Anda melihat harapan perubahan di negara-negara yang Anda sebutkan tadi?
Ini yang menarik. Sekarang sudah ada gerakan kifayah, atau cukup sampai di sini. Saya pernah menulis soal itu. Tapi dari forum di Qatar kemarin, saya menangkap nada umum yang mengalun adalah ambiguitas masyarakat Arab dalam melihat peran Amerika Serikat dalam reformasi.
Negeri sebesar Amerika yang memang punya kepentingan luas, dan sejak dahulu kala sampai sekarang merupakan satu-satunya negeri super power, mustahil sekali diabaikan perannya. Amerika itu benar-benar besar, punya program yang luas, karena itu dalam konteks Timur Tengah perannya sulit diabaikan.
Tapi para pakar dan kalangan politisi di forum itu juga sangat keberatan dengan apa yang mereka sebut hard power-nya Amerika. Ini terlihat dalam bentuknya yang paling telanjang dalam penyerbuan atas Irak dan Afghanistan. Invasi seperti itu jelas sekali ditentang dengan alasan-alasan yang sangat gamblang, sehingga tidak usah diungkap lagi.
Tapi di sisi lain, mereka (negara-negara Timur Tengah itu) juga sangat mendambakan campurtangan Amerika dalam bentuk kekuatan yang lunak, atau yang mereka sebut soft power. Konsep soft power ini adalah konsepnya Joseph S. Nye dari Universitas Harvard.
Bentuknya bisa bermacam-macam. Suguhan entertainment atau hiburan dalam bentuk film dan lainnya, bagi S. Nye adalah bagian dari soft power. Itulah yang dia anjurkan, ketimbang penggunaan hard power yang berharga mahal dan selalu menelan banyak korban.
Apakah para intelektual Timur Tengah itu tidak bisa berharap lagi pada perubahan dari dalam?
Sialnya, tidak ada gaung perubahan dari dalam. Saya kira, soal ini betul-betul perlu kita renungkan. Karena itu, kita tidak bisa begitu saja menuduh mereka sebagai pemohon campurtangan asing. Sebab faktanya, sumber-sumber perubahan dari dalam memang tidak ada.
Tidak ada usaha perubahan dari dalam rezim, sementara masyarakat sipil pun juga sangat lemah. Tentu sangat baik kalau ada angin perubahan dalam negeri, atau harapan perubahan itu menyembul dari rezim. Dan sudah semestinya, kesadaran perubahan itu muncul dari rezim atau setidak-tidaknya dari dissident dalam tubuh rezim, baik melalui pola revolusi ataupun reformasi. Di mana-mana kan begitu?!
Kini mulai muncul pekikan “kifayah!” atau “cukup!” sebagai protes atas rezim penguasa. Apa makna tuntutan ini?
Artinya “cukup”. Dalam bahasa Italia biasanya digunakan kata basta! Dulu, ketika memprotes dominasi atau agresivitas para mafia, orang Italia turun ke jalan sembari meneriakkan “basta!”, atau “enough!”. Artinya, cukuplah semua penderitaan ini, dan cukup sudah keberingasan kalian yang telah menyengsarakan kami!
Nah sekarang, teriakan yang bergema di hampir seluruh kawasan Timur Tengah adalah “kifayah!”, seperti yang dicatat oleh Robin Wright dengan bagus dalam editorial Washington Post. Itu tidak hanya terjadi di Mesir, tapi terjadi juga di Kuwait, bahkan Arab Saudi, negeri yang paling resisten terhadap perubahan.
Tapi Bung Hamid, saya menduga saat ini juga menguat suara yang mengatakan, “Apa perlunya demokrasi yang sistem kafir itu di Timur Tengah”?
Suara seperti itu saya kira patut dicurigai sebagai kilahan untuk mempertahankan status quo saja. Sebab mereka itu juga mengerti betul pentingnya demokrasi. Dalam keadaan yang jernih, mereka juga mengajukan konsep syura atau musyawarah. Tapi mereka lupa, konsep syura itu juga bagian dari institusi pra-Islam yang bagus dan luhur, karena itu diadopsi Islam.
Karena itu, meskipun secara retorik mereka menolak demokrasi, di sisi lain mereka juga membanggakan syura sebagai bentuk demokrasi Islam. Karena itu saya berhak curiga kalau itu sebetulnya hanya dalih untuk mempertahankan status quo.
Mengapa banyak orang yang menentang proses perubahan sistem politik dengan mengatasnamakan agama di sana?
HB: Saya kira, faktor yang juga penting adalah faktor Amerika Serikat. Jadi, mereka begitu bencinya pada Amerika, sehingga semua yang berbau Amerika akan ditentang. Pokoknya, asal bukan Amerika. Jadi penentangannya sebetulnya sudah tidak rasional lagi.
Dulu waktu masih dijajah Belanda, semua yang berciri-ciri Belanda juga kita tentang. Makanya kita getol belajar bahasa Arab, bukan bahasa Belanda atau bahasa Inggris. Kita tidak mau pakai dasi, dan tidak sudi memakai pantalon. Sistem belajar di sekolahan juga tidak mau pakai kelas.
Kita baru mendadopsi sistem kelas sejak tahun 1906. Sebelumnya, kita sorogan, karena kelas dianggap cara Belanda. Rupanya, selalu ada impuls untuk menentang kolonialisme dari semua sumber.
Karena itu, kalau saya boleh menyarankan, mestinya orang Islam di seluruh dunia bertanya ketika sedang mengadopsi sistem dari luar Islam atau lebih spesifik sistem yang telah diterapkan Barat: apa sebetulnya yang hilang dari mereka?
Dalam pemahaman sementara saya, sebetulnya tidak ada yang hilang sama sekali. Karena tidak ada yang hilang, maka tidak perlu ada yang digentarkan. Buat saya, Islam adalah suatu agama yang bisa menyerap banyak sekali sumber, dari manapun datangnya.