IslamLib – Beberapa hari lalu, tak sengaja saya membaca kembali esai yang pernah ditulis oleh seorang Indonesianis yang cukup kondang di sini, R. William Liddle, gurunya beberapa “political scientists” Indonesia seperti Saiful Mujani, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Doddy Ambardi, dll. Esai Liddle itu ada dalam antologinya yang berjudul Leadership and Culture in Indonesian Politics (1996).
Artikel Liddle yang menarik perhatian saya ada di bagian akhir, mengenai prospek transisi ke demokrasi di Indonesia. Judulnya: “Can All Good Things Go Together? Democracy, Growth and Unity in Post-Suharto Indonesia”. Artikel ini ditulis pada 1994, kira-kira tiga tahun sebelum Indonesia terhempas krisis ekonomi yang akhirnya menjungkalkan rezim Orde Baru yang berkuasa selama tiga dekade lebih.
Pada saat artikel Liddle ini ditulis, pembicaraan mengenai prospek demokratisasi di Indonesia cenderung bernada pesimis. Banyak pihak yang skeptis bahwa rezim Orba akan bisa runtuh dalam waktu dekat. Negara terlalu kuat, sementara kekuatan non-negara dan masyarakat sipil cerai-berai.
Di kalangan para ahli ilmu politik pun terdapat semacam ijma’ atau konsensus akademis bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat di kawasan Asia Timur (termasuk Indonesia) tidak bisa dicapai kecuali melalui sistem negara otoriter-korporatis. Ini bisa dilihat dalam contoh-contoh Singapura, Taiwan, Korsel, dan (hingga taraf tertentu) Hongkong. Konsensus akademis ini jelas membenarkan rezim Suharto saat itu.
Pak Bill (begitu biasanya saya memanggil) mencoba menghembuskan semilir optimisme melalui artikel di atas. Inti tulisan dia kira-kira begini: ada harapan Indonesia akan mengalami demokratisasi, dengan tetap mempertahankan tiga “kebaikan” (good things) sekaligus – kebebasan/demokrasi, pertumbuhan ekonomi, dan integritas NKRI.
Ada beberapa prediksi yang, ternyata, salah dalam artikel ini, tetapi secara umum apa yang ditulis Pak Liddle ternyata benar dan terjadi pasca-reformasi. Demokratisasi terjadi, sementara pertumbuhan ekonomi dan kesatuan negara tetap terjaga. Ini saya anggap sebagai keajaiban Indonesia, dan sekaligus membenarkan “ramalan politik” Liddle.
Tetapi, tak bisa disangkal bahwa nada artikel Liddle itu penuh dengan kecemasan, sebagaimana setiap orang yang hidup pada era itu juga harap-harap cemas. Ada sejumlah kecemasan yang bisa saya ulas di sini.
Kecemasan pertama: Apakah Indonesia benar-benar bisa mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi jika rezim berubah dan demokrasi masuk sebagai alternatif? Saat itu, banyak yang percaya, baik di kalangan akademia, pelaku bisnis, maupun kalangan umum bahwa prasyarat pertumbuhan ekonomi adalah, meminjam istilah Stephan Haggard dalam Pathways From the Periphery (1990), rezim otoriter yang “diinsulasikan” (dilindungi) dari tekanan publik.
Sebagaimana kita tahu, kecemasan ini ternyata keliru. Indonesia mengalami demokratisasi sejak 1998 dan tetap mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi, terutama selama sepuluh tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (berkisar 6% per tahun).
Kenapa pertumbuhan ekonomi bisa tetap dipertahankan, penjelasannya bisa panjang dan rumit. Saya ringkaskan saja dalam beberapa hal: keberhasilan pemerintah mempertahankan stabilitas politik, politik keterbukaan yang bisa dikendalikan sehingga tak menjadi “sectarian politics”, konsumsi domestik yang meningkat serta harga-harga komoditas dunia yang sedang “booming”.
Ada beberapa warisan Orba yang cukup membantu pemerintahan pasca-reformasi bisa mengelola ekonomi dengan baik. Misalnya: kesehatan fiskal dengan mengontrol defisit APBN pada tingkat yang masuk akal (2-3% terhadap GDP), pengendalian inflasi dan harga-harga, serta menjaga lingkungan ekonomi tetap “predictable” dengan melakukan regularisasi atas pratek dan aturan main, baik dalam politik maupun dunia usaha.
Kecemasan kedua: Apakah keterbukaan politik tidak akan menimbulkan politik sektarian, “perang” antar identitas, baik agama atau kesukuan? Nada Liddle dalam artikel itu cenderung pesimis. Dia, misalnya, meragukan apakah kemunculan partai-partai Islam tidak akan mengungkit kembali luka aliranisme lama yang sering dianggap sebagai sumber instabilitas politik?
Kecemasan Liddle, dan banyak orang lain yang berpikiran sama pada saat itu (dekade 90an), ternyata salah. Kita, sekarang, menyaksikan munculnya banyak partai politik Islam, dan mereka tetap bisa bermain dalam koridor demokrasi, tanpa menyeret kita ke politik sektarian yang “self-destructive”.
Sumber-sumber sektarianisme politik ternyata bukan partai politik Islam, melainkan aktor-aktor un-civil dalam masyarakat seperti kelompok-kelompok jihadis dan radikal. Kelompok inipun bisa didisiplinkan dengan cepat oleh pemerintah, lepas dari kekurangan di sana-sini.
Sekali lagi, ini juga keajaiban Indonesia yang lain. Pengelaman negeri Muslim lain, misalnya Mesir dan Irak, justru membuktikan lain: kebebasan dan demokrasi menjadi “kuda troya” bagi politik sektarian dan permusuhan antar-kelompok. Ini membenarkan sebagian prediksi Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom (2007).
Kecemasan ketiga: Apakah Indonesia tetap bisa utuh sebagai sebuah negara jika mengalami demokratisasi? Tidakkah Indonesia akan terjebak dalam sindrom balkanisasi seperti Yugoslavia dan Uni Soviet? Tidakkah demokratisasi akan memicu semaraknya politik etnisitas yang bisa menghancurkan kesatuan Indonesia? Apakah demokratisasi tidak akan menyulut gerakan separatisme?
Kecemasan ini juga terbantahkan. Kita selamat dari balkanisasi melalui jalan yang ajaib: politik otonomi daerah. Untuk hal ini kita perlu memberikan apresiasi kepada orang-orang seperti Ryaas Rasyid dan Andi Mallarangeng yang membawa wacana politik otonomi ini ke panggung diskursus politik Indonesia pada era transisi dulu. Kita juga patut mengapresiasi pemerintahan BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memungkinkan politik otda ini berjalan mulus pada saat mereka berkuasa.
Kecemasan terakhir berkaitan dengan kekuatan besar dalam politik Indonesia pada masa Orba, apa yang oleh Liddle disebut sebagai kekuatan “Leviathan”. Kekuatan ini bernama ABRI (sekarang TNI). Pertanyaan yang mengganggu para transisionis (ahli mengenai transisi demokrasi seperti Juan Linz, Alfred Stepan, dll.): apakah kekuatan-kekuatan veto seperti militer mau kompromi dan membiarkan kekuasaan dan privilese politiknya dipreteli oleh pemerintahan sipil?
Pada dekade 90an, banyak yang skeptis bahwa militer Indonesia mau melakukan kompromi politik. Kecemasan ini ternyata salah. Militer Indonesia melakukan reformasi diri yang cukup radikal, antara lain berkat peran “figur dalam” seperti SBY dan Agus Widjojo. Militer mau melepaskan secara penuh privilese politik mereka yang dimungkinkan oleh doktrin dwi-fungsi.
Bagi saya, ini salah satu keajaiban yang benar-benar ajaib. Semua orang percaya pada zaman itu bahwa militer adalah satu-satunya “the bulwark of Indonesian authoritarianism” yang sulit ditembus. Ternyata ini salah, dan militer kita, sekarang, menjadi pilar penting bagi demokratisasi dengan menjaga diri tetap di barak. Tanda-tanda pemerintahan Presiden Joko Widodo aka Jokowi yang mau menyeret militer kita ke tengah-tengah politik sipil beberapa waktu lalu, patut disesalkan.
Apakah dengan keajaiban ini cerita tentang Indonesia telah selesai? Saya kira tidak. Seperti kata Goenawan Mohamad, Indonesia adalah selalu “the un-finished project”. Masih banyak hal yang menjadi sumber kecemasan kita.
Salah satunya adalah menyangkut pertumbuhan ekonomi. Akankah pemerintahan pasca-reformasi bisa menjaga pertumbuhan ini? Pertumbuhan ekonomi merupakan pilar penting untuk menjaga “public trust” terhadap kemasukakalan demokrasi sebagai sistem. Jika demokrasi membawa kesengsaraan ekonomi yang panjang, kepercayaan publik pada sistem ini jelas lama-lama akan merosot.
Hari-hari ini, kita semua dirundung oleh suasana muram karena prospek pertumbuhan ekonomi kita pada kwartal pertama dan kedua 2015 tetap menunjukkan pelambatan, disertai dengan turunnya nilai tukar rupiah yang cukup mencemaskan. Apalagi jika kita pertimbangkan kebijakan Fed yang akan menghentikan kebijakan “uang mudah” dan menaikkan suku bunga pada akhir tahun ini. Tekanan pada rupiah jelas kian berat.
Kecemasan lain adalah berkaitan dengan apa yang disebut dengan “middle income trap”. Yaitu jebakan negara-negara berpenghasilan menengah (di kisaran per kapita 10000-15000 USD) yang tak berhasil maju-maju dan terperangkap pada level “middle-ness”. Contoh negeri yang berhasil keluar dari jebakan ini adalah Korsel. Yang gagal (sejauh ini) adalah Brazil.
Bisakah kita selamat dari kecemasan yang terakhir ini? Wallahu a’lam. Time will tell.