Singapura itu untuk datang ke Jakarta, karena, mungkin saja, tergelitik dan penasaran oleh gagasan-gagasan yang muncul di web Islam liberal. Sekarang ini, pertaruhan ide bukan lagi terletak pada stempel yang ia miliki – yakni stempel restu dari pihak ortodoksi. Ide yang masuk akal, cepat atau lambat, akan diterima oleh khalayak luas. Ide yang tak masuk akal, walau dibubuhi ribuan ayat dan hadis sekalipun, akan tersingkir.
Sore itu, kepada teman-teman Singapura, saya menyampaikan pentingnya kekuatan akal sehat. The power of common sense. Jika “fatwa” atau pandangan keagamaan tak masuk akal, umat dan publik pasti akan mencabarnya, mengkritiknya. Ruang kritik saat ini terbuka luas untuk sesiapa saja. Dulu, podium dari mana seseorang bisa menyampaikan pandangan dimonopoli kelompok mayoritas. Sekarang, podium yang bisa dimonopoli seperti itu sudah tak ada lagi. Sekurang-kurangnya, kemungkinan menyensor berkurang drastis.
Podium sekarang sudah berubah karakternya: podium berubah menjadi virtual, berada di dunia maya. Borderless. Tanpa batas. Menakut-nakuti umat, menyebarkan logiafobi, sudah tak mufid lagi. Tak guna. Sebab setiap orang sekarang adalah “an orthodoxy unto him/herself”. Setiap orang bisa merumuskan ortodoksi atau kebenaran bagi dirinya sendiri, berdasarkan kekuatan akal sehat yang dianugerahkan Tuhan.
Apakah tak akan muncul anarki atau kekacauan dari situasi yang tanpa pusat semacam itu? Saya yakin tidak. Sebab, yang akan muncul dari sana adalah kesediaan orang untuk mengikuti suatu pendapat bukan karena takut (misalnya: takut masuk neraka jika tak tunduk). Melainkan karena suatu pendapat memang masuk akal dan relevan dengan semangat zaman.
Yang muncul bukan lagi budaya takut, tetapi “budaya setuju” (the culture of consent) terhadap suatu pendapat karena ia layak disetujui, karena kekuatan argumennya, karena ia susuai dengan common sense.[]