Home » Politik » Demokrasi » Pilpres, Darah Biru, dan Darah Merah Putih

Pilpres, Darah Biru, dan Darah Merah Putih

Tolong nilai artikel ini di akhir tulisan.

“Selamat tinggal periode mitos, selamat datang periode ilmu,” demikian tesis Kuntowijoyo tentang transformasi kesadaran Masyarakat muslim Indonesia dalam Islam Paradigma untuk Aksi (1991). Tesis ini menemukan kenyataannya pada pilpres kali ini. Keyakinan pada mitos “Ratu Adil” dan “satrio piningit” semakin usang.

Dalam perebutan kepemimpinan nasional putaran pertama 5 Juli lalu, setidaknya masih ada tiga tokoh capres/cawapres yang dihubungkan dengan mitologi kebesaran leluhur mereka, yakni Megawati Soekarnoputri, Solahuddin Wahid, dan M. Amien Rais.

Sudah mafhum, bahwa Megawati adalah putri Presiden Soekarno yang sangat dihormati, terutama oleh masyarakat akar rumput di Jawa. Mereka percaya bahwa Megawati adalah titisan langsung kedigdayaan dan kewibawaan ayahnya.

Oleh mereka yang fanatik, sungguh mulia adagium “pejah gesang nderek Megawati”. Rupanya Megawati masih dapat menikmati warisan “darah biru” itu dan diprediksi kuat memperoleh tiket ke putaran final pilpres 20 September, tentu setelah gugatan Wiranto-Wahid ditolak Mahkamah Konstitusi.

Tapi secara umum, “tuah” Megawati makin menurun, karena sebagian kebijakannya tidak mencerminkan sifat “Sang Penyelamat” kaum marhaen yang tertindas penggusuran dan pemiskinan sistemik.

Tokoh kedua adalah Amien Rais. Pejuang reformasi ini berasal dari golongan santri modernis. Meski dikenal akademis, puritan, rasional dan mampu merasionalisasi suksesi kepemimpinan nasional pada 1998, namun ia mendiamkan upaya tim sukses dan pendukungnya melakukan mitologisasi atas dirinya.

Sebuah liflet berjudul Amien Rais Satrio Linuwih yang diterbitkan oleh Paguyuban Sukma Suminar, sebuah perkumpulan paranormal yang mengkaji tokoh-tokoh nasional, adalah contoh yang cukup mewakili. Menurut kajian supranatural ini, Amien adalah “satrio piningit” yang memiliki silsilah bersambung hingga Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit yang sangat tersohor.

Bahkan dalam liflet ini disebutkan tafsir atas aksara Jawa “Ha Na Ca Ra Ka…” yang intinya memperkokoh muatan supranatural Amien Rais. Ia juga disanjung karena memiliki daya linuwih yang membuatnya “kebal” dari santet dan rekadaya sejenisnya.

Konon, ini karena Amien sangat kuat melakukan puasa Daud selama bertahun-tahun. Yang menarik dari fenomena ini bukan semata fakta mitologisasi itu sendiri, namun juga pendukungnya adalah kalangan Muslim modernis. Padahal nomenklatur “modernis” pada awalnya layak disandang mereka yang rasional dalam persoalan keagamaan dan pilihan-pilihan keduniaan termasuk politik.

Memperhatikan gejala ini, tampak bahwa memudarnya aura Amien dapat dilihat dari dua sudut. Yakni semakin terpinggirkannya proses rasionalisasi ke dalam karena involusi pemikiran keagamaan di kalangan muslim modernis; dan fakta bahwa mistifikasi sudah kurang menarik di mata khalayak yang cenderung makin dewasa dan rasional.

Nasib serupa dialami Solahuddin Wahid. Banyak orang tahu ia adalah cucu pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari, adik kandung Gus Dur, mantan presiden yang dibela pendukung fanatiknya yang yakin bahwa di dada Gus Dur ada malaikat. Namun, dalam pilpres 5 Juli lalu, posisinya di urutan ketiga secara nasional maupun lokal.

Di Jawa Timur yang terkenal sebagai basis terkuat pendukung NU, Solahuddin dipecundangi oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Hasyim Muzadi. “Repot-repotnya” Gus Dur berkampanye untuk dia, tidak memberi dampak signifikan bagi perolehan suara kandidat dengan nomor undian wahid ini.

Sabda kyai khos juga ibarat keris kehilangan pamor. Demikian pula fatwa ulama NU di Pasuruan yang melarang perempuan menjadi kepala negara, seperti anjing menggonggong “emang gue pikirin.”

Di sini rupanya kesadaran masyarakat NU mengalami kemajuan berarti. “Darah biru”, “kyai khos”, ah itu ‘kan pikiran TK yang masih asyik dengan tokoh hero macam Superman dan Harry Potter. Peningkatan kesadaran semacam ini dapat dirasakan di kalangan mereka yang disebut “NU kultural”, yakni masyarakat yang secara kebetulan tinggal di sekitar pesantren atau di lingkungan di mana pengaruh NU sangat kuat.

Mereka bukan NU “tulen” yang memiliki hubungan geneologis dengan kyai. Ini lebih karena perubahan kesadaran NU “kultural;” karena pendidikan politik yang mereka peroleh tanpa terikat oleh tafsir kebenaran absolut ala kyai dan pesantren.

Terpilihnya KH Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum PBNU pada titik tertentu bisa dilihat dengan lensa ini. Dia bukan siapa-siapa dalam ketersambungan silsilah dengan syaikh. Akibat langsung dari rasionalisasi ini adalah menurunnya daya linuwih kewalian dalam persepsi NU kultural, meski pada NU “tulen” pola hubungan santri-kyai, dan mursyid-murid tetap kokoh.

Akibat lain adalah semakin lunturnya daya magis kyai khos. Kyai khos tidak lagi punya daya ikat yang dapat mempengaruhi langsung keputusan akar rumput NU. Sisi-sisi ini bisa menjadi nilai tambah bagi Hasyim.

Tapi, secara umum, dukungan massa NU struktural di mana ia masih memiliki kendali kokoh atas jaringan dari pusat hingga cabang tak cukup mampu menyetor suara ke pasangan Megawati-Hasyim. Bahkan di daerah tapal kuda Jawa Timur, pasangan ini tercecer di urutan ketiga setelah pasangan Wiranto-Wahid dan SBY-Kalla.

Sisi lain yang paling menarik dari amatan di atas adalah daya pikat SBY di mata khalayak NU. Ia memperoleh suara terbesar di kantong-kantong suara NU. Semua ini merupakan konsekuensi langsung dari proses rasionalisasi di atas. Rasionalisasi membawa perubahan kultural dalam melihat ke-NU-an dan ke-Indonesia-an.

Mereka belajar banyak dari kegagalan Gus Dur sebagai tokoh NU, seperti keluarnya dekrit presiden, buloggate, jumbuh-nya ruang privat dan publik dalam menerima hibah, serta “manajemen pesantren” untuk negara. Hal semacam ini mendorong mayoritas NU kultural memutuskan pilihannya jatuh pada SBY.

Kemampuan SBY menyedot massa NU dan masyarakat Indonesia umumnya juga disebabkan efektivitas image building melalui iklan kampanye di televisi. Iklan SBY berlatar sawah dan petani menghadirkan sosok pemimpin peduli pada wong cilik. Iklan obrolan gaul muda-mudi tentang presiden “keren” tepat sasaran bagi pemilih pemula yang masih ABG (Anak Baru Gede).

Iklan menyanyi dengan pakaian kasual pas betul dengan demam AFI dan Indonesian Idol. Lagi, iklan sajadah panjang terbentang dari lagu Bimbo, efektif membangun kesan SBY religius dan Islami. Yang terakhir ini sekaligus counteratas black campaign bahwa SBY didanai Amerika Serikat, didukung tokoh-tokoh Kristen dan seterusnya.

Pemilu puataran pertama lalu menggambarkan bahwa pergumulan mitos versus rasio telah dimenangkan oleh rasio. Inilah refleksi sekaligus pelajaran menarik yang dapat kita ambil dalam pemilu presiden secara langsung.

Agaknya, pemilu putaran kedua nanti juga makin mengukuhkan kemenangan rasionalisasi dalam menggusur mitologisasi. Darah biru sebagai simbol darah yang tidak sehat telah tergantikan darah merah-putih ke-Indonesia-an yang menyegarkan. Semoga.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.