Tidak sedikit yang membenarkan retorika ini. Kasus Jerman dan Jepang dijadikan pembenar terhadap perang sepihak terhadap Irak tersebut. Amerika dan sekutunya perang melawan Jerman dan Jepang, dan kemudian Amerika dan sekutunya membantu kedua negara itu untuk kembali pulih setelah hancur dan kalah perang, dan membangun politik demokrasi di sana.d
Kasus Jepang dan Jerman tersebut tak terbandingkan dengan kasus Irak. Amerika dan sekutunya dibenarkan melakukan perang terhadap Jepang dan Jerman tersebut. Nazisme Jerman sudah bergerak menundukkan hampir semua daratan Eropa. Jepang sudah menjajah hampir semua kawasan asia Timur dan Tenggara. Jepang bahkan telah memulai memerangi Amerika dengan pengeboman Pearl Harbor yang terkenal itu.
Siapa pun tak ada yang meragukan bahwa Jepang dan Jerman merupakan ancaman nyata terhadap kedaulatan negara-negara lain. Perlawanan dan kemudian menundukkan dua negara ini dengan segala cara merupakan tindakan yang tak terhindarkan, dan karena itu dibenarkan.
Kata senator Larry Byrd dalam pidatonya di Senat Amerika sehari sebelum perang Amerika terhadap Irak itu menjelma, perang semacam itu adalah keniscayaan, tak bisa dihindari.
Sementara itu, perang terhadap Irak adalah perang karena pilihan, bukan karena keniscayaan. Artinya, perang terhadap Irak itu bisa dihindari kalau Bush menghendakinya. Masih ada jalan damai untuk melucuti senjata Irak, yang dipandang mengancam itu. Juga masih ada jalan damai untuk membebaskan rakyat Irak dan untuk membangun demokrasi di sana, kalau memang itu yang diiinginkan.
Irak bukan Jerman, dan bukan pula Jepang. Rezim Saddam lebih dekat kalau dibandingkan, misalnya, dengan rezim Soeharto. Keduanya represif dan brutal terhadap lawan politiknya, dan kejam terhadap gerakan separatis.
Suku Kurdi di utara dan Islam Syiah di selatan ditindas secara brutal, dan kalau ada kesempatan tidak ragu-ragu melakukan invasi ke negara tetangga seperti kasus Kuwait dan perang dengan Iran.
Hal yang mirip dengan ini adalah tindakan brutal Soeharto terhadap lawan politiknya, misalnya terhadap PKI, politik Islam, dan gerakan separatis di Aceh dan Irian. Kalau ada kesempatan, ia tak segan-segan menduduki tetangganya, misalnya dalam kasus Timor Timur. Bedanya, Saddam menggunakan senjata kimia, dan Soeharto tidak.
Perbedaan ini belum cukup untuk menjadikan serangan terhadap Irak sebagai suatu keniscayaan untuk membangun demokrasi di sana, sebab proses perlucutan senjata kimia tersebut sedang berlangsung dan menunjukan tanda-tanda kemajuan.
Walapun Saddam dan Soeharto kejam terhadap rakyatnya, rakyat kedua negara itulah yang langsung merasakannya. Merekalah yang punya hak untuk melawan dan menentukan bangsanya. Kalaupun mau demokrasi, merekalah yang harus melakukannya. Kalau Amerika dan sekutunya yang kaya dan pintar-pintar itu mau membantu, bantulah secara damai gerakan rakyat mereka menentang rezim itu.
Seperti dilaporkan CNN beberapa hari sebelum perang, rakyat Irak menginginkan demokrasi tapi mereka ingin melakukannya sendiri, tidak dengan kekuatan senjata dari luar seperti yang sekarang sedang dilakukan Bush. Rakyat Irak yang miskin dan tertindas itu masih punya harga diri sebagai bangsa yang berdaulat.
Rakyat Irak mengerti apa artinya demokrasi. Membangun demokrasi dengan perang, dengan pendudukan oleh kekuatan asing secara tidak sah, adalah antema, bertentangan dalam dirinya sendiri.
Rakyat Irak tahu bahwa demokrasi adalah rezim domestik yang dibangun atas dasar keinginan rakyatnya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi secara damai, bukan rezim yang dibangun dengan perang dan pendudukan oleh kekuatan asing secara tidak sah.
Kalau rakyat Irak ternyata sangat lemah dan tak mampu menumbangkan rezim Saddam dan menggantinya dengan kekuatan yang dikehendaki rakyat Irak sendiri, itu urusan mereka sendiri, bukan urusan orang Amerika –keculai mereka memang menghendaki kekuatan militer Amerika hadir di sana.
Orang Amerika mengira bahwa hanya mereka yang punya harga diri dan kebanggaan terhadap bangsanya. Mereka mengabaikan kenyataan bahwa rakyat Irak, seperti halnya rakyat Indonesia, punya harga diri, dan merasa bangga menjadi bagian dari bangsanya. Walapun miskin dan bodoh, rasa kebangsaan itu ada, dan pada akhirnya menentukan. Rasa kebangsaan itulah yang mungkin tersisa setelah yang lainnya lenyap dan tak dapat diraih.
Demokrasi dibangun di atas kebanggaan terhadap bangsa itu, di mana pun di dunia, kecuali orang Jepang dan Jerman yang sekarang unik, yang kurang bangga menjadi bagian dari bangsanya. Mungkin karena sejarah pahit mereka. Menjadi orang Jepang atau Jerman menjadi tidak penting karena dalam sejarahnya identitas ini menyengsarakan mereka.
Irak tidak punya pengalaman sejarah pahit seperti ini. Amerika mungkin sekarang sedang membuat identitas bangsa Irak menjadi pahit bagi orang Irak, dan sedang membuat warga Irak tidak bangga menjadi bangsanya. Apakah upaya ini akan berhasil, sejarah nanti yang akan mencatat.
Kebanggaan kebangsaan yang berlebihan seperti dirasakan orang Amerika sekarang memang bisa berdampak fatal. Keberlangsungan rezim Saddam sebagian dibangun dengan memompa rasa kebanggaan terhadap bangsa Irak ini, sehingga rakyat Irak tak mampu melihat bahwa Saddam dengan kedok kebangsaannya sedang menghancurkan bangsa Irak sendiri.
Ini sama seperti mayoritas rakyat Amerika sekarang yang sudah terpaku dengan kebesarannya, sehingga melihat kelakuan Bush seperti sekarang sebagai wujud dari kebesaran Amerika itu. Tak mau melihat bahwa tindakan Bush setidaknya membuat Amerika sebagai bangsa menjadi tidak populer dalam masyarakat dunia, menjadi bangsa yang menakutkan bagi bangsa lain. Opini dan perasaan orang dan bangsa lain seperti ini tidak penting bagi bangsa Amerika sekarang.
Demokrasi yang disanjung-sanjung dan dipuja sebagai sistem pemerintahan terbaik ketika disatukan oleh Bush dengan mesin perang, ia kemudian menjadi hantu yang menakutkan bagi bangsa lain.
Kalau orang takut dengan kebangsaan chauvinisitik, maka ketakutan itu sekarang ditambah dengan demokrasi chauvinistik, yakni penguasaan dan penjajahan negara lain dengan kedok demokrasi. Hasilnya adalah sebuah demokrasi tanpa bangsa, kecuali satu bangsa, yakni bangsa Amerika.