Home » Politik » Dunia Islam » Indeks Kota Islami
Public Expose Indeks Kota Islami (Foto: islamlib.com)

Indeks Kota Islami

3.17/5 (6)

IslamLib – Kamis (27/08), konferensi pers digelar Maarif Institute untuk memperkenalkan program mereka yang cukup menarik, perumusan “Indeks Kota Islami” atau disingkat IKI. Jika melihat judulnya secara sepintas, IKI tentulah sangat menarik bagi mereka yang selama ini gencar mengkampanyekan Islamisasi di kota-kota besar di Indonesia. Tetapi apa yang terjadi? Setelah presentasi IKI, tampak ada beberapa wajah dengan raut kecewa. Para wartawan media Islam yang kerap mempropagandakan Syariat juga kecewa dengan temuan Maarif Institute itu.

Apa sebabnya?

Ada beberapa hal mengapa rumusan penting Maarif Institute itu “mengecewakan” para pengusung ide syariat Islam. Pertama, seperti dijelaskan Ahmad Imam Mujaddid Rais, koordinator proyek penelitian IKI, definisi “kota Islam” bukanlah berarti kota yang secara formal mengklaim sebagai kota Islam atau yang biasa diasumsikan sebagai “kota Islami” seperti Mekah di Arab Saudi atau Aceh di Indonesia. Kota Islami yang dimaksudkan di sini adalah kota yang mengusung nilai-nilai positif dalam Islam.

Kedua, formalisasi syariat Islam sendiri, yang dituangkan dalam bentuk perda-perda syariat sebagaimana di Aceh dan 42 kota/kabupaten lainnya di Indonesia, mendapat soroton tajam dalam Public Expose tersebut.

Misalnya Ahmad Imam Mujaddid Rais menyebutkan bahwa perda syariat sarat manipulasi politik. Ia mengutip pernyataan Anis Baswedan pada 2012 lalu, yang mengatakan bahwa pencetus perda-perda syariat lebih banyak berasal dari partai-partai nasionalis atau sekular ketimbang dari partai Islam. Semangat yang dibawa pun tidak murni beralasan agama. Sebab itu, lahirnya perda-perda syariat dinilai bernuansa politis daripada relijius.

Senada dengan Rais, kritik terhadap perda syariat juga datang dari Siti Zuhro, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dalam pandangannya, hal-hal terkait anggaran atau motif ekonomi sangat kental melatarbelakangi kelahiran perda-perda tersebut. Di samping itu, ia melanjutkan, kelahiran perda syariat biasanya lebih didorong oleh keinginan tampil beda dari para politisi lokal.

Tren tersebut meningkat terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah secara langsung. Karenanya, “Perda ini sangat politis, nggak ada urusannya sama agama,” tegasnya. Ia melanjutkan, “para politisi daerah itu juga biasanya happy banget dengan segala hal bersifat kedaerahan, untuk menunjukkan bahwa ini lho kekhasan daerah saya,” pungkasnya.

Sikap terkahir ini bermasalah bagi Siti Zuhro, sebab akan menjauhkan masyarakat dari semangat NKRI. Ia melanjutkan, dengan adanya otonomi daerah,  yang dalam konteks demikian perda-perda banyak bermunculan, semestinya bukan hanya penghargaan terhadap budaya lokal yang menguat, tetapi juga kecintaan terhadap tanah air.

“Di antara keduanya harus balance, bukan malah kedaerahan masing-masing yang lebih ditonjolkan,” terangnya.

Di samping itu, Ahmad Imam Mujadid Rais juga menyinggung kelemahan perda syariat yang hanya mengedepankan unsur hukum atau fiqh Islam. Padahal, lanjut Rais, fiqh bersifat furuiyah, atau hanya cabang dari sekian banyaknya sendi-sendi keilmuan Islam. Berbagai aspek keislaman yang lebih universal dan humanis tidak tertuang sama sekali dalam perda-perda ini.

Pendapat tersebut diamini oleh Kiai Husein Muhammad yang juga tampil sebagai pembicara malam itu. Menurut Kang Husein, sapaan akrab kiai nyentrik ini, kecenderungan mereka yang menginginkan formalisasi syariat Islam adalah menjugkirbalikkan otoritas teks. Maksudnya, teks-teks yang bersifat universal kerapkali mereka pinggirkan. Sementara teks-teks yang bersifat partikular dihadirkan sedemikian rupa, seolah-olah ia berlaku unniversal.

Misalnya ayat “…al rijaal qawwamun ‘ala al-nisa” (QS. an-Nisa: 34) yang dibuat seolah-olah universal. Padahal, seharusnya ayat ”…inna akramakumindallahi atqakum (QS. al Hujurat:13)  yang sifatnya lebih universal, yang menjadi rujukan utama dalam perdebatan seputar kesetaraan manusia.

Di samping itu, teks-teks partikular seperti ayat di atas umumnya bersifat kontekstual, yang bisa berubah pemaknaannya tergantung konteks suatu masyarakat atau kondisi sosial tertentu.

Kota Islami. Terkait perumusan Indeks Kota Islami, Maarif Institute menegaskan bahwa metodologi untuk penelitian yang akan dirilis Januari 2016 mendatang ini, berakar dari maqashid syariah sebagaimana popular dalam tradisi keilmuan Ushul Fiqh. Ada enam prinsip yang termuat dalam maqashid syariahhifzh al-mal (menjaga harta benda), hifzh al-nafs (menjaga kehidupan), hifzh al-‘aql (menjaga akal), hifzh al-din (menjaga agama), hifzh al-nasl (menjaga keturunan) dan hifzh al-bi’ah (menjaga lingkugan).

Dengan berlandaskan pada enam prisnsip tesebut, maka Maarif Institue menetapkan bahwa kota islami adalah kota yang aman, sejahtera dan bahagia. Syarat-syarat yang dilekatkan untuk tiga komponen ini juga sangat menjanjikan.

Misalnya soal keamanan. Sebuah kota islami berarti mampu menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta mampu memenuhi hak-hak dasar setiap warganya. Indikator sebuah kota yang memenuhi variable ini misalnya, setiap warga diberi kebebasan menjalankan ibadahnya, membangun rumah ibadah masing-masing, berdakwah, dsb. Selain itu, regulasi yang mengatur perilaku hate speech juga masuk sebagai salah satu indikatornya.

Kota islami juga berarti kota yang sejahtera. Dua hal utama yang harus diperhatikan adalah pendidikan dan pekerjaan. Akses warga untuk mengalami pendidikan, fasilitas yang memadai, para pengajar yang berkualitas, tentu harus lebih gencar lagi diupayakan. Hukum yang ketat “menertibkan” cara berpakaian siswa bukanlah persoalan prinsipil yang harus diurus pemerintah. Selain itu, soal kesehatan juga menjadi fokus berikutnya.

Sejahtera juga dicirikan dengan kemajuan perekonomian warga. Pemerintah dituntut menguras tenaganya untuk menyediakan lapangan pekerjaan, dan membuat regulasi yang ramah pegawai. Perlakuan buruk terhadap para karyawan harus ditindak, dan penetapan UMR yang cukup juga perlu diperhatikan. Termasuk kesetaraan penghargaan terhadap pegawai perempuan.

Yang tak kalah menarik dari diskusi tersebut adalah celotehan Kiai Husein Muhammad dalam menanggapi rumusan “Indeks Kota Islami” dari Maarif Insitute. Ia mengajukan beberapa pertanyaan “nakal” untuk mengukur islami atau tidaknya sebuah kota.

Menurut Kang Husein, untuk melihat aman tidaknya sebuah kota, kita perlu menanyakan: “Berapa banyak polisi yang menganggur?” Sebab, dengan banyaknya polisi yang menganggur, artinya  tingkat keamanan kota tersebut sudah oke.

Pertanyaan Kang Husein ini terlihami dari kesaksian seorang kawannya yang kini bermukim di Auckland, sebuah kota yang menjadi kebangaan New Zealand, yang mana polisi di sana seperti sudah tak punya pekerjaan saja, terangnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah: “Seberapa sering Anda menjumpai orang mengucapkan selamat pagi, terima kasih, apa yang bisa saya bantu?” “sambil tersenyum setiap hari,” imbuh Kang Husein. Lagi-lagi ia mengutip temannya di Auckland.

Terkait soal kesejahteraan, Kang Hussein mengusulkan pertanyaan: “Berapa banyak orang bersedekah?” “Semakin banyak orang bersedekah maka semakin sejahtera negara/kota itu,” ungkapnya. Pertanyaan lainnya, “Apakah di kota tersebut ada PKL?”

“Di malaysia,” (negara berpenduduk mayoritas Muslim yang mendapat ranking lumayan sebagai negara islami), “cari rokok susah betul,” sergah Kiai Husein. “Tidak ada orang jualan di jalan-jalan. Bersih sekali. Banyaknya PKL menunjukkan masih banyaknya orang miskin,” ungkapnya.

Pertanyaan penting lainnya, tentu terkait dengan hak-hak perempuan. Kiai yang juga seorang feminis ini mengajukan beberapa pertanyaan penting yang berkaitan dengan isu perempuan. Misalnya, “Seberapa aman bagi perempuan untuk berjalan-jalan atau memilih aktivitas di malam hari? Jika perempuan bisa keluar malam tanpa rasa takut, maka kota ini bisa dikatakan islami,” tegasnya.

Juga, “seberapa banyak perempuan yang menjadi pengambil kebijakan, menjabat posisi-posisi strategis di pemerintahan, terwakili suaranya di parlemen. Di negara-negara Skandinavia, keterwakilan dan keterlibatan perempuan dalam politik serta pemerintahan hampir mencapai 50%,” ungkapnya.

Pertanyaan lain yang terdengar menggelikan tetapi cukup masuk akal, “Seberapa banyak orang menanam bunga?” Menurut Kang Hussein, menanam bunga bisa menggambarkan pencapaian kebahagiaan sebuah masyarakat.

“Soal rumah sudah selesai, pendidikan terpenuhi, kesehatan terjamin. Lalu apa lagi? Ya menanam bunga!” serunya.

Prasyarat lain yang tak kalah penting adalah berdirinya pusat-pusat kebudayaan dan seni. Juga penerbitan buku-buku dan jurnal. Di samping itu, pengadaan taman-taman rindang untuk merawat harmoni manusia dengan alam.

Menurut Kiai Husein, pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan indikator yang mudah sekali dilacak untuk mengukur dan mewujudkan semaraknya kota islami. [Evi Rahmawati]

 

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.