Home » Politik » Dunia Islam » Haruskah Indonesia Mencekal Syeikh al-Arifi?
Syeikh al-Arifi (Foto: wikipedia.org)

Haruskah Indonesia Mencekal Syeikh al-Arifi?

4.02/5 (44)

Rencana kedatangan dai kondang dan motivator asal Saudi, Syeikh Muhammad al-Arifi, ke Indonesia awal tahun depan, kini sedang menuai kontroversi. Sebagian netizen menolak hadirnya dai terpopuler (dengan 13,4 juta follower Twitter dan hampir 20 juta follower Facebook) itu di Tanah Air. Situs www.change.org memuat petisi untuk Dewan Masjid Istiqlal Jakarta agar membatalkan rencana Tabligh Akbar 16 Januari 2016 yang akan menampilkan dai yang dilabeli “pendukung ISIS” ini.

Ustadz Bachtiar Nasir (Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia alias MIUMI), menampik tuduhan itu. Kepada Arrahmah.com, dia menyatakan bahwa ulama asal Saudi itu adalah orang yang sangat tegas dalam memerangi ISIS. Bahkan Nasir yang rencananya akan tampil juga dalam Tabligh Akbar itu meyakini bahwa al-Arifi adalah “dai yang sangat santun, datang ke sini untuk sebuah misi persatuan dan kedamaian.”

Mana yang benar: para netizen atau Bachtiar Nasir? Apakah al-Arifi benar-benar pendukung ISIS sehingga itu layak dijadikan dasar penolakan kedatangannya? Tulisan ini mencoba untuk menelusuri siapa sosok al-Arifi berdasarkan sebagian bahan yang tersedia dan sempat saya telusuri di internet.

Berdasarkan penelusuran kita dari berbagai sumber di internet, apa yang dikatakan Bahtiar Nasir tidak mengada-ada dan ada benarnya. Al-Arifi bukanlah seorang pendukung ISIS, bahkan seringkali menunjukkan ketidakcocokannya dengan paham dan aksi-aksi ISIS. Dalam rekaman Youtube bertanggal 6 Juni 2015 ini misalnya (https://www.youtube.com/watch?v=k02BanEDOGE), al-Arifi menceritakan pengalamanya meneduhkan pendukung ISIS yang menuduhnya murtad dan menghalalkan darahnya.

Di situ, al-Arifi bahkan menegaskan bahwa kampanye miliaran dolar yang dilakukan orang-orang kafir demi menjelek-jelekkan Islam tak ada apa-apanya dibandingkan image buruk yang ditimpa Islam akibat ulah ISIS. Bahkan, dalam video berjudul Khatar al-Takfir (Bahaya Pengkafiran) yang dimuat 2 Mei 2015 ini (https://www.youtube.com/watch?v=Scrr5XnOCt0), al-Arifi dengan tegas menolak sikap enteng-entengan dalam mengkafirkan sesama Muslim yang sering dilakukan kalangan ekstremis Islam.

Secara berapi-api, al-Arifi bahkan menentang paham al-wala wa al-bara (loyal dan disloyal) yang menjadi “rukun iman” kaum ekstremis dalam menentang penguasa dan sistem yang mereka anggap bertentangan dengan Islam. Menurut al-Arifi, tidak menuduh seseorang kafir lebih baik daripada tergesa-gesa dan terperosok dalam kesalahan melabeli seseorang sebagai kafir.

Namun begitu, sebagaimana ulama Saudi umumnya, al-Arifi bukanlah ulama yang terbebas dari sektarianisme dan permusuhan antar-mazhab yang keterlaluan di dalam Islam, terutama terhadap Syiah. Ini misalnya dapat dilacak dari pernyataan-pernyataan maupun khutbah-khutbahnya menyangkut Syiah yang umumnya bernada negatif dan agitatif.

Dalam video 29 Maret 2015 ini misalnya (https://www.youtube.com/watch?v=X4nTARWAPcc), al-Arifi secara pejoratif menyebut Syiah sebagai kaum Safavid (pendukung Safawiyah, dinasti Islam di Iran) dan Rawafid (para penentang kekhalifahan 3 Sahabat sebelum Ali bin Abi Thalib) sebagai orang-orang yang sejak dulu sampai kini masih terjebak dalam berbagai bentuk kesesatan.

Berdasarkan video ini, kita dapat melihat sikap mendua pada al-Arifi. Di satu sisi ia menentang pengkafiran, namun di sisi lain ia dengan enteng melakukan takfir am (pengkafiran umum) terhadap keseluruhan orang Syiah, bukan hanya kalangan ekstremis saja!

Ia menuduh orang-orang Syiah secara umum sebagai penyembah Ali karena penghargaan mereka yang begitu sangat kepada kuburan Ali bin Abi Thalib dan para Ahli Bait. Pertanyaan kita: apakah dengan demikian keseluruhan orang Syiah menjadi kafir? Jika demikian, berarti ada puluhan juta orang Iran yang tiba-tiba jatuh kafir—sebuah prestasi besar yang bahkan tak mampu dilakukan misionaris terhebat dari agama manapun dalam sejarah Islam.

Dan jika mengikuti logika al-Arifi dan umumnya kaum Wahabi-Saudi itu, tidak hanya 70-an juta rakyat Iran yang mayoritas Syiah yang akan jatuh kafir, tapi juga sebagian besar pengikut Nahdlatul Ulama Indonesia yang cukup akrab dengan soal perkuburan dan praktek-praktek yang dibid’ahkan umumnya ulama Saudi semacam al-Arifi. Naudzubillah thusmma naudyubillah!

Nah, persis di situlah persoalan al-Arifi. Sikapnya dan umumnya ulama Saudi yang penuh kebencian terhadap Syiah ini bukannya membantu persaudaraan sesama Muslim sebagaimana yang mereka cita-citakan, tapi justru kian memperlebar jurang perbedaan dan persengketaan antar umat. Tidak perlu konspirasi Yahudi atau Nasrani untuk memecah-belah umat Islam ini, cukuplah dengan memproduksi lebih banyak lagi ulama-ulama berpikiran sektarian semacam al-Arifi.

Sektarianisme al-Arifi ini lebih jelas lagi terlihat pada kiprahnya dalam mendukung rezim bin Saud dalam melakukan agresi terhadap Yaman. Khutbah-khutbah al-Arifi tentang orang Yaman umumnya bernada positif, namun kunjungannya ke perbatasan Saudi-Yaman demi memberi dukungan moral kepada agresi Saudi terhadap pemberontak Yazidi Houti pada April 2015 lalu, justru menunjukkan bahwa ia bukanlah dai humanis yang menempatkan martabat manusia di atas sekat-sekat primordial seperti mazhab.

Ini berbeda sekali dengan ulama kondang dan santun kelahiran Saudi juga, Syeikh Ali al-Jifri (dengan 2,4 juta follower di Twitter dan 5,6 pendukung di Facebook), yang terlihat sangat humanis dan mampu melepaskan diri dari sekat-sekat sektarian Sunni-Syiah. Cobalah simak bagaimana ia bersikap soal kompeksnya persoalan Yaman yang tak dapat disederhakan sekadar konflik Sunni-Syiah dalam video yang mencerahkan ini: https://www.youtube.com/watch?v=3RtseTCYrHA.

Karena itu, berdasarkan pengamatan sekilas yang bisa salah ini, saya tidak terlalu yakin bahwa al-Arifi adalah seorang “dai yang sangat santun, datang ke sini untuk sebuah misi persatuan dan kedamaian” sebagaimana dikemukakan Bahtiar Nasir. Dalam penerawangan singkat kami, al-Arifi memang penentang ISIS yang tegas, namun itu tidak membuat dia menjadi penentang Jabhat an-Nusrah dan atau faksi-faksi jihadis lainnya yang kini sedang bertungkus-lumus di Suriah dan Irak.

Lantas apakah kemungkinan dampak kedatangan al-Arifi bagi Indonesia? Yang positif, kedatangannya mungkin akan membantu mengurangi kredibilitas dan pesona ISIS di mata para jihadis dan calon jihadis Indonesia, walau belum tentu akan mengurangi minat mereka untuk bergabung ke faksi Islamis lainnya. Yang negatif, retorika-retorika al-Arifi yang penuh prasangka dan kebencian terhadap Syiah mungkin saja akan menguatkan kampanye dan kebencian terhadap Syiah di Indonesia.

Sebagai warga sebuah negara yang demokratis, saya tidak merekomendasikan pemerintah untuk mencekal kedatangan al-Arifi. Pesan cinta dan atau kebencian beliau bisa sampai dengan mudah lewat medium apapun, apalagi dia sangat tenar di media sosial. Jadi tak ada gunanya menyetop kesempatannya untuk sekadar berkhutbah di Istiqlal.

Namun begitu, pemerintah Indonesia perlu membuat warning agar siapapun tidak dibiarkan leluasa mengoyak harmoni antar umat di Indonesia dan atau mengumbar sentimen dan kebencian antar kelompok. Kalau Kepolisian Indonesia serius ingin menegakkan aturan tentang ujaran kebencian (hate speech) yang sempat heboh beberapa waktu lalu, saya menganjurkan untuk mencobanya dalam kasus al-Arifi. Beri dia ruang untuk berkhutbah di Indonesia. Namun bila khutbahnya terbukti menyulut kebencian, seret dia ke pengadilan! Berani? Ane ta’ yaqin!

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.