Home » Politik » Demokrasi » Fauzi Isman: “Iklim Kebebasan Kita Harus Disyukuri”

Fauzi Isman: “Iklim Kebebasan Kita Harus Disyukuri”

5/5 (3)

IslamLib – Perubahan sikap eskrem dalam beragama sangat mungkin asalkan sang ekstremis mau membuka diri dan bergaul dengan banyak orang dari latar belakang berbeda. Itulah yang pernah terjadi pada Fauzi Isman, mantan aktivis Kelompok Warsidi yang getol memperjuangkan negara Islam di tengah rezim represif Orde Baru. Pria yang kini menjadi terapis akupuntur itu menuturkan pengalamannya kepada M. Guntur Romli dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (22/6) lalu.

 

Mas Fauzi, apa yang dulu menjadi cita-cita Anda dan teman-teman waktu ikut terlibat kasus Talangsari Lampung yang berkehendak mendirikan negara Islam itu?

Cita-cita kami waktu itu, yang kemudian distigmatisasi oleh pemerintah sebagai gerakan pengacau Warsidi, adalah keinginan mendirikan negara Islam. Kenapa kami berpandangan seperti itu? Karena kami melihat bahwa Pancasila sebagai ideologi negara waktu itu telah gagal. Dan kami waktu itu melihat Islam sebagai sebuah alternatif. Saat itu kami yakin bahwa hanya dengan Islamlah bangsa ini akan dapat dibawa ke arah perubahan yang lebih baik.

Anda sebagai apa dalam Kelompok Warsidi?

Awalnya, kelompok Warsidi itu adalah salah satu faksi di dalam kelompok NII (Negara Islam Indonesia). Pada waktu itu, kelompok ini merupakan pecahan dari kelompok Usroh, Santan Nur Hidayat. Kemudian Nur Hidayat merekrut saya, Darsono, dan Wahidin, yang kebetulan punya pemikiran yang sejalan.

Melihat kita perlu segera mewujudkan negara Islam, kita harus membentuk kekuatan militer. Sebab waktu itu, kekuatan militer cukup dominan dan tindakan represi dari pemerintah Orde Baru keras sekali.

Banyak sekali aktivis-aktivis NII yang dipenjarakan, sehingga waktu itu faksi-faksi ini seperti kehilangan pemimpin, sehingga mereka-mereka yang sudah punya pola pikir fundamentalis tidak tersalurkan ke dalam aksi perbuatan. Itulah dasar pemikiran kami sehingga membentuk suatu jamaah. Kami tidak membentuk apa-apa lagi, tapi kira-kira jamaah itu bertujuan untuk mendirikan negara Islam.

Mengapa ideologi Islam begitu mempesona sebagai alternatif di masa itu?

Saya pribadi tertarik karena sikap kritis terhadap rezim yang berkuasa ketika itu. Dan ketertarikan saya pertama kali terhadap ideologi Islam bermula ketika mengikuti training yang diselenggarakan Pelajar Islam Indonesia (PII) di Bandar Lampung. Pada waktu itu, saya masih duduk di kelas 3 SMP.

Saat itulah saya sadar bahwa sebagai seorang muslim, seharusnya saya mencari pandangan hidup ataupun ideologi yang Islam. Tapi dari sana juga saya menyadari kekuarangan pemahaman saya tentang Islam, sehingga saat duduk di kelas 1 SMU, saya minta orangtua saya memondokkan saya di pesantren Tambak Beras, Jombang.

Saya sempat dua tahun belajar di sana dan dari situ pula saya makin menyadari pentingnya ideologi Islam setelah mengkaji fikih Islam dan segala macam disiplin ilmu di pesantren. Saya lalu kuliah di perguruan tinggi umum di Jakarta.

Di Jakarta inilah kemudian saya bertemu dengan kelompok NII, salah satu faksi NII Nur Hidayat. Saya tertarik karena semangat dia yang menggebu-nggebu hendak menegakkan syariat Islam di Indonesia.

Sebagai kelanjutan dari itu, kami membuat satu program yang ingin memberi suatu percontohan tentang negara Islam. Kami sebut Islamic Relief di Lampung. Lalu kami sosialisasikanlah misi ini ke faksi-faksi NII yang lain.

Misalnya ada faksi dari Tahmid, faksi Ajangan, faksi Masduki, dan faksi lainnya, termasuk orang-orangnya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Tapi waktu itu Ba’asyir lari ke Malaysia, dan sebagian orang menganggap tindakan Ba’asyir dan Sungkar tersebut sebagai tindakan pengecut.

Saya ingat persis, waktu itu seorang teman bernama Usman selalu mengatakan kok ada rasul yang hijrah duluan meninggalkan jamaahnya. Kebetulan setelah itu kami bertemu jamaah Warsidi di Lampung yang juga salah satu jamaah NII.

Setelah itu, jadilah kami kelompok yang paling keras di antara yang keras. Itulah isu di kalangan NII kala itu. Kami lalu membuat program Islamic Village, dan melakukan program hijrah. Kami pindahkan keluarga-keluarga kami, lebih kurang 100 keluarga, ke tanah Warsidi.

Kepindahan orang-orang yang waktu memakai krudung masih dianggap aneh dan identik dengan ciri kelompok fundamentalis. Itu lalu menimbulkan kecurigaan aparat pemerintah. Sebab waktu itu pendekatan intelijen dan militer sangat kuat.

Danramil waktu itu, Kapten Sutiman, meminta Warsidi untuk melaporkan kegiatannya, yang ditolak Warsidi. Tindakan menolak itu yang lalu dinamakan pembangkangan. Karena laporan intelijen juga menyebut kami sebagai kelompok radikal, lalu Sutiman melakukan penyerbuan dengan satu pasukan.

Di situlah terjadi insiden karena jamaah melakukan perlawanan dan Sutiman tewas. Selang dua hari kemudian, barulah Komandan Korem melakukan operasi pembersihan, sehingga banyak yang tewas. Ada sekitar 200 orang korban. Kami yang sisanya kemudian ditangkap, diadili, dan mengalami penyiksaan selama proses pemeriksaan. Pada waktu itu, saya diadili di Jakarta dan divonis 20 tahun penjara.

Kapan Anda berubah dari cita-cita ingin negara Islam menuju gerakan memperkuat basis-basis demokrasi?

Perubahan itu tidak terjadi seketika. Ada proses yang panjang dan mulai timbul ketika saya berada di penjara yang cukup lama, yaitu 10 tahun. Padahal usia saya waktu itu baru 22 tahun. Cuma waktu itu saya punya satu dasar yang menganggap semua itu sebagai proses mencari kebenaran dalam hidup. Itu dimungkinkan karena dalam diri saya ada sikap kritis.

Setelah mengalami kegagalan di Lampung, di penjara kita punya banyak waktu untuk kontemplasi atau melakukan muhasabah. Di situlah sikap kritis muncul. Doktrin-doktrin NII yang saya telan begitu saja selama ini, mulai saya kritisi.

Dalam NII, kalau kita mengaji, ada konsep bai’at. Dampak psikologis bai’at itu ternyata betul-betul sangat mendalam. Seakan-akan, kita berbai’at di hadapan Allah langsung. Kalau kita melanggar bai’at itu, berarti kita menentang Allah. Padahal kita berbai’at tidak kepada Allah, tapi kepada manusia biasa yang kebetulan pimpinan. Belakangan saya bertanya, otoritas apa yang ia punya kok mengatasnamakan Allah?

Pada awalnya, saya takut-takut juga berpikir begitu. Tapi saya coba mencari referensi dari kitab-kitab fikih, apakah bisa bai’at tersebut dibatalkan. Dan saya kebetulan juga senang bergaul di dalam penjara. Waktu itu, tahanan politik ataupun narapidana politik ada sekitar 100 orang yang dibagi antara ekstrem kiri dan ekskrem kanan. Ekstrem kiri adalah tahanan politik yang terlibat atau diduga terlibat dalam kasus G30S/PKI, sementara ekstrem kanan yang terlibat masalah-masalah Islam kayak kasus Tanjung Priuk, Lambung, Usroh, dan NII.

Lalu saya berjumpa narapidana politik kasus Timor Timur. Ada yang bernama Sanan dan ada juga dari OPM (Organisasi Papua Merdeka), almarhum Dr. Thomas Wangggai. Nah, saya senang bergaul dengan mereka.

Di situlah terjadi diskusi yang intens, walau kami tinggal di blok khusus EK (Ekstrem Kanan) yang dipisah dari tahanan khusus EK (Ekstrem Kiri) atau PKI. Blok tahanan Tim-Tim juga tersendiri. Pengawasannya sangat ketat. Tapi dari interaksi itulah saya memahami orang komunis.

Saya tidak tahu kebijakan apa pada waktu itu yang membuat pimpinan LP dan Bakorsanada menyatukan tahanan Lampung satu blok dengan tahanan politik G30S/PKI. Saya ketemu Kolonel Latif, Sersan Bungkus dari Cakrabirawa, dan bergaul juga dengan Asep Suryaman, anggota biro khusus PKI.

Juga ketemu Sukatno, Ketua Pemuda Rakyat, dan Rewang Iskandar Subekti. Dari pergaulan dengan mereka saya tahu, meskipun ideologi mereka komunis, tapi mereka tidak atheis sebagaimana yang selama ini saya pahami. Pak Latif tetap shalat Jumat ke Masjid, dan Asep Suryaman juga demikian. Itu pengalaman yang sangat mengesankan bagi saya yang pada akhirnya membuat pandangan saya tentang mereka tidak hitam-putih.

Saya bisa memahami latar belakang perjuangan mereka. Tapi ketika itu, tahun 1990, setiap tanggal 1 Oktober, bersamaan dengan peringatan G30S/PKI, tahanan PKI itu diambil untuk diekskusi mati. Saya masih satu blok dengan mereka-mereka. Saya di kamar 11, sementara Pak Asep Suryaman di kamar 4.

Nah, pada tengah malam ketika dia ingin dipanggil, mereka sudah tahu kalau akan dieksekusi. Mereka lalu datang untuk pamitan ke kamar saya. “Bung, kalau saya ada kesalahan dalam pergaulan dengan Anda, saya minta maaf.

Saya tidak tahu apakah saya termasuk mereka yang akan dipanggil atau tidak,” katanya. Padahal dia sudah menjalani hukuman penjara 27 tahun. Karena itu, dia mengatakan, “Saya sudah siap menghadapi kematian.”

”Apa yang membuat Anda siap, Pak?” tanya saya. ”Saya membawa ini,” katanya sambil menunjukan buku surat Yasin kecil di kantongnya. Saya sangat tertegun melihat peristiwa itu. Ternyata saya salah selama ini. Mereka berideologi komunis, tapi tetap shalat.

Dan ketika menghadapi kematian, buku Yasin kecil itu yang membuat dia yakin. Itulah yang mengubah pandangan saya agar tidak melihat orang lain secara hitam-putih. Padahal, selama ini, dalam NII diajarkan, pokoknya orang yang di luar kelompok kita adalah kafir dan segala macam cap buruk lainnya. Nah, itu yang mengubah saya, dan mendorong untuk mengupas dan mengkritisi doktrin-doktrin NII.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.