“Presiden Joko Widodo telah menandatangani keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional” (Kompas.com, 15 Oktober 2015)
IslamLib – Penetapan Hari Santri, adalah janji kampanye Jokowi saat Pemilu 2014 lalu, yang akhirnya ditepati. Bagi kaum santri, penetapan Hari Santri Nasional merupakan bentuk pengakuan terhadap eksistensi dan peran kalangan ini di masyarakat dan negara. Namun bagaimana dengan pandangan kalangan non santri?
Kontroversi tidak dihiraukan Presiden Jokowi, termasuk ketika Muhammadiyah mengajukan keberatannya terhadap penetapan Hari Santri Nasional tersebut.
Organisasi tersebut memandang bahwa penetapan Hari Santri Nasional hanya akan menciptakan sektarianisme serta memperkecil makna perjuangan umat Islam itu sendiri. Din Syamsuddin mengatakan bahwa penetapan Hari Santri Nasional hanyalah romantisme, sama sekali tidak visioner.
Jika melihat beragamnya organisasi Islam di Indonesia, mungkin saja banyak kalangan yang merasa tidak puas dengan kebijakan tersebut. Sebab, istilah santri selama ini lebih identik dengan ormas Nahdlatul Ulama.
Apalagi jika dilihat dari perspektif organisasi non Islam. Akan muncul pertanyaan tak terhindarkan: Apakah penetapan Hari Santri Nasional ingin mengabaikan peran non Muslim dalam memperjuangkan kemerdekaan?
Untuk melihat dampak sosial penetapan Hari Santri tersebut, ada baiknya kita baca lagi karya klasik Cliffort Gertz “The Religion of Java” yang sampai sekarang masih sering digunakan para peneliti sosial.
Walaupun sudah banyak ilmuwan sosial berusaha membantah trikotomi: santri, abangan, dan priyayi, pada kenyataannya teori Geertz tetap saja lebih menarik. Singkatnya, belum ada teori bantahan yang berdampak besar sebagaimana trikotomi Geertz.
Dalam laporan khusus Majalah Tempo (5-11 Okto 2015) tentang “Jejak CIA pada Tragedi 1965” dijelaskan bahwa penelitian Geertz adalah bagian dari operasi Amerika, walau Geertz membantahnya. Penelitian Geertz tersebut digunakan untuk melihat fenomena politik tahun 1965 yang ujungnya adalah untuk membumihanguskan komunisme dan menjatuhkan Sukarno.
Trikotomi Geertz tersebut dipakai untuk mengelompokkan: santri (kelompok Islam); abangan (kelompok PKI); dan priyayi (diasosiasikan dengan Sukarno). Berikutnya Trikotomi Geertz dipakai oleh tentara untuk mengidentifikasi masyarakat. Bahkan menurut Bradley Horton, Guru Besar Sejarah di Waseda University, buku ” The Religion of Java” diedarkan di kalangan tentara.
Apa dampak pemetaan masyarakat ini? Dengan sangat detail, John Roosa menjawab dalam penelitiannya yang berjudul “Dalih Pembunuhan Massal”.
Adalah fakta sejarah, resolusi jihad KH. Hasyim Asyari menjadi api perjuangan kelompok Islam. Namun, jangan sampai kebijakan politik untuk kepentingan Presiden Jokowi ini semakin mempertebal perbedaan.
Pemerintah sebaiknya lebih mengarahkan kebijakannya pada “social chemistry” di mana setiap elemen masyarakat tidak merasa didiskriminasi, sehingga menjadi modal sosial dalam berbangsa dan bernegara.
Apa mau dikata, Hari Santri Nasional sudah terlanjur ditetapkan. Presiden Jokowi harus siap menanggung konsekuensi kebijakannya yang telah menciptakan segregasi sosial tersebut. Kelak, akan lebih banyak elemen-elemen masyarakat yang juga merasa berkontribusi terhadap NKRI dan menuntut diperlakukan khusus sebagaimana kalangan santri.
Bagaimana seandainya jika Muhammadiyah juga meminta Hari Pembaharuan Nasional, Al-Washliyah meminta Hari Persambungan Nasional? Atau jika merujuk Trikotomi Geertz yang digunakan Jokowi, maka kaum abangan juga berhak meminta Hari Abangan Nasional. Karena kaum abangan yang diidentikkan dengan kelompok kiri, juga berkontribusi terhadap perjuangan kemerdekaan.
Akhirnya, kehidupan bernegara kita hanya sibuk menetapkan hari-hari nasional.
Satu hal yang patut diwaspadai, segregasi sosial dengan menghidupkan kembali trikotomi ini akan semakin mempertegas jurang perbedaan di kalangan masyarakat. Kelompok non santri, katakanlah kaum abangan, akan semakin mendapat tekanan sosial. Sampai saat ini setiap hal yang berbau “kiri” selalu menjadi sasaran kekerasan.
Ingat bahwa sebagian besar masyarakat kita masih fobia dengan komunisme. Sementara terma abangan sendiri dalam sejarahnya menjadi alat politik rezim represif untuk melakukan penindasan terhadap kalangan kiri (baca komunis), dan nasionalis (baca Sukarnois).
Jika suatu saat perebutan ruang sosial memercikkan konflik, maka penetapan Hari Santri Nasional Jokowi ini bisa menjadi salah satu penyebab paling kuat.
Memang sulit bagi Jokowi untuk urung mengesahkan Hari Santri Nasional, karena akan dipandang tidak menepati janji. Namun alangkah baiknya jika kepedulian Jokowi terhadap kalangan santri diwujudkan dalam kebijakan yang lebih substantif.
Misalnya dengan membenahi kualitas pendidikan pesantren yang, di beberapa wilayah, kondisinya masih sangat memprihatinkan. Bahkan saya pernah menjumpai sebuah pesantren di Sumatra Selatan yang pemondokannya tidak jauh beda dengan kandang kambing.
Sudah saatnya kita memutus mata rantai pandangan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang kumuh dan lusuh. Apalagi, ironisnya, kondisi tersebut seringkali menjadi sasaran penelitian yang menarik bagi para kalangan akademisi. Pun bagi para peneliti Barat, seringkali riset mereka mengarah pada satu kesimpulan: bahwa pesantren merupakan pusat persemaian benih radikalisme dan terorisme.
Saya hanya ingin mengatakan, berhati-hatilah dengan gejala “cemburu hari” yang bisa menguat di masyarakat karena penetapan Hari Santri Nasional ini. Kesatuan bangsa Indonesia lebih penting daripada menonjolkan salah satu entitas bangsa. Tentunya dengan prinsip jangan pernah melupakan sejarah.[]
***Kami mengundang Anda untuk ikut meramaikan wacana Hari Santri Nasional ini. Bagi Anda yang tertarik memberikan tanggapan atas tulisan di atas, silakan kirim artikel Anda melalui email ke: [email protected].