Home » Politik » Demokrasi » Pelajaran Demokrasi Yang Paling Sulit
Amien Rais

Pelajaran Demokrasi Yang Paling Sulit

5/5 (1)

Pemilu yang baru lalu memberi pelajaran penting bagi kita, bahwa ternyata di bilik suara, ketika hingar bingar dan mobilisasi massa sudah berlalu, orang dapat mengungkapkan isi hatinya dengan cara yang paling jujur. Tidak ada yang memaksa apalagi mengintimidasi. Jadi kalau selama ini Amien sering bicara memilih pemimpin bangsa dengan hati nurani, rakyat telah melakukannya 5 Juli yang lalu!

Meski penghitungan suara pemilihan capres/cawapres oleh KPU belum selesai, hampir dapat dipastikan ada pasangan capres/cawapres yang tidak bisa ikut ke putaran kedua. Di antara capres/cawapres tersebut adalah pasangan Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo.

Sejak memutuskan untuk berpasangan dalam pemilihan capres/cawapres, Amien-Siswono termasuk pasangan yang paling banyak menyita perhatian. Betapa tidak, didukung oleh tim sukses yang handal, strategi kampanye yang boleh dibilang agresif, dan massa pendukung yang relatif fanatik, dari hari ke hari, ketika pasangan lain mengalami grafik menurun, Amien-Siswono justru menaik.

Namun sayang grafik ini harus terhenti ketika hari H tiba. Rakyat menentukan pilihan, dan pasangan Amien-Siswono hanya memperoleh suara sekitar 15 persen. Sebuah jumlah yang tidak bisa dibilang rendah.

Sungguh sayang memang, mengapa hari tersebut begitu cepat datang. Andai saja pemilu diselenggarakan bulan Agustus atau September, mungkin perolehan mereka lebih dari dua puluh persen, dan, mungkin, mereka bisa melaju ke putaran kedua.

Berandai-andai seperti itu, dalam bahasa Arab, disebut tamanni, mengharap sesuatu yang tidak mungkin terjadi,alias mengkhayal. Dan dalam budaya mana pun mengkhayal dianggap sesuatu yang tidak bermanfaat.

Sejumlah orang yang kebetulan menjadi aktivis Muhammadiyah, atau ormas yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, atau menjadi pendukung setia Amien, kecewa dengan hasil pemilu yang baru lalu. Mereka sulit menerima kenyataan bahwa Amien kalah.

Bukankah Amien, dalam setiap acara debat capres, selalu tampil meyakinkan. Dengan argumennya yang tajam, diselingi dengan ilustrasi yang kaya, ia membuat orang berdecak kagum. Namun mengapa Amien harus terpuruk di urutan keempat.

Inilah pemilu. Permainan politik. Ketika permainan usai, ada yang menang dan ada yang kalah. Hampir semuan orang siap menang, namun nyaris tidak ada orang yang siap kalah. Karena itu di mana-mana seringkali pemilu berbuntut kerusuhan.

Namun tidak di Indonesia. Hal ini karena sejak awal para capres/cawapres memprakarsai gerakan siap kalah dan siap menang. Amien termasuk orang yang sejak awal menyatakan siap kalah. Tidak hanya itu, ia juga menyatakan bahwa baginya ikut pemilu merupakan wujud tanggung jawabnya sebagai anak bangsa terhadap proses demokrasi di Indonesia. Ibadah katanya. Menang dan kalah bukan akhir segalaya, namun semata mengharap pahala dari Allah.

Pemilu yang baru lalu memberi pelajaran penting bagi kita, bahwa ternyata di bilik suara, ketika hingar bingar dan mobilisasi massa sudah berlalu, orang dapat mengungkapkan isi hatinya dengan cara yang paling jujur. Tidak ada yang memaksa apalagi mengintimidasi. Jadi kalau selama ini Amien sering bicara memilih pemimpin bangsa dengan hati nurani, rakyat telah melakukannya 5 Juli yang lalu!

Amien tentu dapat memahami apa makna 5 Juli bagi dirinya. Ternyata ia tidak seperti yang ia bayangkan selama ini. Namun jelas ia bukan orang yang suka berandai-andai. Meski getir, kenyataan bahwa suaranya tidak beranjak dari 15 persen harus diterima. Para pendukungnya tentu tidak mudah menerima kenyataan ini.

Sampai sekarang pendukung Amien yang berada di tingkat akar rumput, tim sukses dan para penyandang dana, yang telah berupaya memenangi pemilu dari TPS ke TPS, berkorban tenaga dan biaya yang tidak sedikit, tentu berada dalam suasana psikologis yang berkecamuk.

Mereka sangat masygul. Capeknya saja belum hilang, sekarang harus menerima kenyataan bahwa Amien tidak lolos ke putaran kedua! Menurut desas-desus, para pendukung Amien tidak hanya kecewa, mereka bahkan berencana untuk golput pada September mendatang.

Bicara golput, saya jadi teringat Gus Dur. Jauh sebelum pemilu, Gus Dur bertekad untuk tidak memberi dukungan pada siapa pun, tidak kepada Salahuddin Wahid, tidak juga kepada Hasyim Muzadi. Namun belakangan ia memberi dukungan kepada Solahuddin yang notabene adalah adiknya sendiri.

Gus Dur memang tidak pernah jelas, golput tapi menyuruh kaum nahdliyyin mendukung Wiranto-Wahid. Pendukung Amien sangat jelas, sejelas Amien Rais. Manuver-manuver politik Amien selalu jelas, sehingga mudah dibaca orang.

Kalaupun jadi golput, pendukung Amien jelas tidak bermaksud meniru Gus Dur, yang secara ideologis selalu berseberangan bahkan bertentangan dengan Amien. Ibarat Euro 2004, ketika tim kesayangan gagal melaju ke babak berikutnya, tidak perlu lagi repot-repot begadang sampai pagi.

Namun menyamakan pemilu dengan tontonan sepak bola jelas bukan keputusan yang bijak. Keduanya sangat berbeda. Euro 2004 hanyalah tontonan. Sementara pemilu adalah saat di mana bangsa menentukan pimpinan mereka untuk lima tahun mendatang. Jadi pemilu merupakan langkah strategis, terlalu penting untuk dilewatkan begitu saja.

Dalam perspektif civic culture, orang memiliki sikap yang berbeda terhadap proses jalannya pemerintahan, termasuk di dalamnya pemilu. Golput adalah sikap abstain terhadap proses pemilu yang dianggap tidak menguntungkan dirinya atau kelompoknya.

Karena itu mereka tidak memberikan suaranya. Namun bila dikaji, sikap abstain ini merupakan proses di mana seseorang memasuki tahap untuk memisahkan diri dari proses politik yang terjadi di luar sana. Jadi pada dasarnya orang yang golput adalah orang yang teralienasi dari proses politik yang ada.

Di sisi lain, orang yang teralienasi adalah orang yang tidak rasional. Orang yang tidak rasional adalah orang yang tidak mempertimbangkan untung-rugi, orang yang rasional selalu mempertimbangkan untung-rugi.

Demokrasi menuntut pendukungnya untuk senantiasa menerima setiap keputusan politik yang dilakukan secara adil, sungguhpun keputusan tersebut tidak menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Dalam demokrasi, orang yang berada di luar sistem identik dengan mereka yang apatis dan teralienasi.

Pertanyaannya adalah, apakah massa pendukung Amien seperti itu? Pertanyaan ini penting untuk dijawab mengingat jumlah mereka yang cukup banyak. Berdasarkan temuan survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, massa pendukung Amien yang banyak didominasi oleh kalangan Islam menengah perkotaan, cenderung bersikap negatif terhadap alienasi.

Hal ini karena mereka pada masa lalu, karena tingkat pendidikan yang cukup baik, memiliki akses yang baik terhadap pusat-pusat kekuasaan. Massa pendukung Amien adalah massa yang rasional. Dalam arti pilihan politik yang mereka lakukan senantiasa berdasarkan pertimbangan untung rugi.

Permasalahannya sekarang, bila Amien benar-benar kalah, ke mana mereka harus memberikan suaranya. Pasangan capres/cawapres yang diperkirakan menang pada putaran awal tentu sudah melirik massa pendukung Amien yang sedikit kebingungan menentukan pilihannya nanti.

Sekarang pertanyaannya, kesepakatan politik apa yang bisa ditawarkan pada mereka. Amien pasti sudah memikirkan hal tersebut, karena, kalaupun ia terpuruk, ia tidak ingin melihat massa pendukungnya terpuruk juga dalam lima tahun mendatang.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.