Home » Politik » Dunia Islam » Hamid Basyaib: “Gaung Reformasi di Dunia Arab Tidak Cukup Kuat”
Unjuk rasa memprotes rezim (Foto: muftah.org)

Hamid Basyaib: “Gaung Reformasi di Dunia Arab Tidak Cukup Kuat”

5/5 (1)

Kalau begitu ada dilema: di satu sisi penolakan sistem Barat begitu kuat, sementara di sisi lain sistem politik yang otoriter juga sangat bermasalah!

Ya. Karena itu, saya selalu mengatakan bahwa peradaban itu datang sebagai satu paket. Karena itu, sistem politik yang bobrok juga akan berimbas pada yang lain. Ambillah contoh dari negara-negara Timur Tengah. Konon, nilai ekspornya sangat rendah. Forum Doha kemarin menunjukkan data bahwa keseluruhan ekspor Mesir dalam jangka satu tahun, sebanding dengan ekspor Korea Selatan dan Taiwan dalam dua hari.

Itu perbandingan negara per negara. Tapi ada angka yang lebih mengejutkan lagi. Konon, Growth Domestic Product atau GDP seluruh anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang sekarang paling sedikit berjumlah 51 negara, hanya sekitar 5,4% GDP dunia.

Sementara, GDP Jepang sendirian mencapai sekitar 15% GDP dunia. Coba anda bayangkan betapa jauhnya! Jepang yang sendirian itu, GDP-nya 4 atau 3 ½ kali lipat di atas gabungan seluruh negara Islam.

Anda percaya keterbelakangan di bidang pembangunan dan lainnya itu terkait dengan sistem politik yang otoriter?

Sudah pasti. Lebih jauh dari itu, mungkin sudah saatnya kita juga dengan jernih berpikir bahwa ini jangan-jangan juga bersumber dari pemahaman agama yang keliru. Karena itu, jangan buru-buru apriori menegaskan bahwa persoalan agama atau penafsirannya sudah begitu beres.

Karena itu, mari dengan jujur kita melakukan koreksi diri. Usaha ini penting sekali, karena fakta-fakta yang ada memang sangat menyakitkan untuk kita abaikan begitu saja. Kita juga tidak bisa taken for granted mengatakan bahwa yang ada dalam agama ini sudah beres semua.

Bagaimana dengan problem Israel yang dianggap telah melupakan pembahasan tentang cacat internal di tubuh mereka?

Kalau Israel ikut disinggung juga, maka demi kelengkapan pembahasan, menjadi penting membahas persoalan Arab sebelum Israel berdiri. Apa yang terjadi sebelum itu? Seluruh dunia Islam dijajah! Itu saja fakta yang tidak ada hubungannya dengan Israel.

Justru pertanyaannya perlu dibalik: kenapa sebuah negara bernama Israel bisa berdiri di situ? Inilah sebuah anakronisme sejarah, karena negeri Yahudi bisa berada di tengah lautan Arab. Jadi, anggapan tentang adanya hal yang tidak beres pada samudera Arabnya menjadi logis.

Bahwa kemudian persoalan mereka diperkental oleh faktor Israel, barangkali betul. Tapi kita juga harus melihat kasusnya satu per satu. Beberapa negara Arab, saat ini sudah tidak bermasalah, bahkan sudah punya hubungan baik dengan Israel. Qatar sendiri punya hubungan dengan Israel, dan Yordania bahkan sudah lama menjalin hubungan diplomatik. Jadi kalau bicara faktor Israel, maka kita mestinya bicara pengaruhnya atas negara per negara.

UAA: Bagaimana dengan kepentingan Amerika dalam kaitannya dengan Israel?

Kalau kita bicara soal pendirian Israel pertama kali, sebetulnya dia lebih banyak terkait dengan kepentingan Inggris. Baru di masa kemudian masuk kepentingan Amerika. Karena itu, kita mengenal Deklarasi Balfour (tahun 1917), ketika Arthur James Balfour menjadi Menteri Luar Negeri Inggris.

Tapi yang aneh sebetulnya, baik pihak Islam maupun pihak Yahudi sama-sama menggunakan argumen agama, baik untuk menentang ataupun mendukung negara Israel. Orang Islam mengemukakan perspektif Alqur’an tentang Palestina, sementara orang Isreal mengajukan klaim Biblikal yang lebih keras.

Sampai kini, masih banyak kalangan Yahudi fundamentalis yang tidak mau menyebut kata Israel ataupun Palestina. Mereka lebih suka menyebut keduanya Judea dan Samaria, untuk menghidupkan lagi kenangan lama mereka tentang tanah itu, dan itu sering didukung oleh politisi sayap kanan di sana.

Mas Hamid, reformasi politik penting, tapi reformasi pemahaman agama tak kalah penting, atau mungkin lebih penting. Soalnya, banyak orang yang anti perubahan dan setia mengerangkeng kebebasan sipil dengan dalih agama. Di Arab Saudi, sampai kini perempuan tidak dibolehkan menyupir karena dianggap tidak sah atau tidak dibolehkan agama. Jadi, ada hal-hal yang hakikatnya remeh-temeh, tapi akibatnya begitu serius.

Ini memang sangat serius, karena pada akhirnya menyangkut martabat manusia. Besar sekali pertaruhannya kalau sebuah agama sudah sampai menggangu atau mengusik tidak kurang dari martabat manusia itu sendiri. Karena itu, ini sudah pasti sebuah persoalan serius.

Dalam kasus Saudi, jelas sekali kalau martabat wanita diinjak-injak hampir lumat. Luar biasa! KTP saja mereka tidak punya dan masih harus mengikut suami atau keluarga. Anda bisa bayangkan, di abad ke-21 ini, dan di sebuah negeri yang begitu makmur, kaya raya—sekalipun bukan buah kerja keras mereka—persoalan seperti itu masih saja ada.

Orang-orang kelas atasnya punya vila bagus-bagus di Swiss, Hollywood, dan di mana-mana, tapi untuk kaum perempuan, KTP-pun mereka tak punya. Soal nyetir mobil mungkin sudah tahap selanjutnya yang sudah lebih canggih. Tapi ini soal KTP; persoalan identifikasi diri yang paling mendasar.

Sialnya, hal-hal yang tidak membanggakan dari tanah Arab itu memberi pengaruh cukup kuat di negeri kita, karena Arab terlanjur diasosiasikan dengan Islam!

Terus terang saja, itulah sialnya. Khusus dalam kasus Arab Saudi, kaum perempuannya mesti dibungkus cadar hitam dan ditetapkan kekangan-kekangan lainnya, seakan-akan mereka dianggap benda yang menjijikan.

Tapi di sisi lain, sebetulnya itu juga bentuk penghinaan atas kaum lelaki. Karena asumsinya: ketika kaum lelaki berurusan dengan perempuan, yang muncul tak bisa lain urusan seks belaka. Karena itu, perempuannya harus dibungkus rapat-rapat. Bagi saya, itu sebetulnya termasuk bentuk penghinaan terhadap kaum lelaki.

Tapi sialnya, di Arab Saudi terdapat haramain atau dua situs suci umat Islam, Mekkah dan Madinah. Karena itu, produk pemikiran apa saja yang berasal dari sana dianggap identik Islam dan lebih otentik dibanding produk pemikiran keislaman kita. Padahal jelas sekali mereka belum tentu identik Islam.

Kalau terjadi reformasi, baik pada level politik ataupun ajaran agama dari Timur Tengah, saya rasa akan banyak membantu usaha kita, ya?

O, ya! Sebab, kita rakyat Indonesia dengan populasi yang tak kurang dari 220 juta ini, masih saja dianggap Islam pinggiran. Buktinya, dalam forum Qatar kemarin, yang identik dengan sebutan dunia Islam masih saja mereka. Padahal kalau kita lihat dari sisi demografis, orang Islam di dunia Arab tak lebih dari 15-20% orang Islam di dunia. Di Cina saja ada sekitar 100 juta umat Islam. Di Rusia juga banyak, apalagi di kita.

Jadi sebetulnya mereka sedikit, tapi seperti yang dikatakan orang Jawa, awu atau wibawanya itu tinggi. Jadi kita ini kalah wibawa, karena mereka ada di pusat. Hanya memang harus pula kita akui bahwa produk intelektual dari dunia luar Arab memang sangat sedikit. Anda tentu lebih tahu soal itu. Karena itu, perjalanan kita memang masih panjang.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.