Perbedaan agama saja tak pernah sekonyong-konyong menciptakan intoleransi beragama dalam suatu masyarakat, sepanjang masih terdapat apa yang disebut Geertz sebagai mix tide atau aspek-aspek kesamaan di sisi lain,seperti kesamaan suku dan kelas ekonomi.
Karena itu, ketika konflik-konflik bernuansa agama terjadi, yang perlu dilakukan pemerintah bukanlah intervensi untuk menyamakan sudut pandang agama yang beragam, tapi bagaimana menciutkan jurang perbedaan pada aspek-aspek lain yang bersifat non-agama. Demikianlah evaluasi Dr. Yudi Latif, Deputi Rektor Universitas Paramadina, tentang situasi sosial-keagamaan di Indonesia sepanjang setahun pemerintahan SBY-Kalla, kepada Burhanuddin dan Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (10/11) lalu.
Bung Yudi, apa yang bisa anda katakan tentang situasi sosial-keagmaan kita selama setahun pemerintahan SBY-Kalla?
Pertama, kehidupan beragama periode SBY-Kalla juga mencerminkan situasi ambigu dalam dunia politik kita. Yaitu bentuk perpaduan yang buruk antara sistem presidensial yang dipilih secara langsung dengan sistem multipartai yang memaksa presiden—meski dipilih suara mayoritas, tapi datang dari partai kecil—untuk tetap bernegosiasi dengan partai-partai besar lainnya.
Dengan begitu, posisi presiden seringkali terbelah (split) antara kehendak menegakkan rule of law dan keharusan mengakomodasi dan bersikap lunak terhadap aspirasi elemen-elemen yang justru menentang fungsi presiden sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitusion) dan kekuatan moderasi(moderating forces). Kadang-kadang, SBY tampak mengakomodasi saja elemen-elemen yang sesungguhnya sangat rawan mengganggu proses-proses moderasi.
Kedua, dalam kehidupan beragama, era SBY-Kalla sebenarnya masih melanjutkan proses anomali yang muncul ketika rezim otoriter kita tumbang. Dalam situasi yang otoriter, konflik-konflik beragama itu tampaknya bisa dituntaskan dengan cara-cara kekerasan, walau sebenarnya tidak pernah bisa tuntas. Artinya, kita tetap belum punya perangkat hukum yang melindungi hak-hak warganegara untuk mengekspresikan kebebasan beragamanya.
Himbauan toleransi yang kita dengar selama ini, baru sampai pada himbauan-himbauan etis. Padahal, toleransi harus diberi kaki, diterjemahkan dalam bentuk hukum-hukum publik. Di antara norm dan fact, kata Jurgen Habermas, harus ada hukum-hukum publik di mana terjemahan toleransi menjadi jelas dalam institusi hukum.
Nah, itu harus jelas dulu. Selama ini, kita baru punya niat baik atau good will,yang masih dirembukkan. Tokoh-tokoh agama dipertemukan oleh Departemen Agama, tapi tidak pernah ada legal framework yang berposisi jelas, sehingga dapat digunakan di mana saja. Kapan kebebasan beragama seperti hasrat untuk mendirikan gereja atau masjid punya legal framework yang jelas, yang lebih kuat dari sekadar Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri?
Artinya, toleransi sudah kita akui secara etis, tapi belum diterjemahkan dalam kekuatan hukum yang melindungi toleransi itu sendiri?
Betul. Ambillah contoh aksi-aksi kekerasan seperti pembakaran rumah-rumah ibadah. Dalam kasus seperti ini, kita memang telah mengkritik atau menghujat. Tapi di balik itu semua, kita juga mendapati aparat penegak hukum tidak cukup konsisten melakukan tindakan hukum terhadap mereka-mereka yang bersalah.
Lazimnya, kalau ada persoalan di tingkat grass root, yang pertama ditanya adalah: apakah aparat penegak hukum mampu mengeksekusi persoalan secara konsisten, taat asas, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, jauh sebelum amuk massa terjadi?
Bung Yudi, mirisnya, beberapa survei yang kita lakukan belakangan ini justru menunjukkan indikasi menipisnya tingkat toleransi beragama di dalam masyarakat. Komentar anda?
Soal toleransi beragama memang tak pernah berdiri sendiri. Ada elemen-elemen relasi sosial lainnya yang ikut mempengaruhi orang atau suatu komunitas untuk toleran pada suatu hari dan sangat brutal di lain. Aspek-aspek lain yang disebut Clifford Geertz sebagai mix tide itu juga harus kita perhitungkan.
Maksudnya, aspek perbedaan yang ada dalam suatu masyarakat manjemuk (misalnya perbedaan agama), bisa saja dinetralisasi oleh kesamaan pada aspek sosial lainnya, seperti kesamaan suku, kelas sosial, atau latar belakang pendidikan. Semakin banyak mix tide atau titik temu itu kita jumpai, perbedaan agama saja biasanya tak pernah bisa meruncing. Misalnya, perbedaan agama dalam konteks orang-orang sesama suku Batak, dan suku lainnya.
Bahkan konon, di Aceh yang sering kita pandang sebagai serambi Mekah dan mencerminkan unsur-unsur Islam yang puritan, dalam beberapa puluh tahun terakhir tak pernah terdengar aksi-aksi pembakaran gereja. Ini kan kasus menarik.
Di Batak juga begitu, karena di sana terdapat institusi lain di luar lingkup keagamaan (religious framework) yang cukup efektif, yaitu bekerjanya konsep marga yang dipercaya dapat memoderasi perbedaan-perbeaan agama. Tapi, semakin banyak aspek-aspek perbedaan, seperti berkoinsidensinya perbedaan kelas dengan perbedaan suku, akses ekonomi, dan sentimen agama, maka akan semakin rawan tingkat toleransi suatu masyarakat tersebut.
Artinya, ketiadaan interseksi antar pembelahan sosial dalam masyarakat itu bisa sangat rawan, seperti citra Kristen, kaya, dan sulit bergaul pula….
Tepat. Dalam kasus seperti itu, intervensi apa yang bisa dikerjakan pemerintah? Perbedaan agama sudah jelas tak bisa diintervensi. Ambisi untuk menyamakan agama sudah terbukti tidak mungkin. Maka pemerintah harus mencari lahan intervensi pada aspek-aspek lain agar sentimen keagamaan bisa dinetralisasi. Misalnya intervensi pada perwujudan negara kesejahteraan dan keadilan sosial. Ini penting agar perbedaan dalam struktur ekonomi bisa dipersempit, dan sentimen-sentimen keagamaan bisa bertemu mix tide lain.
Masalahnya, saat ini impian negara kesejahteraan itu tidak bekerja. Sejak zaman kolonial, di negeri ini sudah terjadi proses segregasi ekonomi, etnis, dan ruang yang saling berhimpitan. Misalnya, etnis Cina disegregasi dalam ruang-ruang tertentu, terpisah dari etnis lain.
Akibatnya, di ruang tertentu kita menemukan orang kaya yang beretnis Cina dan beragama Kristen. Itu menciptakan persoalan triple minority yang sangat rawan. Jika perasaan itu sudah terbentuk, susah sekali membuat elemen-elemen lain dapat dipertemukan.
Karena itu, intervensi pemerintah tidak harus dalam bentuk memaksakan toleransi, seperti mempertemuakan tokoh-tokoh agama secara rutin. Secara simbolik, langkah itu memang baik, tapi tidak memadai. Peran pemerintah yang paling penting justru menciutkan gap-gap yang ada supaya terciptanya mix tide.
Mungkin perlu contoh. Dalam pergaulan di banyak tempat, kita seringkali berbaur dengan orang Kristen, Buddha, Hindu, dan lainnya. Tapi itu tidak serta-merta membuat kita gerah akan kehadiran mereka, karena kita juga dipersatukan titik temu lain seperti kesamaan level pendidikan.
Di situ, soal identitas jadi sangat cair dan tergantung konteks. Kalau ada pertandingan sepakbola antar propinsi, orang-orang Bandung tentu akan habis-habisan membela klub Bandung, berhadap-hadapan dengan bonek dari Surabaya.
Tapi ketika konteksnya berubah jadi pertandingan antarnegara, saat pemain Suarabaya dan Bandung bersatu, orang-orang yang tadinya bermusuhan akan bersatu menghadapi musuh bersama, umpamanya Malaysia. Jadi identitas juga bisa berubah-ubah.
Bung Yudi, idealnya memang harus ada keadilan sosial-ekonomi agar perbedaan agama tidak menjadi soal. Tapi kalau keadilan sosial-ekonomi belum terwujud, apakah toleransi juga akan susah mewujud?
Dalam kasus seperti itu, harapan penjaga nilai-nilai toleransi ada di pundak aparatur negara, karena merekalah yang seharusnya mengontrol berjalannya mekanisme hukum atau rule of law. Aparat negara harus ingat bahwa dalam konstitusi kita, setiap warganegara punya hak kebebasan dalam beragama, dan negara menjamin kebebasan setiap warganya untuk memeluk agama masing-masing.
Karena itu, tugas mengawal proses-proses toleransi yang pertama-tama ada pada negara. Bagaimana dengan elemen-eleman masyarakat sipil?
Elemen-elemen civil society menjalankan itu berdasarkan prinsip willingnessatau kesukarelaan. Law enforcement yang melindungi setiap warganegara untuk menjalankan kebebasannya dalam beragama, tetap ada di pundak aparatur negara. Tapi faktanya, justru di situlah titik persoalannya.
Ketika warganegara tidak diberi jaminan perlindungan oleh aparat negara, secara naluriah masyarakat akan mencari safety need, keinginan untuk aman masing-masing, dalam bentuk-bentuk lain. Bentuk-bentuk lain itu bisa datang dari premanisme, atau apa yang disebut Brian Turner Gemeinschaf baru, atau komunalisme baru, berupa kelompok-kelompok keagamaan yang kohesif
Jadi, kehendak untuk mencari safety need itu harus dibayar mahal sekali, akibat tidak adanya perlindungan negara atas hak-hak individu sebagai warganegara. Proses pencarian perlindungan muncul dalam bentuk tribus-tribus baru. Neo-tribalisme ini bisa datang dalam bentuk premanisme, ataupun kelompok keagamaan dan etnis yang tidak jelas tujuannya.
Berarti, aparatur negara harus senantiasa berada di tengah atau netral dalam hubungan antarumat beragama. Menurut evaluasi anda, apakah negara sudah netral dalam kasus-kasus pelanggaran hak kebebasan beragama dalam setahun ini?
Saya melihat, aparatur negara kita belum bisa menjalankan peran sebagai essential outsider, atau orang luar yang dibutuhkan sebagai penjaga keadilan masyarakat. Mereka tidak boleh menjadi part atau bagian dari sebuah kelompok. Ingat, dalam suatu komunitas negara atau bangsa, selalu saja ada konflik antar kekuatan-kekuatan civil society. Nah, berfungsinya essential outsider sangat dibutuhkan di situ.
Dalam kasus-kasus persengketaan antar warganegara, aparatur negara harus bersifat imparsial dan mampu melakukan tindak-tindak preventif terhadap kemungkinan munculnya kehendak main hakim sendiri di dalam masyarakat. Selama ini, aparatur negara seringkali tidak bertindak tegas, bahkan terkesan membiarkan elemen-elemen masyarakat tertentu melakukan praktik-praktik kekerasan berdasarkan kehendak mereka sendiri-sendiri.
Karena itu, seringkali gejala perusakan properti publik atau suatu kelompok berjalan begitu rupa, sementara aparat keamanan sangat terlambat, bahkan kadang-kadang membiarkan. Alih-alih menjadi penjaga rule of law, mereka sendiri justru terkadang menjadi pihak yang mendistorsi sengketa atau konflik. Kalau aparat keamanan tidak bisa bertindak tegas, lambat laun tidak akan ada lagi kepastian hukum, dan masing-masing kelompok akan melakukan improvisasi-impsovisasi dalam melebarkan skala konflik.
Dalam amatan anda, apakah dalam setahun terakhir pemerintah sudah tampil sebagai penjamin kebebasan beragama?
Harus ditegaskan bahwa kebebasan beragama adalah kebebasan yang bersifat paling fundamental. Tanpa jaminan kebebasan beragama, kebebasan-kebebasan lain tak berarti apa-apa. Karena itu, dalam konstitusi Amerika sendiri, kebebasan beragama menjadi aspek kebebasan pertama yang dilindungi negara.
Nah, kebebasan beragama sendiri sebenarnya bukan barang asing bagi orang-orang Islam. Tapi sekarang, orang-orang Islam beranggapan bahwa toleransi atau kebebasan beragama itu adalah pikiran dan nilai dari luar yang diinjeksikan ke dalam dunia Islam. Padahal, kebebasan beragama sudah pernah berjejak dan berakar kuat dalam tradisi Islam.
Tradisi at-tasâmuh ad-dînî sudah Islam perlihatkan sejak masa Nabi di Madinah, berlanjut ke era Cordova. Bahkan, ketika orang-orang Yahudi diusir dari Eropa, pemerintahan Turki Usmani justru melindungi mereka. Saya tidak tahu kenapa sekarang orang Islam takut akan nilai kebebasan itu. Seolah-olah, ada situasi paranoid di mana ancaman dari luar akan terjadi bila kita menegakkan nilai kebebasan dalam beragama.
Saya kira, sensitivitas dalam soal ini sudah berhimpitan dengan aspek-aspek lain. Jadi, perubahan motif-motif keagamaan itu mungkin disebabkan pergeseran dalam soal-soal sosial-ekonomi masyarakat, dan sebagainya.
Apa yang kita perlukan untuk menjamin kebebasan beragama?
Syarat kebebasan itu saya kira harus dilengkapi dua hal. Pertama adalah rule of law di mana negara menjamin dan melindungi hak setiap warganegara untuk beragama. Tapihukum saja tidak memadai. Harus ada syarat kedua, yaitu kepatutan atau kepantasan etis.
Maksudnya, meskipun misalnya setiap orang berhak mendirikan rumah ibadah, dan secara hukum hak itu dilindungi, biasanya tetap ada konvensi-konvensi di mana aspek kepatutan masih tetap dihormati. Misalnya, kalau pengikut suatu agama, katakanlah hanya 5 orang, tak usahlah membuat rumah ibadah sampai sepuluh biji.
Itu menjelaskan bahwa kebebasan absolut itu memang tidak pernah terjadi, bahkan di negara-negara Barat yang demokrasinya sudah maju sekalipun. Di Australia misalnya, tetap saja ada aspek kepatutan di mana orang-orang Islam tidak bisa begitu saja tampil mencolok, eksesif, dan secara eksibionis mendirikan masjid di tiap pojok kota, sebanding dengan banyaknya gereja. Itu tidak mungkin terjadi karena selalu adanya soal kepatutan etis.
Tapi perlindungan hukum yang menjamin hak untuk memiliki rumah ibadah bagi setiap agama mamang harus tetap ada. Tapi hukum saja tidak memadai di semua aspek pergaulan dalam hidup. Dalam obrolan dengan beberapa kawan non-Islam, saya menangkap kesan bahwa mereka juga mengakui adanya elemen-elemen tertentu dalam kelompoknya yang memang terlampau eksesif dalam melancarkan aksi-aksi misionari.
Tapi kan soal itu wajar saja muncul dalam tiap agama, asalkan tidak menjadi arus utama!
Saya kira, tiap agama, terutama yang misionaristik, selalu punya kepentingan untuk mengembangkan jejaringnya. Karena itu, wajar kalau akan selalu muncul pacuan untuk mengembangkan sebanyak mungkin rumah ibadah. Tapi di balik hak tiap-tiap kelompok untuk mendirikan rumah ibadah, negara tetap harus memastikan bahwa perluasan gerakan misionari atau suatu dakwah dalam masyarakat majemuk tidak akan mengganggu hak-hak orang lain, atau malah menimbulkan bentrokan yang lebih parah di tingkat masyarakat.
Karena itu, setiap kelompok harus menghormati situasi hukum yang ada, dan aparat negara harus memastikan bahwa ekspansi misionari ini tak menimbulkan dampak buruk terhadap kehidupan warganegara secara lebih luas. Berdasarkan itu, perlu ditegaskan bahwa, dengan alasan apapun—baik alasan agama atau pun hukum—sebuah rumah ibadah yang sudah berdiri tidak dibenarkan untuk dirobohkan oleh kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda.
Saya kira, argumen tekstualnya dari Islam sudah sangat jelas. Kitab suci Alquran telah menyatakan larangan mengganggu rumah ibadah-rumah ibadah agama lain, di mana asma-asma Tuhan disebut. Bahkan dalam Alquran, Allah secara jelas menyatakan: “Kalau Aku ingin menjadikan kalian satu umat saja, Aku tentu bisa. Tapi kalian memang Aku biarkan beragam agar saling berkompetisi secara sehat.” Jadi kita berbeda dalam rangka fastabiqul khairât, berlomba-lomba dalam kebajikan.
Terkait soal di atas, ada contoh menarik ketika Umar membebaskan Palestina. Ketika itu, beberapa sahabat ingin sekali menyelenggarakan salat di sebuah gereja. Tapi Umar mengatakan: “Jangan! Kalau orang Islam diizinkan salat di sana, lambat laun mereka akan mengambil-alih gereja tersebut.” Itulah bentuk perlindungan Islam terhadap minoritas. Saya kira, hikmah yang dapat dijumpai dalam berbagai khazanah Islam itu harus disegarkan dan ditumbuhkan kembali.
Berkaca dari kisah di atas, dengan alasan apapun, setiap kelompok keagamaan tidak boleh menghancurkan rumah ibadah-rumah ibadah kelompok lain. Tapi di sisi lain, setiap kelompok keagamaan juga harus memiliki kepantasan etis dalam bermasyarakat. Setiap orang atau kelompok harus melakukan self-distrance, rasa tahu diri. Untuk sesuatu yang sifatnya etis, memang diperlukan kerukunan, titik temu, dan dialog antar tokoh-tokoh agama.
Tapi aparat pemerintah juga harus tetap mengembangkan rule of law secara imparsial. Perangkat-perangkat legal dalam hubungan antar agama harus dilengkapi. Jadi tak cukup SKB saja, tapi harus naik ke tingkat undang-undang. Dalam masayarakat majemuk seperti indonesia, kasus-kasus gesekan antar agama akan selalu timbul dan timbul lagi. Untuk itu, kita harus memastikan bahwa legal framework untuk mengatasi pluralisme itu sudah tersedia.
Bung Yudi, Fareed Zakaria menyebut gejala illiberal democracydalam masyarakat yang beralih dari rezim otoriter ke rezim demokratis. Artinya, demokrasi tidak lantas menjamin kebebasan-kebebasan dasar warganegara, seperti kebebasan beragama. Apakah gejala itu sudah tampak di setahun pemerintahan SBY-Kalla?
Selama ini, demokrasi kita memang masih berhenti pada tingkat prosedur, masih sebatas kesuksesan pemilu, tapi belum dilengkapi aspek-aspek yang lebih substansif, seperti soal inclusive citizenship (kewarganegaraan yang terbuka). Dulu, orang memperhadapkan civil society dengan negara, tapi sekarang, ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan justru datang dari unsur-unsur di dalam civil society, seperti merebaknya fanatisisme. Jadi ancaman kebebasan bukan dari negara lagi.
Hal ini memang tidak khas Indonesia. Di Eropa abad XVI, fanatisisme ikonoklas juga terjadi. Ketika kekuasaan negara mulai mengendur dan kuncup demokrasi mulai bertumbuh, ancaman kebebasan justru datang dari elemen-elemen civil society, terutama elemen-elemen yang tak punya tempat dan ruang dalam permainan politik formal—entah karena basis konstituensinya lemah, atau karena terlempar dari percaturan politik.
Mereka inilah yang biasanya mengembangkan aksi-aksi yang lebih radikal, karena memang tak punya arena bermain. Kalau mereka masih bisa bermain di ruang politik, mereka masih akan tetap menjadi subyek negosiasi. Kita tahu, penonton itu selalu lebih keras. Nah, demokrasi kita harus mengatasi gejala itu.
Kalau diponten, berapa nilai pemerintah SBY-Kalla dalam isu sosial-keagamaan?
Posisinya mungkin 5,5. Memang secara formal kegiatan keagamaan di masa SBY-Kalla begitu semarak dan religiotainment tumbuh subur. Tapi secara substantif, dalam aspek keadilan dan toleransi, rasanya mundur dari masa sebelumnya.