IslamLib – Seorang teman yang sudah lebih dulu menempuh studi di Amerika, kirim pesan begitu saya baru tiba: “Welcome to the Land of the Free and the Home of the Brave!”
Itu satu penggal dalam lirik lagu kebangsaan Amerika. Negeri ini memang dikenal sebagai tanah di mana kebebasan individu dijunjung tinggi. Deklarasi Kemerdekaan Amerika menegaskan bahwa “setiap orang diciptakan setara” dan karena itu punya hak yang sama dalam “hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan.”
Kebebasan itu, menyangkut juga dalam soal agama.
Ihwal kebebasan beragama itu dijamin tegas dalam Konstitusi Amerika. Amandemen Pertama, misalnya, melarang pemerintah federal membuat undang-undang baik itu berkaitan dengan agama, maupun melarang orang menjalankan agama secara bebas. Ada pemisahan yang jelas antara wilayah publik dan privat. Agama, bagi rakyat Amerika, adalah domain kebebasan pribadi. Karena itu, negara tak berhak mencampuri.
Tapi, meski Amerika tergolong negara sekuler, tetap saja di lagu kebangsaan menyebut: “In God We Trust.” Semboyan itu ada di mata uang, terukir di Gedung Capitol, dan terpatri dalam berbagai properti simbol negara lainnya. Di atas semuanya, negara turut serta merayakan Natal. Setahu saya, itu satu-satunya libur untuk merayakan hari besar keagamaan di Amerika. Selainnya tidak ada.
Tiba di Amerika, berbagai kekhawatiran muncul. Bagaimana shalat Jumat di sana, bagaimana puasanya, di mana mencari makan yang bebas babi, itu adalah beberapa contoh.
Di Indonesia, hal-hal seperti itu memang tak pernah jadi masalah. Masjid ada di mana-mana, bahkan di kompleks perkantoran milik pemerintah. Produk makanan dan restoran besar umumnya pakai logo halal. Sebagai agama mayoritas, Islam memperoleh banyak keistimewaan, meski pemerintah mengakui Indonesia bukan negara Islam.
Kini saya jadi minoritas. Seorang Muslim yang tinggal di Amerika, di mana 70,6 persen penduduknya beragama Kristen—dalam berbagai variannya. Di sini, jumlah Yahudi (1,9 persen) lebih besar ketimbang Muslim (0,9 persen). Yang ateis bahkan lebih besar lagi (3,1 persen), begitupun mereka yang agnostik atau bukan teis maupun ateis (4 persen).
Kira-kira, jumlah Muslim di sini seperti pemeluk Budha di Indonesia yang hanya 0,72 persen dari total penduduk. Karena itu, masjid jadi barang langka. Biasanya hanya kota-kota besar dengan jumlah Muslim yang signifikan yang punya masjid. Itu pun dibangun dengan dana swadaya, tak ada bantuan dari negara.
Persoalannya, sejak serangan teroris ke Amerika pada 11 September 2001, Islam menjadi agama yang dicurigai. Islamofobia, atau ketakutan dan kebencian berlebihan terhadap Islam yang melahirkan stereotip negatif dan sikap diskriminasi, menguat.
Misalnya, dalam surveinya pada 2010, Gallup menemukan bahwa kebanyakan orang Amerika berprasangka negatif terhadap Muslim Amerika. Itu diakui oleh 60 persen Muslim Amerika, yang mengakui bahwa orang Amerika pada umumnya berprasangka terhadap mereka. Bahkan, ada 48 persen Muslim Amerika yang bilang mereka, secara pribadi, telah mengalami diskriminasi agama.
Periode terberat bagi Muslim Amerika adalah masa-masa tak lama setelah serangan teroris 11 September. Sentimen anti-Islam meroket tajam. Maklum, hampir 3000 jiwa melayang dalam serangan teroris paling brutal dalam sejarah itu. Sementara pelakunya memakai identitas Islam.
Laporan polisi federal Amerika (FBI) menyebutkan, sebelum serangan 11 September, jumlah kejahatan kebencian anti-Muslim di Amerika berkisar antara 20 hingga 30 kasus per tahun. Pada tahun 2001, jumlah itu naik lebih dari sepuluh kali lipat menjadi hampir 500 kasus. Tahun-tahun setelahnya, kejahatan kebencian terhadap Muslim berada di kisaran 100-150 kasus per tahun, lima kali lebih tinggi dari pra-11 September.
Bias terhadap Islam memang masih bersemayam. Misalnya, terkait penembakan terhadap empat marinir di Chattanooga, Tennessee, pada 16 Juni lalu, sejumlah pejabat pemerintah Amerika menyebut aksi itu sebagai terorisme. Padahal, FBI belum memastikan motif serangan itu. Sikap berbeda ditunjukkan pada kasus sebelumnya. Pemerintah tidak buru-buru menyebut penembakan tiga mahasiswa Muslim di Universitas North Carolina, Chapel Hill, pada 11 Februari itu, sebagai aksi terorisme.
Tapi, pengalaman selama setahun ini di Amerika menepis semua kekhawatiran.
Soal makan tak perlu cemas. Pemilik restoran umumnya mencantumkan nama masakan dan bahan utama yang mereka gunakan. Banyak dari mereka yang tahu Muslim tak makan babi. Jika masih ragu, bisa tanya dulu ketika hendak pesan. Mereka akan jawab dengan jujur. Kalau mau daging dan makanan berlogo halal, di tiap kota biasanya ada toko yang khusus menjualnya. Umumnya toko milik orang Arab.
Dalam diskusi di kelas, dosen dan teman-teman saya umumnya beranggapan radikalisme bukan potret Islam sebenarnya. Mereka memandang jihad lewat kekerasan adalah satu penafsiran keliru terhadap Islam. Bagi mereka, kelompok Al Qaeda dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) hanyalah satu bagian kecil dari Islam. Kelompok ekstremis itu muncul lebih karena kekacauan politik regional di Timur Tengah.
Toleransi antar-umat beragama juga sangat terasa. Suatu kali misalnya, tempat yang biasa dipakai Muslim Dekalb untuk shalat Jumat, yaitu sebuah aula di taman kota, sudah dipesan pihak lain. Sementara tempat yang biasa dipakai di Student Center NIU, sedang dipakai untuk berbagai kegiatan mahasiswa.
Alternatif yang tersedia adalah sebuah gereja di dekat kampus. Maka, jadilah saya dan Muslim Dekalb kali itu shalat Jumat di gereja. Itu tidak sekali dua kali.
Kini di Dekalb sudah berdiri masjid. Mulai resmi dipakai sejak shalat Idul Fitri kemarin. Tanah dibeli sudah lama, tapi baru dibangun sejak beberapa tahun lalu. Tak ada upaya pemerintah daerah untuk melarang pembangunannya.
Tak ada pula demo warga sekitar yang menolak di lingkungannya berdiri masjid. Untuk dapat izin, panitia pembangunan cuma harus memenuhi sejumlah syarat pendirian bangunan publik. Misalnya, mesti ada fasilitas seperti lift untuk penyandang cacat, pintu darurat, dan parkiran. Karena memenuhi syarat, izin pun diberikan. Tak ada keribetan.
Tahun ini untuk pertama kalinya saya puasa di Amerika. Lama puasa sekitar 17 jam, 3 jam lebih lama dibanding Indonesia. Tak ada gegap gempita, seperti bazar Ramadhan atau bombardir iklan makanan seperti di Indonesia. Tak ada restoran yang memasang tirai di siang hari.
Juga tak ada pengurangan jam kerja atau kuliah. Bahkan tak ada yang tahu jika saya selama satu bulan puasa. Seminggu sekali saya buka puasa di kelas, karena kelas Summer yang saya ambil berakhir malam. Semua berjalan normal saja. Tapi justru itu terasa lebih khidmat.
Idul Fitri saya rayakan di Dekalb, bersama beberapa teman yang tidak mudik ke Indonesia, juga beberapa teman orang Malaysia. Silvia Ginting, teman saya yang Nasrani, jadi tuan rumahnya. Dia masak spesial di hari Lebaran itu.