IslamLib – Desentralisasi merupakan bagian dari usaha pematangan proses berdemokrasi. Namun desentralisasi yang liar juga dapat memicu munculnya aspirasi-aspirasi parokialistik dan mengkhianati prinsip-prinsip demokrasi. Apa bentuk aspirasi-aspirasi parokialistik itu? Berikut perbicangan Hamid Basyaib dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Saiful Mujani, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Kamis (2/11) lalu.
Desentralisasi adalah bentuk transfer kekuasaan dari pemerintahan pusat kepada otoritas-otoritas di bawahnya, yakni pemerintahan daerah, agar kekuasaan lebih tersebar. Sekarang, kita melihat proses desentralisasi di Indonesia sudah irreversible, tidak mungkin dibalik lagi. Pertanyaannya: apa dampak positif dan negatifnya?
Pertama, tujuan awal desentralisasi adalah membuat pemerintahan demokrasi bekerja lebih efektif, karena pengambilan keputusan bisa dilakukan dengan lebih cepat pada tingkat lokal (tingkat kabupaten) untuk hal-hal yang sangat penting bagi masyarakat di sana. Dengan begitu, tingkat partisipasi pemerintahan atau elite-elite lokal akan lebih menentukan kebijakan. Per definisi atau secara normatif, desentralisasi akan membuat pemerintahan lebih efisien, efektif, dan lebih cepat dalam pelaksanaan.
Dalam pemerintahan yang tersentralisasi seperti di masa lalu, proses pengambilan keputusan berlangsung begitu lama. Mungkin waktu itu terbantu karena sistemnya otoritarian, sehingga komando masih relatif bisa menentukan. Jarak yang begitu jauh antara Jakarta dan Papua relatif bisa dijangkau/diatasi.
Tapi kalau masuk sistem demokrasi, itu tak mungkin lagi dilakukan dengan cepat kalau tersentralisasi. Karena itu, di mana-mana sistem yang terdesentralisasi biasanya berkembang dalam konteks politik yang demokratis. Kita punya demokrasi, kerena itu desentralisasi bisa dikembangkan dalam konteks itu.
Kedua, dalam masyarakat kita yang sangat majemuk, dengan adanya desentralisasi akan tumbuh dinamika yang akan membuat kebijakan-kebijakan di pemerintahan lokal sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah bersangkutan. Dalam sistem sentralisasi, pukul rata sudah pasti tak bisa dihindarkan.
Dengan desentralisasi, ada spesifikasi-spesifikasi yang bisa diterjemahkan dan diperjuangkan di tingkat lokal. Jadi intinya, desentralisasi akan membuat pemerintahan lebih efisien, efektif, dan lebih cepat. Itu garis besar aspek-aspek yang positif.
Kemudian aspek negatifnya: desentralisasi mengharapkan kesiapan kelompok-kelompok masyarakat dan elite-elite lokal untuk dapat menerjemahkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam konteks perpolitikan nasional. Apabila komitmen terhadap nation state secara umum kurang begitu kuat, desentralisasi bisa menjadi masalah. Itu masalah utama yang harus diantisipasi.
Di samping itu, kalau budaya parokial di dalam masyarakat masih kuat maka akan muncul dinamika-dinamika di masyarakat yang mengartikulasikan kepentingan kelompok dominan dengan mengabaikan prinsip dasar demokrasi.
Kelompok parokial adalah kelompok masyarakat yang ingin mendiktekan keyakinannya atau nilai-nilai yang mereka anut ke kelompok lain yang tidak menganut sistem tersebut dengan mensubordinasi kelompok yang tidak menganut sistem tersebut. Itu bisa berimplikasi pada pelemahan demokrasi itu sendiri dan menimbulkan konflik-konflik di tingkat lokal.
Kita sedang melihat itu di banyak tempat. Sebab pertama, pemerintah yang terdesentralisasi ini relatif masih baru. Kedua, walaupun kekuatan penegak hukum kita ada di daerah-daerah, tapi berdasarkan pengalaman selama ini, mereka juga lebih tersentralisasi.
Sumber daya untuk penegakan hukum di tingkat lokal juga belum berkembang menggembirakan. Oleh karena itu, ketika dinamika, tuntutan, artikulasi, partisipasi yang parokial itu tumbuh di masyarakat, dibutuhkan perangkat hukum yang lebih bagus untuk membuat partisipasi tersebut tidak menimbulkan konflik dan anarki.
Jadi, aspek negatif dari desentralisasi kita untuk sementara adalah karena budaya masyarakat belum kompatibel betul dengan tuntutan desentralisasi yang demokratis. Di sisi lain, aparatur atau perangkat pemerintahan yang berkaitan dengan penegakan hukum dan untuk penciptaan dinamika politik yang sehat di tingkat lokal juga belum memadai/berkembang.
Desentralisasi bisa dikatakan lebih sejalan dengan demokrasi. Tapi Indonesia sebagai suatu unit memang terlalu besar. Karena itu, rantai pengambilan keputusan juga panjang dan pasti berpengaruh pada efektifitasnya…
Dalam konteks pemerintahan demokrasi sekarang ini—mungkin karena kita masih belajar berdemokrasi—kita tak jarang melihat keputusan-keputusan pemerintahan pusat bisa tidak disetujui oleh birokrasi di tengah. Birokrasi yang lebih di bawahnya mungkin setuju dengan aspirasi yang di atas.
Yang di tengah itu misalnya dalam bentuk birokrasi yang di tingkat provinsi. Jadi, walau keputusan di pusat dibuat sangat bagus dan sejalan dengan aspirasi masyarakat, itu bisa saja terhambat oleh dinamika, gagasan-gagasan, dan kepentingan birokrasi di tingkat yang lebih bawah.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut bisa saja dipotong bila kita punya sistem desentralisasi yang lebih mapan. Kita tidak bisa membayangkan kalau sistem kita masih sangat sentralistis, disertai sumber daya dan pengalaman berdemokrasi yang masih sangat terbatas. Dugaan saya, pemerintahan demokratis yang kita miliki sekarang kemungkinan akan lumpuh, menjadi tidak efektif.
Saya melihat, desentralisasi adalah suatu upaya untuk menanggulangi kebuntuan tersebut. Tapi sayangnya, untuk sementara kita masih melihat kuatnya budaya parokial. Selain itu, kemampuan pemerintah lokal untuk menciptakan law and order juga tampak masih kurang.
Proses desentralisasi di negeri ini sudah berjalan sekitar tujuh-delapan tahun. Ada keberhasilan di sana-sini. Secara umum, hasilnya positif. Tetapi di sisi lain muncul juga fenomena benturan antar kelompok masyarakat. Salah satu sebabnya, sebagaimana Anda sebutkan tadi, adalah tingginya semangat parokialisme. Mungkin juga ada soal perebutan sumber daya. Menurut hasil riset Anda, apakah fenomena tersebut sudah pada tingkat yang merisaukan?
Kalau kita melihatnya secara keseluruhan, kita masih punya harapan. Kita masih optimis dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. Tapi belakangan ini kita harus lebih hati-hati dengan konflik di tingkat lokal. Hal yang menggembirakan kita justru konflik itu tidak terjadi antar kabupaten. Jadi masih internal kabupaten. Itu pun akibat ketidakpuasan politik.
Misalnya konflik pada Pilkada. Konflik tersebut tidak terjadi antara kelompok masyarakat kabupaten dengan kabupaten lain. Konflik terjadi di antara kelompok masyarakat di kabupaten yang sama, misalnya karena aspirasi politik berbeda dan karena ketidakpuasan terhadap hasil Pilkada.
Ini lebih berkaitan dengan perilaku elite politik di tingkat lokal. Karena yang membuat konflik itu bukan masyarakatnya sendiri, tapi hasil mobilisasi elite. Itu sebenarnya refleksi dari konflik di tingkat elite. Bukan hanya elite politik, tapi juga elite sosial atau tokoh masyarakat. Lebih tepatnya elite sosial yang punya linkage atau hubungan dengan elite politik tertentu. Itu misalnya kita lihat dalam kasus kerusuhan di Banyuwangi dan Tuban.
Yang berpartisipasi di situ adalah anggota masyarakat yang dimobilisasi oleh pemimpin-pemimpin masyarakat, bukan oleh pemimpin partai politik. Jadi hal seperti itu bisa saja terjadi. Saya melihat itu lebih karena faktor politik. Tapi hal itu berbeda dengan konflik Poso. Kita melihat di sana konfliknya bukan karena faktor persaingan karena yang satu kalah dan yang lain menang dalam Pilkada. Di Poso ada Pilkada gubernur, tapi berjalan dengan baik.
Jadi kasus Poso bukanlah dampak dari desentralisasi?
Bukan. Saya kira itu agak khusus. Kalau itu bagian dari dampak desentralisasi, mestinya ia tak hanya terjadi di Poso, tapi di semua daerah. Itu pasti. Tapi Poso kenyataannya unik. Jadi kita harus lihat kasus per kasus untuk tahu akar konflik masyarakat di daerah. Saya kira konflik itu tidak ada hubungannya dengan persoalan desentralisasi. Itu masalah perilaku masyarakat dan penegakan hukum saja.
Saya tertarik dengan pernyataan Anda bahwa tidak mulusnya proses demokratisasi yang diharapkan beriringan dengan proses desentralisasi terutama disebabkan budaya masyarakat yang belum kompatibel dengan spirit atau semangat demokrasi. Pertanyaannya: bagaimana caranya membuat budaya ini lebih kompatibel?
Budaya itu bukan sesuatu yang statis. Ia adalah hasil dari proses sejarah yang sangat dinamis. Jangan dianggap bahwa sebelum abad ke-20 budaya demokrasi di Eropa sudah sangat kuat. Tidak juga. Kita tahu bahwa sebelum tahun 1980-an, kita masih percaya bagaimana kuatnya budaya Konfusianisme yang dianggap bertentangan dengan semangat demokrasi di Korea dan Cina.
Tapi bersamaan dengan itu, ternyata demokrasi tumbuh berkembang dan stabil di negara-negara tersebut. Itu artinya apa? Artinya budaya demokrasi itu merupakan hasil dari proses belajar. Bukan sebagai sesuatu yang terberi atau given.
Dulu orang mengatakan demokrasi di Indonesia tidak mungkin berkembang karena kelompok masyarakat yang dominan adalah masyarakat Jawa. Mereka yakin sekali akan dugaan itu. Argumen-argumen yang umum mengatakan bahwa Soeharto begitu dominan karena budaya Jawanya. Tapi sebenarnya tidak begitu juga. Jadi ini lebih pada persoalan proses belajar tadi.
Masyarakat semakin berkembang. Mereka belajar pada negara-negara lain bahwa pemerintahan yang efektif, meski tak sempurna, adalah pemerintahan demokratis; pemerintahan yang lebih mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan itu menjadi penting karena merupakan hasil dari proses belajar, hasil dari modernity juga. Karena itu, saya melihat semua ini merupakan suatu proses belajar.
Dan kalau kita berbicara tentang budaya, persoalannya sangat panjang. Perubahan budaya adalah perubahan yang sangat panjang. Engineering atau rekayasa perubahan budaya tidak terjadi kecuali melalui jalur pendidikan. Itu satu sisi. Di sisi lain, adanya tindakan-tindakan dan inisiatif dari elite politik yang punya komitmen kuat terhadap nilai-nilai demokrasi.