Home » Politik » Demokrasi » Islam dalam Transisi Demokrasi di Indonesia
Luthfi Assyaukanie ketika memberikan orasinya (Foto: IslamLib)

Islam dalam Transisi Demokrasi di Indonesia

5/5 (1)

IslamLib – Kemunculan Islam dalam pentas politik di Indonesia bukanlah suatu fenomena baru, tapi merupakan kelanjutan dari apa yang sudah ada jauh sebelum keruntuhan rezim Soeharto. Keinginan untuk mewarnai bentuk negara dan pemerintahan Indonesia dengan nilai-nilai agama sudah dicetuskan para tokoh Islam sejak sebelum kemerdekaan.

Perdebatan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang terjadi dua setengah bulan sebelum deklarasi kemerdekaan Indonesia menyisakan persoalan yang kemudian menjadi pemicu bagi munculnya kelompok-kelompok yang ingin membela kepentingan Islam. Islam politik bukanlah sesuatu yang baru di negeri ini.  Yang baru adalah suasana di mana para pengusungnya hidup.

Suasana baru itu membentuk ekspresi-ekspresi yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Berubahnya peta politik dunia, khususnya sejak berakhirnya Perang Dingin, munculnya medium-medium informasi baru, menguatnya interaktifitas manusia, dan semakin terbukanya akses terhadap pengetahuan, memaksa kelompok-kelompok Islam untuk mendefinisikan kembali peran dan kiprah mereka di dunia kontemporer.

Demokrasi yang kita raih tidak memberi banyak opsi kepada kelompok-kelompok Islam selain mengikuti “aturan main” yang disepakati bersama dalam ruang deliberasi yang kita sebut parlemen. Kita patut bersyukur bahwa kekuatan-kekuatan ideologis di negeri ini cukup berimbang. Keinginan satu kelompok untuk memaksakan ideologinya, karenanya, tak mudah dilakukan.

Perimbangan kekuatan ideologi dalam transisi politik sangatlah penting. Hal ini untuk menjaga agar proses-proses deliberasi berjalan lancar. Kesenjangan ideologi akan memunculkan kekhawatiran-kekhawatiran, khususnya jika ideologi itu tidak sejalan dengan tuntutan perubahan. Inilah yang terjadi di Mesir dan di beberapa negara di Timur Tengah belakangan ini.

Transisi politik di negeri itu memunculkan kekhawatiran akibat menguatnya satu ideologi tertentu dan surutnya kekuatan-kekuatan ideologi lain. Proses demokrasi bukannya menjanjikan kebebasan, tapi ketidakpastian dan kecemasan akan bangkitnya otoritarianisme dalam bentuk lain. 

Kita juga memiliki sejumlah kecemasan dalam transisi demokrasi yang kita jalani. Tapi, saya kira, kecemasan kita mestinya jauh lebih ringan untuk diatasi. Persoalan besar kita bukanlah masalah ideologi yang kerap merobek persatuan, tapi pada kualitas kepemimpinan, budaya politik, dan penegakan hukum yang belum maksimal.

Meningkatnya kasus-kasus intoleransi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas yang belakangan sering terjadi adalah buah dari kepemimpinan yang lemah dan penegakan hukum yang tidak bekerja. Kasus-kasus korupsi yang seperti tanpa henti menghiasi media massa kita adalah akibat dari perilaku politik yang culas.

Tantangan demokrasi di Indonesia bukan apakah partai-partai berideologi Islam mampu mengubah dasar negara menjadi negara agama, tapi bagaimana partai-partai di negeri ini –yang Islam maupun yang bukan– memiliki integritas dan mampu menjadi wadah bagi perekrutan pemimpin negara dan wakil rakyat seperti yang diharapkan.

Di tengah ramainya tokoh-tokoh Islam yang terjerat kasus korupsi, pembicaraan ideologi tidak lagi relevan. Tantangan terberat partai-partai Islam di Indonesia bukanlah menegakkan Syari’ah dan menerapkan hukum Islam, tapi memastikan bahwa para pemimpin mereka dan anggota-anggotanya tidak tergoda untuk mencuri sebelum hukum potong tangan kepada pencuri diterapkan.

Ekspresi-Ekspresi Baru

Dunia yang berubah dengan cepat mendorong siapa saja untuk menata dan menyesuaikan diri, tidak terkecuali kaum Muslim. Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan diri agar terus bisa bertahan hidup di dunia yang tak bersahabat ini: beradaptasi dengan lingkungan.

Modernitas selalu menyediakan kesempatan ganda dan sekaligus menjadi dilema yang rumit bagi kaum beragama. Pada satu sisi, mereka disuguhkan kebebasan untuk mengekspresikan iman mereka, tapi pada sisi lain, mereka dijejali pengetahuan dan gaya hidup menggoda yang bisa mengancam fondasi keimanan.

Alam mengajarkan kita bahwa proses adaptasi pada makhluk hidup memunculkan sejumlah kreatifitas yang diekspresikan dalam perilaku baru. Para ahli Biologi menyebut munculnya perilaku dan karakter baru ini sebagai “spesiasi” atau proses lahirnya suatu spesies.

Kita menyaksikan terjadinya “spesiasi” dalam perilaku keberagamaan umat manusia di dunia. Modernitas memaksa mereka untuk terus kreatif, agar bisa bertahan hidup di lingkungan yang beda.

Dalam dunia politik, kita menyaksikan munculnya partai-partai Islam dengan corak baru. Didesak oleh situasi yang terus berubah, partai-partai ini mendifinisikan kembali jatidirinya yang berbeda dari partai-partai serupa pada tahun 1950an. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah salah satu contoh “spesiasi” yang terjadi dalam dunia politik kita.

Percampuran antara politik Islam warisan masa silam dengan semangat puritanisme yang ditransfer dari luar menghasilkan “spesies” baru. Tidak Masyumi, tidak juga Partai NU di tahun 1950an yang bisa mendefinisikan partai ini. PKS adalah sebuah kreatifitas hasil adaptasi generasi kaum terdidik Muslim dengan lingkungan yang baru.

Di tengah persaingan partai-partai politik yang begitu ketat diperlukan kreatifitas untuk survive. Politik Indonesia tidak lagi sama seperti 50 atau 60 tahun silam. Lawan politik partai-partai Islam bukan lagi partai-partai sekular atau kelompok-kelompok nasionalis seperti tahun 1950an.

Ketika semua partai –termasuk partai-partai sekular– mengakomodasi aspirasi Islam,  tidak lagi relevan menjual agama sebagai daya tarik merebut suara. Apa yang dilakukan oleh PKS dengan menjual agenda non-Islamis, khususnya sejak Pemilu 2004, merupakan terobosan yang cukup berhasil. Dari partai yang hanya mendapat 1,3% suara pada Pemilu 1999 menjadi 7,3% suara pada Pemilu berikutnya.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.