Home » Politik » Dunia Islam » Farag Fouda dan Mitos Khilafah Islamiyah
March organized by hizb ut tahrir in ramallah against the israeli attacking on alaqsa. (Photo: ramallah1222007/flickr.com)

Farag Fouda dan Mitos Khilafah Islamiyah Catatan Kritis Buat Kaum Islamis

4.39/5 (59)

IslamLib – Farag Fouda—salah satu pemikir Islam yang sangat saya kagumi—adalah sedikit di antara pemikir Islam yang secara jujur dan sangat berani membongkar sejarah kelam praktik politik umat Islam pada masa klasik. Fouda menengok dari sudut yang buram, berdasarkan sumber-sumber Arab, seperti Ibn Katsir, al-Thabari, Ibn Atsir, al-Mas’udi, al-Suyuthi, al-Syaristani, al-Dinuri, dan banyak yang lain.

Kejujurannya dalam mengungkap sisi-sisi gelap sejarah Arab Muslim di masa lampau itulah yang telah mengantarkannya pada ‘gerbang’ kematian.

Fouda dianggap telah menghujat agama dan keluar dari Islam. Fouda ditembak mati di Madinat al-Nasr, Kairo, oleh pengikut kelompok radikal akibat fatwa kafir dan murtad oleh Ulama Mesir.

Sebuah fatwa yang secara sewenang-wenang menyebut individu sebagai “sesat”, “kafir”, dan “murtad” merupakan tindakan pembunuhan karakter (character assassination) dalam ranah teologis, yang seringkali diikuti dengan pembunuhan fisik.

Pemikiran Fouda tentang sejarah buram umat Islam—atau lebih tepatnya, agama dan negara—tertuang dalam bukunya yang paling terkenal, al-Haqîqah al-Ghâibah (Kebenaran yang Hilang). Sebuah buku yang mampu membuat kalangan Islamis “kalang kabut” atau “kebakaran jenggot” karena merasa Islamnya (baca: agamanya) terancam.

Fouda dengan sangat jelas menyebutkan kebobrokan yang muncul kembali setelah wafatnya Muhammad SAW. Menyebut beberapa contoh, Khalifah ketiga Islam, Usman bin Affan, dibunuh oleh orang Islam sendiri dan mayatnya harus bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan.

Ketika disemayamkan untuk disalatkan, datanglah sekelompok orang Anshar yang melarang mereka untuk menyalatkannya dan menolak dimakamkan di pekuburan orang Islam. Lalu mereka memakamkannya di sebuah areal pekuburan Yahudi.

Tidak cukup sampai di situ, tatkala berada di sebuah pintu, mayat Usman diludahi dan dipatahkan salah satu persendiannya. Dan saat prosesi penguburannya berlangsung orang-orang Islam melempari mayatnya dengan batu. Sungguh malang nasib sang sahabat ini.

Begitupun dengan Muawiyah bin Abu Sofyan yang dengan segala kelicikannya melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib, menebarkan segala kebusukan untuk merusak persatuan umat Islam saat itu—dalam sejarah disebut tahun fitnah besar.

Atau seorang Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan yang menolak bertanggung jawab atas terjadinya tragedi Karbala, Irak, yang mengakibatkan syahidnya salah satu cucu kesayangan Nabi SAW, Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Juga seorang Abu Abbas As-Saffah, pendiri Daulah Abbasiyah, yang sangat mendendam dan dengan seenak perutnya menjagal puluhan anggota keluarga Umayyah sambil makan malam. As-Saffah sendiri artinya ‘Tulisan Berdarah’, atau bisa juga diartikan ‘Sang Penjagal’.

Khalifah Abbasiyah, al-Walid bin Yazid juga sangat dikenal soal kegilaannya, kegemaran mabuknya, homoseksualitasnya dan yang lebih gila lagi, hobinya membidik al-Qur’an dengan anak panah.

Peristiwa di atas merupakan sebuah ungkapan yang sangat terang bahwa para khalifah adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Seorang pemimpin umat tidak pernah punya klaim kekebalan dan kesakralan yang membuatnya lebih tinggi derajatnya dari kaum muslim lainnya.

Peristiwa berdarah saling membunuh dalam sejarah Islam tentu saja tidak mengganggu kesucian Islam. Sejarah Islam juga tidak perlu disakralkan. Sejarah adalah sejarah.

Namun demikian, teks-teks sejarah tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja mati dan maknanya terjebak pada waktu yang lampau. Teks tidak hanya memberi makna pada masa lalu, tapi juga pada masa sekarang dan masa depan. Sebab bagaimanapun teks sosial tersebut berasal dari masa lampau, sudah berjarak waktu sangat jauh, sudah ada sejak ribuan tahun.

Masalah dalam Khilafah. Melihat kenyataan sejarah umat Islam yang menggambarkan kondisi tak ideal seperti yang telah ditunjukkan dengan sangat baik oleh Fouda tersebut, maka sejatinya gagasan tentang sistem khilafah yang katanya dapat menjadi solusi bagi tegaknya pemerintahan yang bebas dari korupsi, kriminalitas, kemiskinan, dekadensi moral tak lebih hanyalah slogan hampa yang disuarakan demi kepentingan politik belaka.

Alih-alih ingin menjadikan agama sebagai alat pembebasan, yang muncul justru klaim kebenaran agama yang berujung pada otoritarianisme moral. Pemerintahan Islam, justru secara penuh menggambarkan kondisi tak ideal yang disebutkannya tersebut.

Sebab itu, sangat aneh kedengaran di telinga, jika praktik pemerintahan khilafah yang berjalan dari masa Khulafa al-Rasyidun sampai dinasti Abbasiyah, coba kembali digulirkan oleh kelompok Islamis pada abad sekarang ini.

Sejarah khilafah adalah sejarah perebutan kekuasaan dan kekayaan yang melulu duniawi, sama sekali di luar agama. Sebagian besar pergantian kekuasaan dilakukan melalui kudeta berdarah yang berujung pada terbunuhnya Khalifah.

Khilafah yang dianggap sebagai konsep “negara Islam” penuh cacat dan tidak memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang tetap, selalu berbeda dari Khalifah satu ke yang lainnya. Rakyat tidak pernah mendapatkan kedaulatan karena khilafah hanya percaya pada “kedaulatan Tuhan”.

Khilafah juga tidak memiliki mekanisme pertanggungjawaban dan kontrol atas penguasa. Tak heran kalau Khalifah kerap melakukan tindakan yang jauh melampaui batas kewenangannya.

Parahnya lagi, khilafah yang murni persoalan politik itu luput dari agenda kongkrit politik seperti sistem dan tata-cara pemerintahan, agenda reformasi politik, ekonomi dan budaya, perbaikan sistem pendidikan, perumahan dan lainnya.

Karenanya, tidak terlalu mengherankan jika kita melihat ketidakmampuan kaum Islamis dalam memahami realitas kekinian. Islam menjadi agama yang sangat eksklusif: tak mampu memahami kemajuan.

Islam di mata kalangan Islamis seakan-akan hidup dalam alienasi dan kolonialisasi. Islam dianggap sebagai agama yang dititahkan untuk bersikap defensif sekaligus ofensif. Tentu saja, seperti ini menimbulkan pelbagai problematika serius.

Pertama, munculnya klaim kebenaran. Gerakan islamisme menimbulkan kecenderungan untuk menentukan ukuran kebenaran. Persis pada tataran ini, agama menjadi “pulau-pulau kebenaran” yang dialami komunitas tertentu.

Akibatnya, Islam dipersepsikan menjadi agama yang bisa mengatasi dan merepresentasikan kebenaran yang dibawa agama-agama lain. Bukan hanya itu, bahkan Islam dipersepsikan sebagai kebenaran tunggal.

Kedua, munculnya monopoli tafsir. Kecenderungan ini merupakan kensekuensi logis dari klaim kebenaran yang menyebabkan lahirnya sakralisasi terhadap tafsir keagamaan. Apa yang diproduksi agamawan (ulama) sepanjang sejarah peradaban Islam merupakan sejarah yang bersifat reproduktif dan regresif, yaitu sejarah yang selalu kembali  kepada masa lalu.

Selain itu, monopoli tafsir juga diregulasi oleh kepentingan politik tertentu. Salah satu pemandangan yang menyejarah adalah kolaborasi antara produk pemikiran dengan kepentingan penguasa dalam setiap zamannya. Diakui atau tidak, kenyataan ini telah mengukuhkan singgasana tafsir keagamaan yang bersifat monolitik, diskriminatif dan sentralistik.

Ketiga, munculnya kekerasan atas nama agama. Dampak yang pertama dan kedua merupakan karakter dari sakralisasi terhadap doktrin dan dogma keagamaan. Sedangkan kekerasan dan radikalitas merupakan dampak lanjutan dari konteks sosial yang secara riil memiskinkan komunitas agama tertentu.

Kenyataan tersebut telah memberikan angin segar bagi kalangan tertentu untuk melakukan kekerasan yang seakan-akan mendapatkan justifikasi dari agama.

Dengan demikian, ambisi kaum islamis untuk mendirikan khilafah Islam adalah sesuatu hal yang mustahil dan hanya membuang waktu untuk mengejar mimpi yang tak kunjung terwujud.

Penyatuan wilayah di bawah satu naungan khilafah adalah mitos. Tidak terbukti dalam catatan sejarah. Melalui khilafah mereka berasumsi bahwa penerapan syariah dapat ditegakkan, kesatuan umat (pan-islamisme) dapat digalang, jihad dapat dilaksanakan.

Pendek kata, dengan tegaknya pemerintahan Islam, segala bentuk korupsi, kriminalitas, kemiskinan, dekadensi moral, dan persoalan lain dapat diselesaikan. Namun, itu semua omong kosong belaka. Hanya ada dalam mimpi.

Asumsi-asumsi di atas, tentu menurut keyakinan saya tak lebih hanyalah sekadar slogan hampa yang disuarakan demi kepentingan politik belaka. Ini terlihat dari upaya para pendukung gerakan itu yang hanya menggunakan label Islam tanpa memahami secara jernih konsep-konsep keagamaan yang dijadikan sebagai slogan.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.