Home » Politik » Dunia Islam » Perihal Sekularisme Politik

Perihal Sekularisme Politik

Tolong nilai artikel ini di akhir tulisan.

Agaknya lebih gampang membahas sekularisme politik ketimbang sekularisme sosial. Kita lebih mudah mendudukkan perkara di kursinya yang tepat. Sistem politik sekular adalah sistem yang dijalankan berdasar pertimbangan akal manusia, yang kehebatannya dikerdilkan atau tak berani dimanfaatkan maksimal oleh orang-orang yang berpretensi memuja pencipta akal itu sendiri.

Mereka berlindung di balik tameng rapuh bahwa kemampuan akal sangat terbatas, tanpa pernah mampu menyatakan di manakah batas itu. Akhirnya akal mereka memang terus menumpul (karena jarang dikerahkan), dan makin lunglai untuk menghadapi aneka masalah hidup yang terus berderap tanpa ampun. Lalu sempurnalah lingkaran setannya: mereka bebal karena bebal. Lantaran kebebalan tak pernah andal untuk menjalankan kehidupan yang wajar, akibatnya bisa beraneka.

Jika mereka tidak berkuasa, efek ekstremnya bisa berupa frustrasi yang menimbulkan macam-macam tindakan fatal. Kalau mereka berkuasa, kebebalan itu melahirkan kekalapan: mereka gemar benar main larang dan main atur. Dengan kekuasaan politik beserta aparat pemaksanya, mereka bahkan mengatur baju apa yang harus dipakai warganegara dan makanan-minuman apa yang boleh atau tak boleh masuk ke perut publik.

Dan siapakah yang boleh menjadi suami/isteri Anda? Tunggu dulu SK dari Menteri Kebenaran. Daftar larangan dan aturan pun makin panjang – termasuk terhadap orang-orang yang berpeluang mengajukan tantangan politik dengan akal sehat.

Itulah yang hari-hari ini terjadi di Iran, tempat kaum ulama-penguasa memberangus hak-hak politik kalangan reformis, dengan mencoret mereka dari daftar caleg. Kepala pemerintahan yang dipilih rakyat pun ompong.

Dalam dua periode kepresidenannya, Mohammad Khatami tak kunjung sanggup meloloskan satu pun undang-undang yang aspiratif, karena terus dibendung oleh kaum konservatif yang mendominasi parlemen.

Mereka dilindungi, dan melindungi, Ali Khamenei, pemimpin mutlak yang kekuasaannya di atas presiden (bahkan di atas konstitusi) meski tak pernah dipilih rakyat – ia katanya dipilih oleh Tuhan, suatu klaim politik yang mustahil dicek lewat mekanisme politik.

Kasus Iran merupakan contoh kontemporer terbaik tentang buruknya sistem politik yang diringkus oleh agama, dan karenanya makin mempertegas keperluan akan sistem politik sekular. Sebab sistem yang didominasi agama hanya melahirkan politik yang kedodoran (agama tak menyediakan manajemen politik lantaran ia hadir memang bukan untuk itu), sekaligus agama yang cemar, sebab Tuhan dan Rasul akhirnya cuma diperalat untuk menopang tindakan-tindakan politik demi kepentingan rezim, tapi dengan sikap seolah mereka hanya menjalankan perintah agama demi kemaslahatan publik.

Begitulah yang selalu terjadi selama ribuan tahun, ketika agama dan politik tidur seranjang.

Sejak revolusi 1979 teokrasi Iran membuat rakyat tak lagi punya ulama, sebab para mullah terserap ke dalam negara dan berganti jubah menjadi penguasa. Dalam pencampuran ini, lazimnya kerugian terbesar diderita oleh agama, tapi seraya menguntungkan para elitnya. Sekularisme berniat memisahkan keduanya, dengan mendudukkan agama dan politik di kursinya masing-masing.

Apa gerangan yang salah dengan pemisahan ini, sehingga orang memekik-mekik menentangnya?

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.