Baru-baru ini Walikota Bandung Ridwan Kamil meluncurkan program ‘Magrib Mengaji’ di Kota Bandung, Jawa Barat. Katanya, program itu dimaksudkan agar Bandung tidak hanya maju dalam infrastruktur fisik, tetapi baik pula akhlak masyarakatnya.
Pasca-reformasi kita memang menyaksikan gencarnya pemerintah, khususnya kepala daerah, mengeluarkan kebijakan politik atau peraturan daerah bernuansa syariah. Banyak politisi dan kepala daerah meyakini simbol dan identitas agama bisa menjadi sumber pendulang suara dalam pemilu mengingat tingginya tingkat religiusitas masyarakat.
Padahal, kebijakan yang bersifat favoritisme atas satu agama tersebut bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang berdiri di atas semua agama dan golongan tanpa diskriminasi. Selain itu, bersumber pada ajaran agama, kebijakan bernuansa syariah itu lebih menyentuh aspek moral dan simbolik ketimbang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan umum yang menjadi tugas pokok pemerintah.
Terlepas dari persoalan mendasar tersebut, benarkah program atau gerakan magrib mengaji itu bisa memperbaiki akhlak sesuai yang diharapkan?
Tanpa ada gerakan mengaji sekalipun, religiusitas masyarakat Indonesia sebenarnya sudah tak diragukan lagi. Menurut survei Gallup di 114 negara pada 2009, Indonesia berada pada urutan keempat dari 10 negara dengan tingkat religiusitas tertinggi. Sebanyak 99 persen penduduk Indonesia mengatakan bahwa agama penting dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Fenomena itu memang terlihat jelas. Pendidikan Islam tumbuh subur, di antaranya tampak dari pertumbuhan jumlah lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah, dan sekolah Islam. Jumlah rumah ibadah juga terus bertambah tiap tahunnya.
Selain itu, belakangan banyak berdiri lembaga filantropi Islam yang modern dan profesional untuk menyalurkan dana-dana sosial umat—zakat, infak, sedekah—kepada masyarakat miskin dan membutuhkan. Di ranah kultural, tumbuh pesat industri busana Muslim, buku Islam, bahkan tayangan televisi bernuansa Islami.
Lantas, apakah tingginya religiusitas itu berkorelasi dengan makin baiknya perilaku bernegara dan sosial? Di sinilah kita menemukan fakta yang justru berkebalikan. Surplus religiusitas di kalangan umat Islam itu tak lantas mengejawantah ke terwujudnya perilaku yang penuh kebaikan bagi semesta (rahmatan lil’alamin).
Di media sosial, misalnya, banyak orang memanfaatkan jaringan pertemanan itu untuk menyebar tautan pesan-pesan instan agama yang berisi pengkafiran terhadap kelompok yang dianggap berbeda. Sejumlah media online berbendera Islam isinya justru fitnah, ideologi radikal, dan penyebaran kebencian terhadap kelompok lain daripada berisi pesan-pesan damai yang menjadi akar kata “Islam” itu sendiri. Sejumlah organisasi massa Islam kerjanya justru main hakim sendiri dan menebar teror terhadap kelompok-kelompok minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah.
Studi bertajuk ”How Islamic are Islamic Countries?” oleh Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari George Washington University pada tahun 2010 menemukan bahwa justru Selandia Baru berada di urutan pertama negara dengan indeks Islami tertinggi di antara 208 negara yang dikaji. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.
Mengacu pada prinsip-prinsip dasar ajaran Islam dalam Alquran dan hadis, studi itu membangun empat indikator indeks keislaman: prinsip ekonomi Islam, nilai hukum dan pemerintahan dalam Islam, hak asasi manusia dan politik, serta hubungan internasional dan masyarakat global.
Skor tertinggi negara-negara Muslim hanya berada di urutan menengah dalam keseluruhan indeks, yaitu Malaysia (38), Kuwait (48), dan Uni Emirat Arab (66). Urutan atas dari indeks itu terdiri dari negara-negara Barat, seperti Kanada (7), Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).
Ini memang studi pendahuluan yang masih harus disempurnakan baik metodologi maupun datanya. Selain itu, ia lebih menampilkan potret deskriptif dan tidak berpretensi untuk menyimpulkan sebuah hubungan sebab-akibat. Namun, studi itu memberikan gambaran pada kita tentang potret Indonesia dan dunia Islam saat ini.
Indeks Persepsi Korupsi 2015 yang dikeluarkan oleh Transparansi Internasional juga memperlihatkan wajah buruknya tingkat korupsi negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Dari 168 negara yang dikaji, Indonesia berada pada urutan 88.
Peringkat atas (dipersepsikan sangat bersih) didominasi negara-negara Barat, seperti Denmark (1), Finlandia (2), Swedia (3), Kanada (9), Inggris (10), Australia (13), dan Amerika Serikat (16). Sementara 6 negara dari 10 peringkat terendah (dipersepsikan sangat korup) adalah negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, seperti Sudan, Afghanistan, dan Somalia.
Studi oleh M. Steven Fish (2011) juga menemukan tingginya ketidaksetaraan gender di negara-negara Muslim dilihat dari indikator rasio pendapatan antara laki-laki dan perempuan, proporsi gender di parlemen, dan jumlah perempuan di kabinet.
Fish juga menemukan bahwa beberapa dekade ini dunia Islam mengalami problem terorisme. Berdasarkan data periode 1994-2008, kelompok Islamis radikal bertanggung jawab atas lebih dari 60 persen aksi pemboman dengan jumlah korban yang besar, yang menyebabkan 70 persen dari korban meninggal dunia.
Hasil-hasil studi tersebut menegaskan bahwa keislaman dan tingginya religiusitas tidak berbanding lurus dengan meningkatnya akhlak masyarakat. Karena itu, pemerintah mestinya tidak terjebak pada kebijakan yang berorientasi pada formalitas ritual agama semata, yang hanya memicu “overdosis” agama. Yaitu, kebijakan yang hanya meningkatkan rutinitas ritual keagamaan di kalangan umat, tapi absen dalam capaian yang jelas dan terukur.
Di Amerika Serikat, misalnya, perumusan kebijakan umumnya didahului oleh pengkajian atas problem sosial yang jadi ide dasar kebijakan itu beserta solusinya oleh lembaga-lembaga think tank, pusat-pusat penelitian, dan para peneliti dari universitas.
Temuan mereka, yang disebarkan lewat media, artikel jurnal, dan buku menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengkomunikasikan ide awal kebijakannya ke publik lewat berbagai presentasi dan media massa. Setelah memperoleh respons dan masukan dari masyarakat luas, barulah kebijakan itu dirumuskan.
Temuan-temuan riset empiris mestilah jadi dasar untuk menghasilkan kebijakan pemerintah yang jelas kegiatannya maupun hasil yang hendak dicapai. Di sinilah perlunya kerjasama pemerintah dengan kalangan akademis. Lembaga-lembaga riset di perguruan tinggi kita telah berkembang pesat, kemampuan para penelitinya pun bisa diandalkan. Melibatkan mereka dalam pembuatan kebijakan adalah kebutuhan yang niscaya dalam merumuskan kebijakan yang tepat sebagai solusi atas problem yang dihadapi masyarakat.