Home » Politik » Dunia Islam » Muhamad Ali: “Kolonialisme Tak Selalu Negatif Bagi Islam”
Muhamad Ali (Foto: Pribadi)

Muhamad Ali: “Kolonialisme Tak Selalu Negatif Bagi Islam”

Tolong nilai artikel ini di akhir tulisan.

IslamLib – Seringkali kolonialisme Belanda dan Islam di Indonesia dipersepsi secara antagonistik. Islam adalah anti kolonial dan kolonialisme adalah anti Islam. Meski demikian, tidak sedikit berkah yang berdampak positif bagi Islam di Indonesia akibat persentuhannya dengan kolonialisme Belanda. Seperti apa persisnya persentuhan Islam dan kolonialisme di masa silam? Berikut petikan wawancara Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (10/9/2008) dengan Muhamad Ali, doktor lulusan University of Hawai dan dosen Islamic Studies di California University, Amerika.

 

Ada banyak karya yang berbicara seputar Islam Indonesia di masa kolonialisme Belanda. Seperti apa persisnya wacana yang berkembang seputar relasi Islam dengan kolonialisme?

Dalam berbagai kajian Islam, baik di Barat maupun di Timur Tengah dan juga di Asia Tenggara, wacana yang berkembang adalah relasi Islam dan kolonialisme yang selalu dipersepsikan antagonistik, bermusuhan. Ada anggapan bahwa Islam itu anti kolonial dan kolonialisme itu selalu anti Islam. Sehingga misalnya konsep jihad itu selalu dipahami sebagai gerakan anti kolonial. Jihad dipahami sebagai gerakan sabilillah. Saya ingin mencoba merubah persepsi negatif di masyarakat tentang kolonialisme.

Pemahaman kurang tepat seperti inikah yang kemudian mendorong anda untuk mengkaji seputar relasi Islam dengan kolonialisme tersebut?

Benar. Itu alasan pertama mengapa saya mencoba mengkaji masalah ini. Alasan kedua, Islam di Indonesia itu tidak hanya memiliki link atau hubungan dengan Timur Tengah. Jaringan ulama Asia Tenggara dengan Timur Tengah memang sangat kuat.

Jaringan dengan ulama Haramain (Makkah-Madinah), lebih khusus lagi dengan Universitas Al-Azhar di Mesir, sangat kuat sekali pada masa itu. Pengaruh jaringan itu memang sangat penting dan terasa hingga masa sekarang. Akan tetapi pengaruh Eropa, dalam hal ini Belanda dan Inggris, di Asia Tenggara ternyata juga sangat besar. Lebih besar dari anggapan kita selama ini.

Ini tentu fakta yang cukup mengagetkan, karena berbeda dengan anggapan mainstream, bahwa ternyata pengaruh Belanda dan Inggris begitu besar. Lantas, bagaimana pengaruh yang terbangun kala itu, dalam bentuk positifkah atau negatif?

Pengaruh mereka tidak selalu negatif. Tidak sebagaimana yang selalu didengung-dengungkan oleh sebagian kalangan muslim saat ini bahwa kemunduran Islam dikarenakan pengaruh kolonialisme di masa silam. Makanya saya berusaha untuk merekonstruksi sejarah Islam Indonesia di masa kolonialisme dengan cara melihat masalah itu dari berbagai aspeknya. Tidak hanya dari aspek ideologis, tetapi juga aspek praktis dan aspek institusional.

Anda menyinggung soal aspek institusional kaitannya dengan rekonstruksi sejarah Islam Indonesia era kolonialisme. Bagaimana anda mengaitkan dua hal tersebut?

Begini, yang saya maksud dengan aspek institusional itu misalnya, institusi pendidikan, ormas-ormas keagamaan, seperti Muhammadiyah yang kemudian di respon dengan kehadiran Nahdlatul Ulama. Sebelum Muhammadiyah, ada syarikat Islam. Syarikat Islam muncul sebagai respon terhadap dekatnya Belanda dengan kalangan Cina ketika itu. Jadi Syarikat Islam ini awalnya adalah organisasi dagang.

Tapi kemudian mereka mengadakan pendidikan dakwah. Sedangkan Muhammadiyah lebih merupakan respon terhadap sistem pendidikan dan sistem organisasi kolonial. Tapi apapun itu, institusi-institusi tersebut tidak akan muncul tanpa ada tantangan. Dan tantangan yang paling besar adalah kolonialisme.

Itulah sebabnya konsep negara bangsa atau nation-state tidak bisa terjadi tanpa kolonialisme. Konsep nasionalisme adalah hasil dari respon terhadap kolonialisme. Dan itu terjadi tidak hanya di Asia Tenggara, tapi juga di Eropa, Amerika dan Australia. Itu semua adalah respon terhadap kolonialisme. Dengan konsep negara-bangsa, kebangsaan dibangun bukan atas dasar kesukuan belaka. Agama itu hanya bagian kecil saja.

Apa peran yang dijalankan tokoh-tokoh kolonial masa itu hingga punya pengaruh yang berimbas pada aspek institusional?

Mereka mencoba untuk mengatur daerah jajahan. Pertama dari aspek pendidikan. Kedua dari aspek hukum. Dan ketiga, kaitannya dengan aspek adat atau budaya lokal. Menurut saya, pengaruh Belanda inilah yang membuat Islam Indonesia menjadi modernis.

Modernisasi Islam itu tidak akan ada di Indonesia ataupun di Malaysia tanpa pengaruh Belanda dan Inggris. Jadi kita tidak bisa bicara tentang tentang modernisasi Islam di Indonesia dan Malaysia tanpa menyinggung pengaruh Belanda dan Inggris.

Spesifik soal modernisasi sistem pendidikan, aspek-aspek apa saja yang terbarukan di sana?

Sebelum kedatangan Belanda, Indonesia hanya mengenal sistem halaqah, sebuah model belajar-mengajar di mana ada ustaz kemudian murid-murid melingkari sang ustaz tadi. Nah, dengan model sistem pendidikan ala Belanda, maka sekarang di kenal-lah sistem kelas. Kemudian ada ujian, ada ijazah, dan seterusnya.

Ada tingkatan satu, tingkatan dua, yang tidak berdasarkan kitab yang dibaca seperti pada model halaqah misalnya. Tapi berdasarkan kurikulum. Jadi pengenalan kurikulum itu sendiri adalah pengaruh dari Belanda. Di Malaysia yang dipengaruhi Inggris juga seperti itu. Inilah modernisasi yang terjadi dalam sistem pendidikan masa itu.

Berbicara soal sistem halaqah, mengingatkan kita pada institusi pesantren. Apa pengaruh positif kolonialisme secara lebih jauh terhadap institusi pesantren?

Pertama, dari sisi sistem belajar. Di pesantren, sistem belajar yang berlaku adalah model menghafal, memorizing. Dengan demikian, sistem belajar yang berlaku adalah text-book. Itupun teks yang diajarkan adalah teks dari kitab-kitab tradisional-klasik, atau yang sering kita sebut kitab kuning. Dalam perkembangannya, sebagian pesantren mencoba ingin menambah dan merubah cara-cara belajar mereka.

Mereka melihat ada nilai positif dari model diskusi misalnya, atau tanya jawab. Jadi metode pedagogi di pesantren sedikit banyak terpengaruh oleh sistem pendidikan kolonial. Kedua adalah kurikulum. Ada beberapa pesantren yang mencoba memperkenalkan bahasa Belanda.

Di Makassar, salah satu tempat yang saya survei, ada pesantren As’adiyah, yang kemudian menjadi Darud Dakwah wal Irsyad. Salah satu mata kuliahnya di pesantren tersebut adalah bahasa Belanda, selain bahasa Arab dan tentu saja bahasa lokal.

Ketiga adalah sistemnya. Misalnya mereka mengadopsi sistem kelas, ijazah dan lain sebagainya. Sebelumnya, yang terjadi di pesantren, ijazah adalah berdasarkan kitab yang sudah selesai dikhatamkan. Misalnya kita belajar kitab mazhabnya Imam Syafi’i, Al-Risalah, kita baru dapat ijazah setelah selesai belajar kitabAl-Risalah tersebut.

Dengan demikian garis transmisinya bersifat personal, dari sang guru?

Benar. Transmisinya bersifat personal antara murid dengan guru. Sementara dengan sistem pendidikan ala Belanda, transmisinya bukan lagi bersifat personal antara murid dengan guru. Tetapi transmisi dari dan oleh sistem. Jadi sekolah yang memberikan, bukan sang guru.

Itu menurut saya suatu perubahan yang cukup besar yang diadopsi oleh pesantren. Tapi kemudian pesantren yang mengadopsi sistem kolonial ini mereka sebut dengan madrasah. Ada lagi yang mereka sebut dengan sekolah. Dari sisi nama, ada yang mencoba untuk merubah atau tetap menggunakan nama pesantren.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.