Kebijakan pemerintah Prancis yang melarang penggunaan simbol-simbol agama di sekolahan negeri menuai kontroversi dan gelombang aksi yang luas di beberapa belahan dunia Islam, termasuk Indonesia. Padahal negara ini sudah lama menerapkan sekularisme dalam kebijakan publik warganya. Dengan menerapkan kebijakan itu, pemerintah Prancis berharap ada pembaruan di kalangan semua warga Prancis, baik yang imigran maupun yang pribumi.
Untuk mengetahui seputar kontroversi jilbab di Prancis dan kebijakan negara tersebut dalam hal keagamaan, Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu mewawancarai Syafiq Hasyim, Wakil Direktur International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) yang baru datang dari Paris untuk melihat secara langsung suasana di negara Menara Eiffel ini, dan Andree Feillard, ahli Indonesia asal Prancis yang bekerja pada Centre National de la Recherche Scientifiquej dan penulis buku NU vis a vis Negara. Wawancara berlangsung hari Kamis (22/01/04) di Jakarta.
Syafiq Hasyim
Mas Syafiq, bisa Anda ceritakan bagaimana pengamatan Anda tentang kontroversi jilbab di Prancis?
Hal yang menarik yang bisa saya ungkapkan, mungkin ketika saya bertemu dengan beberapa orang komunitas muslim di sana. Mereka rata-rata tidak keberatan dengan penerapan UU pelarangan simbol-simbol agama itu. Bukan hanya jilbab, tapi termasuk di dalamnya simbol agama manapun, baik Kristen, Yahudi, maupun Islam.
Di sana, saya bertemu dengan mufti besar di Marseille bernama Benceikh, kemudian juga bertemu asisten imam besar Masjid di Paris, Jalil Bubakar. Saya juga berkunjung di Lile, dan bertemu komunitas muslim di sana.
Bagaimana komentar tokoh-tokoh Islam itu?
Yang mereka katakan tidak hanya menyangkut soal jilbab, tapi juga yang berkaitan dengan problem laicite atau sekularisme. Bagi mereka, persoalan jilbab itu hanyalah persoalan kecil dan tidak usah dibesar-besarkan. Sebab bagi mereka jilbab bukan hal yang prinsip dalam Islam. Tentang sekularisme mereka mengatakan, umat Islam justru diuntungkan dengan sekularisme di sana.
Anda bisa terangkan, apa yang dimaksud sekularisme di sini?
Perlu kita ketahui, sekularisme di Prancis mungkin agak berbeda dengan sekularisme di tempat lain, baik di Inggris maupun di Amerika. Ada wilayah-wilayah di mana sekularisme dalam pengertian pemisahan agama dan negara sangat ketat dilaksanakan, seperti di rumah sakit dan di sekolah. Di situ orang tidak boleh membawa simbol agama apa saja.
Hal ini dilakukan pemerintah Prancis untuk mendukung kebijakan yang mereka sebut sebagai integration system atau sistem integrasi, di mana komunitas agama tidak boleh hidup secara sendiri-sendiri, dan tidak dibolehkan menonjolkan simbol-simbol agama mereka. Artinya, mereka tidak diperkenankan mengukuhkan komunitarianisme. Jadi, mereka harus berbaur satu sama lain dalam konteks berbangsa.
Tadi Anda menyebut sekularisme menguntungkan komunitas Islam di sana. Maksudnya?
Itu dikarenakan mereka dipimpin oleh sistem hukum mayoritas yang mendukung sekularisme. Kalau mereka tidak menerima laicite atau sekularisme, ada kemungkinan masyarakat Prancis akan mengadopsi sistem hukum Katolik, karena agama mayoritas di sana adalah Katolik.
Andree Feillard
Saya beralih ke Andree. Menurut Anda, apa dasar pemikiran pelarangan simbol-simbol agama di Prancis?
Saya kira, untuk memahami dasar pemikiran pelarangan itu, kita mesti kembali kepada konteks Prancis yang sangat khusus, di mana Prancis mengalami banyak perang antar agama. Karena pengalaman pahit itu, di Prancis diterapkan pemisahan yang jelas antara agama dan negara sejak tahun 1905. Waktu itu, tidak ada imigran Islam sama sekali.
Jadi waktu itu, yang terkena getah undang-undang pemisahan antara agama dan negara adalah Katolik. Dan ketika itu, kelompok minoritas yang ada di Prancis hanya mereka yang beragama Protestan dan Yahudi. Baru sejak tahun 1950-an berdatangan imigran dari negara muslim.
Jadi pengalaman sekularisme ini memang sudah dilalui masyarakat Katolik, Protestan, dan Yahudi, untuk membantu pembauran antar kelompok-kelompok masyarakat. Itu yang pertama, yakni konteks sejarah yang berbeda dengan negara lain.
Kedua, di Prancis itu berbeda dengan di Amerika dan Inggris, kita tidak menganut sistem komunitarianisme. Dalam hal ini, kebijakan Prancis lebih banyak kesamaannya dengan Indonesia, di mana terdapat banyak kelompok masyarakat, dan ada semacam Pancasila untuk mempersatukan masyarakat yang berbeda-beda itu. Kita membutuhkan pembauran.
Di sini mesti diterangkan juga, bahwa pelarangan simbol-simbol agama seperti jilbab, salib, dan kippa Yahudi hanya diterapkan dalam sekolahan negeri dari SD sampai SMA. Sementara di perguruan tinggi dan di luar itu, mau memakai apa saja dibolehkan.
Jadi saya kira, Pemerintah Prancis menginginkan agar masyarakat yang sangat majemuk, dengan imigran baru yang terkadang susah menyesuaikan diri dengan masyarakat yang serba asing bagi mereka, paling sedikit belajar menjadi satu dalam sekolah.
Jadi, andai saya mengajar di sekolah SMA, lalu melihat anak yang berjilbab, sementara saya orang Katolik, saya tidak perlu memberi nilai lain karena dia beragama Islam. Atau, agar anak-anak yang berkippa tidak enggan bergaul dengan anak yang berjilbab. Jadi kita menjadikan sekolah sebagai tempat pembauran, karena yang diperlukan dalam masyarakat majemuk adalah bagaimana anak-anak muda itu belajar untuk hidup rukun dan damai.
Di Indonesia juga ada kebijakan pembauran etnis yang disebut dengan politik asimilasi. Orang Cina dianjurkan untuk tidak hidup dienclave-enclave yang terpisah. Apa seperti itu yang diinginkan Prancis?
Ya saya kira hampir sama, meskipun Prancis menerapkannya di tempat yang lebih kecil daripada di Indonesia. Di Indonesia, orang Cina diperintahkan untuk mengganti nama.