IslamLib – Secara umum, perkembangan Islam di Prancis saat ini berjalan sehat. Namun menguatnya corak Islam yang ideologis dan puritan juga cukup mengkhawatirkan. Diperlukan desaudisasi Islam agar mereka lebih mampu menyesuaikan Islam dengan kultur Prancis. Demikian pendapat Dr. Soheib Bencheikh, mantan Mufti Marseilia yang kini sedang merintis French Institute for Islamic Science, dalam kunjugan 10 harinya di Indonesia, kepada Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Sabtu (25/11) lalu.
Apa kesan kunjungan di Indonesia?
Kesan pertama adalah hangatnya sambutan dan perjamuan serta kemurahan hati individu-individu dan lembaga-lembaga yang saya kunjungi. Saya menemukan wajah Islam yang sumringah dan lapang dada di Indonesia. Di sini, saya juga menemukan geliat pemikiran(at-tafkir) sekaligus alpanya pemikiran (`adamut tafkir) di berbagai kalangan yang saya jumpai.
Saya banyak bertanya soal tantangan-tantangan Islam di Indonesia, tapi tak banyak jawaban yang saya dapat. Tampaknya, ada banyak ketidakpahaman tentang berbagai konsep dan gagasan dasar yang berlaku di dunia modern saat ini, seperti konsep kewarganegaraaan, sekuralisme, dan demokrasi.
Saya terbiasa memaknai sekularisme sebagai ”netralitas administratif”(hiyadatul idarah) dalam sebuah negara terhadap semua kelompok agama dan keyakinan. Demokrasi saya sebut sebagai sistem yang tak mungkin diingkari dan tidak juga perlu disifati, misalnya dengan sebutan demokrasi Islam, demokrasi Kristen, atau demokrasi ekologis.
Sifat-sifat itu pada ujungnya hanya mengorupsi dan menyerabut demokrasi dari akarnya. Demokrasi itu tidak punya warna, bau, juga identitas. Demokrasi adalah ruang yang memberi tempat bagi segala warna, bau dan identitas warga negara untuk mengekspresikan dirinya secara terbuka. Rumusnya: yang paling persuasif dan paling rasional akan diikuti.
Anda senang melihat Indonesia menjadi negara yang demokratis?
Saya senang. Indonesia adalah negara Muslim pertama yang mengamalkan demokrasi, dan juga prinsip-prinsip negara sekuler. Iklim ini akan memberi kesempatan pada semua kelompok untuk mengekspresikan dirinya. Tapi sayang, di Indonesia dan banyak negera Muslim lainnya, ada semacam hambatan psiko-linguistik untuk menerima penerapan sekularisme.
Hambatan psikologis terjadi karena sekularisme memang berasal dari Barat. Bagi sebagian orang, segala yang datang dari Barat harus disikapi secara sekptis walau kita belum membahasnya. Hambatan lingustik terjadi karena ada problem semantik saat kita memaknai kata sekularisme ke dalam bahasa kita.
Mungkin kalangan Kristen Arablah orang yang pertama-tama menerjemahkan kata sekularisme dengan kata Arab, al-`almaniyyah(dinisbatkan pada alam, dunia atau le monde). Itu karena dalam kitab suci mereka, terutama Perjanjian Baru, disebutkan bahwa Yesus bukanlah bagian dari alam. Bahkan dikatakan, setanlah penguasa alam sebenarnya. Mereka lebih memahami sekularisme sebagai kehampaan atau ketiadaan agama.
Sebagian lain menerjemahkan sekularisme dengan sebutan al-`ilmaniyyahyang dinisbatkan pada ilmu. Tampaknya kata ini merujuk pada sebutan untuk kalangan saintisme (scientism). Kalau membaca buku-buku Arab yang menista sekularimse, seperti karangan Syekh al-Qardlawi, bahasannya selalu dimulai dengan pemaparan sejarah sekularisme sejak masa kaum demokrat Yunani dari mazhab atomisme, menuju mazhab materialisme, dan ditarik ke abad XIX ketika pengaruh kalangan saintis (al-ilmawani) makin menguat di masyarakat.
Saintisme, sebagaimana kita tahu, adalah pandangan filosofis yang mengingkari segala sesuatu yang belum terbukti lewat prosedur ilmiah. Mereka terkadang bersikap ekstrim dalam pandagan demikian. Mereka mengatakan, sampaipun soal-soal metafisika, kita sangat mungkin menerima atau tidak menerimanya lewat prosedur pembuktian ilmiah. Tapi sikap demikian lama-lama surut, terutama di Prancis yang menjadi lumbung kalangan saintis.
Filosofi kalangan saintis kemudian berkembang ke arah positivisme, seperti yang dipelopori oleh sosok seperti August Comte. Mereka-mereka yang berpandangan positivistik ini sampai pada gagasan bahwa ilmu tidak akan berkembang kecuali kalau kita benar-benar skeptis terhadap metode-metode yang kita gunakan.
Karena itu, ilmu bagi mereka tidak bersifat mutlak, tapi baru tahapan tertentu pencapaian akal manusia. Ilmu juga tidak dianggap bersifat pasti dan berakhir. Sikap demikian membuat seorang ilmuwan tidak dapat mengatakan inilah kesimpulan akhir pembahasan saya. Sikap demikian hanya menutup rapat-rapat pintu menuju ilmu pengetahuan.
Dalam perkembangannya, kalangan ilmuwan kemudian lebih menitikberatkan bahasan pada soal epistimologi pengetahuan atau dengan cara apa ilmu didapat. Bahasan ini kemudian menjadi independen dari filsafat. Berkat epistimologi, kalau ditemukan sesuatu, mereka segera akan membahas metode yang digunakan dalam pencapaian tersebut. Nah, bagi saya, para pemikir di dunia Islam yang menolak sekularisme, sebetulnya sedang menolak saintisme dan klaim-klaimnya. Mereka menyerang sasaran yang salah.
Apa pemaknaan pribadi Anda terhadap sekularisme?
Bagi saya pribadi, sekularisme bukanah filsafat yang rumit. Laicite di Prancis bukanlah agama dan ideologi. Ia adalah gagasan yang tidak bertubuh dan sangat sederha, yaitu netralitas administratif dalam aspek pengelolaan hubungan antara negara dan agama.
Artinya, ketika sebuah negara mendeklarasikan diri sebagai negara sekuler, ia harus memberi ruang bagi setiap orang untuk menerima atau tidak menerima agama. Lebih kongkritnya, sekularisme adalah pemisahan antara urusan agama dan negara. Di situ ada dua faedah penting. Pertama, bagi agama sendiri, dan kedua bagi sebuah negara.
Bagi semua kelompok agama, kita dapat meraskan bahwa semua kita sedang dalam perlindungan negara yang netral, rasional, dan dapat dikritik, karena dia bukan bagian dari suatu institusi yang sakral. Setiap partai yang berkuasa di negara-negara sekuler dapat dikritik, dievalusai, direformasi, bahkan diganti oleh partai-partai yang kemungkinan lebih mampu memimpin dan membuktikan bahwa mereka mampu mengerjakan hal yang lebih baik.
Institusi negara, dengan demikian, menjadi netral, profan, tidak punya mandat dari langit, dan tidak punya nilai kesakralan sebagaimana klaim agama-agama. Negara terbebas dari dogmatisme. Di samping itu, agama juga dapat terbebas dari permainan dan intrik-intrik politik demi mencapai tampuk kekuasaan. Itulah fakta di negara-negara yang sudah mapan dengan sekularismenya.
Bagaimana dengan negara yang teokratis atau semi-sekuler?
Pemandangan itu berbeda sekali dengan Aljazair, Tunisia, Maroko, dan negara-negara Arab lainnya. Di sana Anda akan menemukan fakta bahwa negara sama sekali tidak mencerahkan, tak dapat diharapkan untuk perbaikan.
Tugas negara sekan-akan hanya terfokus untuk satu hal, yaitu menjaga kesucian agama dan kekuasaan para penguasanya. Lebih tepatnya, mereka hanya berkepentingan menjaga corak agama yang konservatif dan terbelakang dan memanfaatkannya untuk tetap langgeng berada di kekuasaan.
Sebaliknya, partai-partai politik yang bertindak sebagai kekuatan oposisi dan kritikus pemerintah berkuasa, juga berhasrat untuk merebut kekuasaan dengan medium yang sama, yaitu mimbar masjid. Semua itu dilakukan dengan menggunakan idiom-idiom keagamaan demi membangkitkan sentimen keagamaan masyarakat. Sentimen keagamaan mayoritas umat Islam, misalnya, selalu menjadi sandera atau pertaruhan di tengah permainan dan intrik-intrik politik yang tidak bermoral sekalipun.
Mengapa Anda tampak gigih sekali membela sekularisme?
Perlu Anda ketahui, orang-orang yang paling keras berteriak tentang pentingnya pemisahan agama dan negara dalam sejarahnya adalah orang-orang yang tulus dalam beragama. Saya punya alasan praktis untuk membela sekularisme. Sebagai seorang Muslim, di Prancis saya tetap dapat menjalankan Islam dengan penuh keceriaan dan kebanggaan di bawah kekuasaan negara sekuler.
Andai kekuasaan politik Prancis hanya dipasrahkan pada prosedur demokrasi yang kadang-kadang lebih banyak bicara soal kekuasaan mayoritas (mayoritas Katolik dalam kasus Prancis, Red), sudah barang tentu kita tidak akan nyaman berada di sana.
Untungnya, pemahaman demokrasi yang dangkal itu sudah berlalu dari Prancis. Prancis sudah lama punya Konstitusi yang menjamin kelangsungan sekularisme, termasuk aspek perlindungan terhadap hak-hak individu dan kaum minoritas.
Karena itu, bila ada yang mencela sekularisme secara berlebih-lebihan, saya menyarankan mereka untuk mencoba tinggal di Prancis atau Amerika sekitar lima tahun. Dengan itu, saya yakin mereka akan dapat membuktikan bahwa sekularisme benar-benar melindungi mereka dari sentimen-sentimen keagamaan yang dangkal.
Para penentang sekularisme memaknai sekularisme lebih dari soal netralitas administratif. Bagi mereka, sekularisme adalah ideologi yang meminggirkan, kalau bukan membuang agama dari kehidupan. Tangapan Anda?
Bohong dan tidak berdasar kalau ada yang mengatakan bahwa sekularisme lebih dari itu dan dapat menggusur agama dari semua level kehidupan. Sekularisme secara sederhana hanya soal cara pengelolaan negara agar tidak gampang dipengaruhi oleh sentimen-sentimen agama murahan.
Di Barat, Anda tidak dipaksa untuk beragama atau tidak beragama. Soal anda taat atau tidak taat beragama adalah urusan Anda dengan Tuhan semata. Nuansa itu berbeda sekali dengan apa yang terjadi di negara-negara Arab, baik yang dianggap sekuler maupun yang nyata-nyata bersifat teokratis.
Ketika berada di Arab Saudi atau Aljazair, saya merasa bahwa diri saya sedang dikelilingi oleh aparatur lembaga inkuisisi. Dengan begitu, salatku, ibadahku, hidupku dan matiku, seakan-akan bukan untuk Tuhan penguasa alam. Semua itu seakan untuk menghindar dari orang yang memata-matai setiap gerak-gerik dan ibadah kita. Semua bukan demi Tuhan, tapi untuk menjaga stabilitas kekuasaan atau citra positif di hadapan masyarakat umum.
Di Perancis, sedikit ketaatan yang saya abdikan pada Tuhan benar-benar lepas dari motif-motif seperti itu. Sekalipun bukan orang yang terlalu taat, saya benar-bernar merasa ikhlas ketika beribadah. Tidak ada yang memaksa saya untuk menerapkan Islam atau tidak menerapkan.
Dan itulah hakikat Islam; dia hanya disodorkan (yu`radl) bukan dipaksakan (yufradl). Kalaupun saya menerapkan Islam secara konsisten, itu bukan untuk mencari muka di hadapan komunitas Islam atau untuk mendapat kedudukanm khusus dengan pakaian yang mengada-ada.
Para pejuang negara Islam mengklaim tegaknya negara Islam justru akan menjamin hak-hak minoritas jauh lebih baik dari yang diberikan negara sekuler. Pendapat Anda?
Bagaimana menghilangkan konsep ahluz dzimmah (non muslim yang diproteksi di negara mayoritas Muslim dengan konsesi-konsesi tertentu, Red) yang masih ada di kepala mereka?! Terus terang, saya dan kebanyakan Muslim Prancis tidak pernah ingin menjadi ahluz dzimmah mayoritas Katolik Prancis.
Saya dan tentu saja setiap orang, selalu ingin menjadi warga negara yang setara dengan segenap hak-haknya sebagai warga negara yang sah. Para pejuang negara agama di manapun kadang lupa bahwa sekat-sekat agama dalam banyak negara, kini makin mencair dan jauh berbeda dari masa lampau.
Anda dapat menyaksikan warga negara Indonesia yang Kristen dan orang Swedia yang Muslim hidup nyaman dalam sebuah negara sekuler yang modern. Kalau perkembangan positif seperti itu terus berkembang, kelak kita akan menemukan suatu negara yang tidak ada lagi yang bermasyarakat mayoritas atau mengklaim sebagai mayoritas.
Revolusi ilmu pengetahuan, sarana telekomunikasi dan transportasi saat ini memungkinkan kita untuk hidup dengan orang lain tanpa perlu tahu identitas primordialnya. Setiap gagasan dapat direngkuh dan setiap orang gampang berinteraksi satu dengan lain.
Apa yang ditulis orang Arab Saudi untuk mendiskreditkan agama Kristen, niscaya dibaca dan dipahami Vatikan dalam bahasa Arab. Begitu juga sebaliknya. Karena itu, kalau ingin menjadikan Islam sebagai peserta aktif revolusi dunia masa mendatang, yang potensial menyatukan kita dalam unsur kemanusiaan meski berbeda bahasa dan kebudayaan, maka kita harus terus memperbarui wacana kita tentang Islam dan menyiapkan diri untuk meninggalkan konsepsi-konsepsi lama kita tentang agama ini.
Tampaknya Anda berangan-angan terjadinya pertemuan dan perbauran budaya, bukan perbenturan dan percekcokak antarbudaya. Apakah gagasan ini cukup realistis?
Pada hakikatnya apa yang disebut perbenturan peradaban itu tidak ada dalam realita. Yang selalu ada di mana-mana adalah perbenturan antara kelompok yang lapang dada (munfatihin) dan yang menutup diri(munghaliq). Tidak ada perbenturan Barat dan Timur. Perlu diingat, yang pertama kali menentang invasi Amerika atas Irak adalah almarhum Paus Yohanes Paulus II. Dan orang pertama yang menutup mata atas tragedi itu, kalau bukan menyepakatinya, adalah Syekh al-Azhar.
Negara yang paling gigih menentang perang dan sampai kini masih menangggung akibat adalah Perancis dan Jerman. Keduanya nyaris kehilangan sekutu abadi dan alamiahnya, yaitu Amerika. Dan negara yang ikut memfasilitasi invasi itu dan menyediakan kawasannya untuk pangkalan militer Amerika adalah negara-negara Arab.
Karena itu, benturan antarperadaban itu sebenarnya tidak berwujud kecuali dalam imajinasi para ilmuwan Amerika. Dan demi membuktikan itu, mereka menunjukkannya lewat pelbagai aksi mereka di berbagai belahan dunia.
Sebagian orang Islam menilai pelarangan jilbab, cadar atau burka, di beberapa negara Barat sebagai bentuk konfrontasi negara sekuler Barat terhadap Islam. Ada perbenturan nilai antara orang Islam di Barat dengan budaya Barat pada umumnya?
Peradaban saya sebagai seorang Arab-Muslim tidak terletak pada keharusan memakai jilbab, apalagi cadar dan burka. Pemahaman-pemahaman tentang standar peradaban yang dibatasi dalam hal-hal yang artifisial seperti itu sudah saya tinggalkan sejak lama. Bentuk peradaban yang saya dambakan adalah peradaban yang senantiasa menjaga moralitas.
Kita tahu, perempuan-perempuan nomaden Arab dulunya juga mengenakan jilbab dengan sedikit belahan pada bagian dada. Karena itu, Alqur’an menganjurkan untuk menjumbaikan jilbabnya ke daerah dada. Kalau kita mengklaim anjaran itu bersifat universal, bagaimana kita menghukumi perempuan-perempuan Muslim di negara Barat dan Afrika yang belum akrab betul dengan budaya jilbab?
Karena itu, kita mesti memahami anjuran dalam ayat itu sebagai anjuran untuk berperilaku sopan. Itulah makna universal yang bisa kita tangkap dari ayat-ayat Alqur’an tentang jilbab.
Anda tidak menganggapnya sebagai bagian pokok dari ajaran Islam?
Saya tidak mengatakan itu, tapi Islam sendiri yang mengatakan. Kita semua tahu, soal itu bukan bagian dari pokok ajaran Islam, tidak termasuk 5 rukun Islam dan tidak pula bagian dari 6 rukun iman. Itu termasuk cabang Islam, yaitu anjuran untuk bertindak dan berperilaku sopan. Dan lebih penting lagi, ada banyak cara bagi kaum perempuan untuk menjaga kesopanan di zaman modern.
Bagi perempuan nomaden Arab masa lalu, cara menjaga harkat dan martabat itu diwujudkan dalam aspek yang sangat lahiriah. Tapi bagi kebanyakan perempuan Muslim di Prancis dan Inggris saat ini, yang dititikberatkan justru pembekalan diri dengan sebanyak mungkin ilmu dan keahlian.
Ada organisasi-organisai Islam Prancis yang medukung pelarangan jilbab, terutama cadar atau burka?
Ada banyak figur politik yang menginginkan agar di kawasan mereka masyarakat Muslim tidak terlalu menonjolkan identitas keagamaanya, terlebih dengan cadar dan burka. Kini banyak isu keamanan yang muncul dari penonjolan simbol-simbol keagamaan itu. Tapi isu seperti itu sebenarnya isu yang sekunder.
Bagi kami, perdebatan seputar itu tanpa sengaja telah menggiring Islam untuk tetap berkutat pada persoalan-persoalan yang artifisial. Banyak isu-isu lain yang perlu dibahas lebih serius daripada soal pakaian, seperti isu pendidikan, kemiskinan, dan kesempatan kerja.
Bagi kami, kita tetap harus memperjuangkan Islam sebagai agama yang bersemayam di sanubari tiap induvidu, sehingga kita tidak perlu mengandalkan negara untuk menjaga kelangsungan agama kita. Kita tidak perlu menjadikan soal ketaatan dan ketidaktaatan kita dalam beragama menjadi persoalan negara.
Biarlah itu menjadi zona perjumpaan kita yang langsung dengan Tuhan, tanpa intervensi siapapun. Perkembangan Islam yang terlepas dari kekuasaan negara sangat penting karena memang tidak ada dokrin klerisisme di dalam Islam.
Anda menganggap para pendukung penggunaan cadar atau burka di negara-negara Barat gagal beradaptasi dengan corak kebudayaan Islam di Barat?
Mereka secara umum memang tidak mampu berinteraksi secara positif dengan peradaban dunia. Padahal, sejak dulu salah seorang intelektual Prancis yang banyak menulis tentang Islam, yaitu Roger Garaudy, sudah mengingatkan perlunya kita melepaskan diri dari proyek Saudisasi Islam(masyru`us sa’wadatil Islam).
Kita perlu melakukan desaudinisasi Islam. Garaudy mengingatkan itu, karena itulah gejala kuat yang sedang ia saksikan. Bagi saya, sangat mengenaskan bila perbenturan kita dengan Barat hanya disebabkan oleh isu jilbab dan cadar, bukan oleh isu-isu yang lebih substansial.
Saya terenyuh menyaksikan panasnya perdebatan soal ini di televisi Aljazirah. Lebih terenyuh lagi ketika kaum Muslim di Inggris bersikeras menyenggarakan Hari Jilbab Sedunia (al-yaumul `alami lil hijab). Bagi saya, itu adalah pertarungan dan pertaruhan yang tidak bermanfaat. Sudah empat belas abad lebih usia agama ini, tapi perdebatan kita masih saja soal pakaian apa yang mesti kita kenakan.
Saya sulit membayangkan saat ini malaikat Jibril akan naik-turun lagi ke muka bumi hanya untuk mengajarkan bangsa Arab dan umat Islam bagaimana cara berpakaian, seberapa panjang jenggot yang diharuskan, dan persoalan-persoalan artifisial lainnya.
Jangan lupa, kalau kita menganggap semua itu esensial, para musuh Nabi Muhammad dulunya pun adalah orang-orang yang bersorban lebih besar dan berjenggot lebih panjang daripada kita.