IslamLib – Pemikiran politik Islam Indonesia memasuki fase baru, dengan diberlakukannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Dalam kacamata awam, peringatan Hari Santri Nasional tidak berdampak apapun, termasuk tidak akan menambah atau mengurangi kesejahteraan rakyat. Namun jika ditelisik dari perspektif sejarah, terma “santri” sarat dengan muatan politik dominatif yang “di-kategorisasi-kan” oleh pemerintah kolonial Belanda, utamanya untuk tujuan “devide et empera”, antara kelompok santri dengan mereka yang disebut “abangan”.
Jika kita sepakat terma santri dan abangan tidak membawa manfaat, kenapa nalar kolonialisme justru diwacanakan kembali dalam konteks negara bangsa yang sudah merdeka?
Menelusuri genealogis terma. Jauh sebelum Cliford Geertz menulis buku The Religion of Java yang mengelompokkan umat Islam di Mojokuto dalam ketegori Islam santri, priyayi dan abangan (Geertz, 1962), sebenarnya kategorisasi Islam santri dan Islam abangan sudah terjadi, bahkan memakan korban. Kategorisasi tersebut dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk tujuan membenturkan masyarakat Indonesia berdasarkan agama.
Istilah santri mengacu pada sekelompok Muslim yang dianggap sebagai kaum putih yang berarti “muti ” atau mereka yang dianggap Muslim taat. Sementara mereka yang disebut abangan, dikonotasikan sebagai merah, karena dianggap berbuat bid’ah, antara lain: memakan sirih dengan mengeluarkan dhubang (air liur yang berwarna merah).
Jika ditelusuri lebih jauh, kelompok abangan sebenarnya bukan Muslim. Mereka adalah orang-orang yang terpaksa masuk Islam agar hak-hak sipil dan politiknya diakomodasi oleh negara dalam konteks zaman itu.
Setelah politik etis Snouck Hurgronje diberlakukan, pemerintah kolonial Belanda menyusun kebijakan diskriminatif terhadap agama lokal nusantara.
Diskriminasi tersebut diwujudkan melalui staatblad nomor 198 tahun 1895, tentang perkawinan. Peraturan ini menjelaskan perihal kewajiban agar semua perkawinan dari orang-orang bukan Kristen dan bukan Hindu/Budha harus dilakukan menurut hukum Islam.
Peraturan tersebut dalam logika pemerintah kolonial Belanda tidak hanya untuk kepentingan penyederhanaan administrasi perkawinan, melainkan juga untuk kepentingan politik mencari dukungan umat Islam, terutama dari kalangan santri.
Melalui kebijakan tersebutlah kemudian seluruh warga negara selain Kristen (Protestan/Katolik) serta Hindu dan Budha harus mengikuti tradisi Islam dalam hal perkawinan. Kelompok agama lokal dipaksa oleh regulasi untuk melebur dalam hukum syari’at, melalui teori “receptio in complexo” dalam pasal 177 indische staatsregeling.
Atas kebijakan tersebut, banyak pemeluk agama lokal nusantara masuk Islam, yang sebagian besarnya demi mendapatkan surat kawin. Ada juga sebagian dari mereka yang akhirnya memilih tidak kawin, atau memilih melakukan praktek kawin dengan lelembut: dengan Nyi Roro Kidul, misalnya.
Sejak saat itulah term Islam abangan menguat. Padahal sebagian dari mereka sebenarnya tidak pernah secara utuh menjadikan Islam sebagai tambatan jiwanya. Dengan kata lain, mereka tidak sepenuhnya menjadikan Islam sebagai ‘Ugeman’.
Mereka inilah Muslim statistik dari kalangan rakyat yang menyebut dirinya sebagai “Islam Seselaman” (masuk Islam karena menyelam untuk melangsungkan perkawinan agar tercatat). Mereka masuk Islam agar bisa mendapatkan surat kawin.
“Santri vs Abangan” warisan kolonialisme. Sudah menjadi keumuman bahwa penguasaan bangsa-bangsa penjajah (the colonizer) terhadap bangsa yang terjajah (the colonized) adalah demi kepentingan eksploitasi sumber-sumber ekonomi. Untuk tujuan tersebut, pertama-tama mereka membangun struktur masyarakat yang tidak setara. Bangsa kolonial sebagai superior dan bangsa terjajah sebagai inferior: rendah, tidak beradab.
Kegiatan itu kemudian disebut sebagai “misi memperadabkan”. Atau yang kemudian dikenal sebagai civilizing mission atau vocation civilisatrice (Bhabha, 2000:85).
Misi memperadabkan oleh pemerintah kolonial Belanda terlihat jelas dalam kaitan pembangunan kebijakan politik keagamaannya. Dalam hal ini yang menjadi korban adalah agama-agama lokal dan/atau agama-agama suku. Kelompok-kelompok ini dimarginalisasi dengan berbagai sebutan dan stigma, antara lain: sebagai residual factor, kafir (heidenent) serta kaum abangan.
Pemerintah kolonial menggunakan nalar Abrahamic Religion untuk mendiskriminasi kelompok abangan tersebut. Penganut agama lokal yang dipaksa mematuhi regulasi untuk menjadi Muslim disebut sebagai abangan, bahkan dianggap belum beragama.
Atas stigma belum beragama itulah, penganut agama lokal selain dianggap belum beradab kemudian dijadikan sebagai sasaran rebutan penyebaran agama.
Untuk menghindari benturan antara Islam dan Kristen dalam mengembangkan proyek agamaisasi, pemerintah kolonial Belanda harus mencari tumbal baru sebagai korban perebutan penyebaran agama misi/dakwah tersebut. Dalam kerangka tujuan itulah stigma terhadap kelompok agama lokal mereka anggap perlu.
Melihat genealogi kebijakan politik agama masa kolonial, menjadi penting untuk meninjau sekilas terkait dengan pandangan dan pengertian Belanda terhadap Islam.
Sikap Belanda mencerminkan kombinasi antara ketakutan dan optimisme terhadap sekutu utamanya ini. Terutama setelah berakhirnya perang antara Belanda menghadapi kaum Paderi (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1903), dan lain-lain, yang diinspirasikan oleh semangat Islam.
Dalam hal ini Islam oleh Belanda dimengerti sebagai agama yang bersifat hirarkis dengan lapisan klerikalnya. Karena itu, jika pemimpinnya sudah dikuasai, maka umat Islam bisa dilumpuhkan dengan mudah.
Kategorisasi yang tidak diperlukan. Jika stigma residual factor (kelompok sampah), kafir, abangan, bid’ah dan lainnya merupakan kategori yang dibangun oleh bangsa penjajah untuk memecah belah masyarakat nusantara dengan segala keragamannya, lalu mengapa setelah 70 tahun kita merdeka pemerintah justru mengembangkan wacana kategoris diskriminatif tersebut?
Mungkin pemerintah tidak berpikir panjang. Demikian juga masyarakat kita cenderung memiliki memori pendek atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan penjajah. Namun mewacanakan terma yang dibangun oleh penjajah, apalagi membanggakannya, sama dengan melanggengkan nalar penjajahan tersebut.
Akhirnya, memperingati Hari Santri Nasional, meskipun hanya sebatas wacana, pada dasarnya mengandung pengertian nalar dominatif. Bahkan tidak jarang mengandung muatan ingin menguasai. Sebab, tidak jarang kekuasaan itu menyelinap di balik wacana.
Dengan wacana Hari Santri Nasional, tentu ini mengisyaratkan keinginan untuk merayakan kemenangan kaum santri terhadap mereka yang tidak dianggap santri. Lebih celaka lagi jika wacana perayaan Hari Santri Nasional ini kemudian diperhadapkan dengan kaum abangan.[]
***Kami mengundang Anda untuk ikut meramaikan wacana Hari Santri Nasional ini. Bagi Anda yang tertarik memberikan tanggapan atas tulisan di atas, silakan kirim artikel Anda melalui email ke: [email protected].