Home » Politik » Dilema Partai Agama

Dilema Partai Agama

Tolong nilai artikel ini di akhir tulisan.

Pernikahan agama dan politik dalam sebuah partai adalah kawin paksa. Karena itu partai politik yang didasarkan atas agama, yang pembentukannya dinyatakan oleh para pendirinya sebagai perpanjangan langsung dari ajaran-ajaran formal agama, niscaya menghadapi pelbagai dilema.

Jika partai tersebut menang mutlak dalam pemilu, dilema itu diatasi dengan cara yang relatif gampang: ia cuma perlu membentuk pemerintahan sendiri, tanpa perlu berkoalisi dengan partai-partai lain yang kalah, lalu menerapkan pokok-pokok kebijakan partai. Jika ia hanya meraih suara yang cukup signifikan, dilema itu sungguh pelik untuk dipecahkan.

Ia harus berkoalisi dengan partai-partai lain sesama pemenang pemilu. Kalau tidak, ia tak akan mendapat porsi yang wajar dalam kekuasaan eksekutif. Kemungkinan tak mendapat bagian kekuasaan ini tentu tak dapat diterima oleh elite maupun pendukung partai tersebut; betapapun ia mungkin menyatakan bahwa ia berpolitik bukan untuk mengejar kekuasaan melainkan untuk mewujudkan nilai-nilai luhur yang diyakininya. Keharusan power sharing adalah nilai dasar yang tak dapat ditawar dalam politik multipartai.

Soalnya: dengan siapakah partai agama tersebut harus menjatuhkan pilihan koalisinya? Seberapa dekat, jika bukan identik, platform partai-partai calon mitra koalisi dengan partai itu sendiri? Seberapa jauh perbedaan platform yang bisa ditoleransi untuk memungkinkan terjadinya koalisi? Ini semua harus diperiksa dan diteliti secermat-cermatnya, jika partai itu tak ingin tergelincir menjadi pengkhianat landasan-landasannya sendiri.

Dilema semacam inilah yang hari-hari ini tampaknya sedang menghadang Partai Keadilan Sejahtera (PKS, Islam), dan agaknya juga Partai Damai Sejahtera (PDS, Kristen). Kedua partai agama ini, khususnya PKS, menangguk suara cukup besar dalam pemilu 5 April lalu — meroket lebih dari 300 persen dari lima tahun silam.

Struktur kepengurusannya, dengan sebuah dewan syuro yang berwenang besar dalam menentukan arah partai, makin mempersulit PKS untuk bergerak lincah dalam tawar menawar koalisi. Para pelaksana partai mungkin sudah lebih realistis dan mulai “cair” berkat pergaulan politik sehari-hari selama sekian tahun dengan para elite partai lain; mereka sudah lebih paham seluk-beluk politik di kancah realitas. Para pengawas tak seintensif mereka dalam menghayati politik sehari-hari.

Mereka akan mengambil keputusan dari puncak menara dengan pertama-tama berpedoman pada ajaran ideal agama, yang kerap sulit diterapkan karena lapangan dunia tempat ajaran itu ingin diterapkan dibentuk oleh begitu banyak kekuatan sejarah yang amat panjang.

Maka PKS menghadapi kemungkinan yang sungguh tak menyenangkan: pragmatisme politik yang berpotensi besar untuk menciderai agama yang menjadi landasan eksistensi partai itu sendiri – sebuah pertaruhan yang sungguh mahal.

Dalam konteks kepartaian, agama ternyata pisau bermata dua: alat yang ampuh dalam meraup suara sekaligus senjata yang bisa melukai agama itu sendiri, jika ia ternyata harus berkompromi dan memberi konsesi yang terlalu jauh pada realitas.

Dan dalam situasi demikian, siapakah yang dirugikan? Pasti bukan para elitenya.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.