IslamLib – 12 desa di Kabupaten Bulukumba, Makassar, dipilih untuk menjadi proyek percontohan Desa Muslim. Desa ini akan menjadi tolok ukur keberhasilan Kabupaten Bulukumba sebagai salah satu pelopor lahirnya perda-perda sejenis yang kini ditiru banyak wilayah lain. Desa ini menjadi wilayah khusus implementasi penuh Perda Syariah yang sudah diputuskan pemberlakuannya di Kebupaten Bulukumba.
Perda-perda itu adalah (1) Perda No.3 Th. 2002 Tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, dan Penjualan Minuman Beralkohol; (2) Perda No. 2 Th. 2003 Tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq, dan Shadaqah; (3) Perda No. 6 Th. 2003 Tentang Pandai Baca Al-Qur’an; (4) Perda No. 5 Th. 2003 Tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah.
Lalu, berlomba-lombalah para pejabat desa di Bulukumba mempromosikan desanya agar ditunjuk sebagai salah satu Desa Muslim. Karena menjadi Desa Muslim membuat citra Kepala Desa “membaik” di mata warganya. Karena menjadi Desa Muslim berarti menjadi lebih Islam daripada desa lain. Karena menjadi Desa Muslim berarti memperoleh tambahan anggaran dari kabupaten.
Lalu, berlomba-lombalah para pejabat desa percontohan itu menjadi “lebih Islam” daripada desa lain. Berlomba-lombalah mereka merumuskan standar keberislaman warganya. Islami adalah standar keberhasilan membangung desa.
Bagi mereka, mungkin para kyai yang sudah berdakwah puluhan tahun sudah gagal, karena toh umatnya tak kunjung taat. Amar makruf nahi munkar yang selama ini diamanatkan kepada para kyai tidak membawa hasil yang signifikan.
Karena itu, mereka merasa berkewajiban mengambil-alih tanggung jawab itu. Para ulama mungkin juga merasa sudah saatnya berharap pada kekuasaan karena sudah tak lagi mampu membendung kecenderungan amoral umatnya.
Maka, kita akan menemukan di depan kantor balai desa dan kantor resmi pemerintah tulisan seperti ini: “Maaf…….! Tamu Wanita yang Tidak Berjilbab Tidak Akan Dilayani”. Maka kita akan temukan nama-nama jalan dan nama kantor bertuliskan huruf Arab pegon (bagi yang menuduh fenomena ini sebagai gejala arabisasi, mereka akan kecele, karena yang terjadi adalah pribumisasi Arab, yaitu penulisan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu dengan huruf Arab).
Maka kita akan temukan sepasang kekasih yang terpaksa menunda pernikahannya karena menunggu lulus kursus baca Alqur’an. Juga sepasang kekasih yang “kawin lari”, alias menyelenggarakan pernikahannya di kampung atau kabupaten lain.
Maka kita tidak akan temukan pengajian ala kampung seperti masa kecil kita dulu, yang cukup bawa beras atau air minum untuk guru ngaji, karena mengaji butuh uang pangkal, butuh sertifikat, butuh ujian, butuh infrastruktur (beberapa kawan menyebut ini sebagai gejala despiritualisasi, atau kapitalisasi spritualitas).
Maka kita akan temukan bidan Evi yang non-muslim terpaksa membeli jilbab dulu sebelum menuruti panggilan pengobatan mendadak dari Desa Muslim.
Lalu muncullah Perdes No. 05 Th 2006 Tentang Hukum Cambuk di Desa Muslim Padang. Peminum minuman beralkohol diancam hukuman cambuk 40 kali. Para pezina akan dihukum cambuk 100 kali. Menuduh orang lain berzina tanpa 4 orang saksi akan dicambuk 80 kali. Pelaku judi akan dicambuk 40 kali. Pelaku penganiayaan akan dicambuk 20 kali.
Lalu, jika suatu saat nanti moralitas aparat penegak syariat Islam ternyata sama saja dengan moralitas aparat yang ada saat ini, muncullah kasus sertifikat baca Alqur’an palsu, terjadilah jual-beli lisensi penebusan dosa, terjadilah transaksi suap yang dilakukan antara pendosa dan aparat penindak pendosa.
Lalu, muncullah tren baru: “Satu cambuk berapa?”