IslamLib – Dewasa ini, media seringkali menghadirkan Islam melalui dua citranya yang kontradiktif. Satu sisi Islam dicitrakan dalam wujud keganasan, kumal, jenggot awut-awutan lecek, mata melotot teriak-teriak takbir atau wajah ‘fundamentalis’ lainnya. Sisi lainnya Islam hadir melalui citra kocak, gaul, ngepop dan trendi dengan simbol dai-dai selebritus.
Namun kedua citra tersebut sesungguhnya “hiperrealitas” karena keduanya menjadikan Islam kehilangan makna transformatifnya. Dua realitas tersebut adalah wajah dari Islam yang telah dijinakan dan dimanipulasi sedemikian rupa oleh realitas virtual budaya media yang selalu aktif mereproduksi tanda-tanda.
Persoalannya, bagaimana intelektual Muslim menunjukkan ketajaman visi transformatifnya dalam menguraikan Islam sebagai agama yang selalu mengalami metamorfosis?
Muslim dalam wacana Media. Tidak bisa dipungkiri, kita telah berada dalam era yang disebut sebagai Postmodern. Sebuah era di mana manusia dicirikan oleh perkembangan masyarakat massa yang menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan. Dalam era ini, manusia dimanipulasi oleh tanda yang ditonjolkan sebagai status, prestise, dan kehormatan melalui objek tanda dan simbol.
Dalam kaitan itu, ke-Islam-an oleh media dominan “ditandakan” dalam citra yang saling bertolak belakang dan saling bertarung.
Pertama Islam dihadirkan dalam wacana kekerasan kelompok ‘garis keras’ meliputi: aksi terorisme, tayangan penggerebekan kantong-kantong teroris, pengadilan terhadap terpidana teroris dengan pengamanan super ketat seakan menggambarkan betapa bahayanya umat Islam.
Belum lagi tayangan seputar ganasnya aksi sweeping yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam terhadap tempat-tempat yang dianggap sarang maksiat. Mereka yang berbondong-bondong menuju lokasi hiburan tersebut dengan meneriakkan “allahu’akbar” berkali-kali dan terkesan mengerikan. Muslim dalam citra ini, digambarkan sebagai manusia kerasukan setan, tidak tertib berkendaraan dan juga manusia kumal (dengan warna pakaian yang mencolok tapi tetap kumal dan tidak modis alias cingkrang).
Hal-hal tersebut di atas, yang menandai salah satu wajah Islam, kerap disoroti media secara mendetail, terkadang dibumbui diksi-diksi yang provokatif.
Kedua, media mencitrakan Islam sebagai damai, kocak, modis dan gaul. Pada bagian ini, Islam ditayangkan melalui pengajian-pengajian, sinetron Islami (yang sekaligus mengangkat citra Islam yang lebih ngepop dan trendi/modis).
Dalam citra bagian ini tidak terdapat simbol-simbol kekerasan yang dipadu dengan kalimat-kalimat dari Al-Qur’an. Para ustadz/ustadzah ditandakan dengan busana muslim yang terkesan lebih modis dan (yang laki-laki) jenggotnya-pun terlihat lebih rapi. Pembawa acara perempuan, walaupun memakai kerudung, tetapi dengan aksesoris dan dandanan yang membuat mereka terlihat menarik.
Demikian juga dengan sinetron Islami yang menggambarkan Muslim sebagai komunitas serba menari, meskipun terkesan naif. Singkatnya, pada bagian ini Muslim dicitrakan dalam budaya popular yang seakan serba terbalik dari citra manusia ‘fundamentalis’.
Islam Hibrida. Penandaan/simbolisasi dua citra Islam dalam media tersebut, dibangun di atas logika bahwa Islam yang radikal, anarkis, dan kolot akan dengan sendirinya dapat dijungkirbalikan oleh tanda Islam yang lebih toleran, modern, kontekstual, ngepop/trendi. Namun tidak bisa disembunyikan lagi bahwa baik citra Islam ‘kaku/kolot’ fundamentalis, maupun Islam popular, toleran dan trendi, sama-sama lahir dari rahim budaya dominan yang kapitalistik. Islam dalam media tidak lebih sebagai “tanda” atau komoditas yang bisa dikonsumsi sebagaimana umum dalam logika masyarakat konsumtif.
Islam tidak lagi merepresentasikan makna dan kedalaman nilai-nilai religiusitas melainkan merepresentasikan status, prestise dan kehormatan melalui sebuah mekanisme penandaan. Menjadi Muslim saleh tidak perlu melalui pencerahan spiritual, tetapi cukup melalui mekanisme konsumsi objek tanda dan simbol seperti: jilbab, kopiah, baju taqwa dan senyum yang telah diproduksi massal oleh industri kapitalis. Atau diperlihatkan dengan simbol sebaliknya: kumal, marah-marah dan bringas.
Dalam bingkai ini, “selebriti religius” bertugas merepresentasikan identitas diri dengan beragam tanda dan simbol sebagai seorang yang agamais melalui citra media. Maka, meminjam kalimat Jean Baudrillard (1970), masyarakat Islam dewasa ini telah dimanipulasi dan dipaksa untuk mengkonsumsi tanda-tanda tersebut.
Pencitraan media atas Islam tersebut kemudian melahirkan apa yang oleh Homy Bhaba disebut “budaya hibrida”. Dalam konteks ini disebut “Islam hibrida”, yakni Islam yang lahir dari pertemuan antara tuntutan menjadi agama ramah dan realitas budaya pop, yang mengambil representasi ‘selebriti religius’ sebagai ikon utama. Wajah hibrida Islam dapat dipahami sebagai model Islam yang telah dijinakkan, dimanipulasi. Atau mungkin dalam bahasa gaulnya disebut sebagai Islam telmi “telat mikir” karena ketidakmampuan bersikap kritis terhadap realitas budaya yang menggerogotinya.
Peran Intelektual Islam. Siapa dan bagaimana peran intelektual Islam terkait realitas tersebut? Meminjam bahasa Ali Syari’ati (1994), intelektual Islam adalah “Raushan fikr” atau pemikir yang tercerahkan. Ia berbeda dengan ulama yang hanya menemukan kenyataan kemudian larut dalam kenyataan. Intelektual harus menemukan ‘kebenaran’ di balik penampakkan. Ia hadir untuk memberikan penilaian seharusnya dan berbicara dalam bahasa masyarakat.
Intelektual seharusnya melibatkan diri pada ideologi. Yakni ideologi yang akan membimbing masyarakat untuk keluar dari kesadaran palsu yang dibangun oleh media dominan. Intelektual Islam dituntut menemukan loncatan kreatif yang besar menuju peradaban baru. Dengan begitu, peran mereka mampu mengeluarkan masyarakat dari sangkar besi (iron cage) dan mencairkan keadaan/citra Islam yang dibangun oleh hegemoni rezim media.
Intinya, intelektual muslim harus hadir di antara Islam wajah ganas dan Islam wajah selebritis religius yang terpasarkan. Tanpa keterlibatan praksis demikian, intelektual layaknya manusia zombi yang hanya mengintip di balik menara gading.[]