Home » Politik » Internasional » Dari Pinggir Sungai Main, Frankfurt
(Photo: www.mainriver.de)

Dari Pinggir Sungai Main, Frankfurt

4.55/5 (62)

IslamLib – Sabtu, pukul 7 am, dua hari yang lalu. Hari masih menggigil di ujung musim gugur. Pagi itu, saya menikmati pengalaman yang sulit saya jumpai di Jakarta: lari di pinggir sungai. Hari itu, saya berlari selama sejam di pinggir sungai Main, di Frankfurt. Sejak mengenal lari sekitar tiga tahun lalu, saya langsung jatuh cinta pada kegiatan yang saya anggap sebagai “meditasi fisik” ini.

Satu jam saya lari, mondar-mandir di pinggir sungai yang amat bersih itu. (Kapan Jakarta bisa memiliki sungai seperti ini?) Di sepanjang sungai itu, membujur taman dengan pepohonan dan rerumput yang terhampar hijau di permukaannya. Bangku dan kursi kayu ditanam di berbagai sudut taman. Andai hari sedang panas, dan matahari terik, betapa menyenangkannya melewatkan waktu, membaca buku filsafat, atau novel, atau puisi, atau sekedar bengong di pinggir sungai itu.

Saya tidak tahu, mungkin saja ada sebuah novel, atau sajak, atau buku yang hebat yang lahir di pinggir sungai Main itu. Tetapi saya bisa memastikan, Johann Wolfgang Goethe, pengarang besar Jerman itu, tentu kerap melewatkan waktu, merenungkan pertanyaan-pertanyaan besar tentang hidup, di pinggir sungai ini. Ini adalah sungai yang memang mengundang orang untuk berfilsafat atau berpuisi. Atau, paling tidak, berlari dengan nyaman.

Dalam perjalanan pulang ke hotel, sembari jalan kaki, sembari menikmati pagi yang sepi, saya tak henti-hentinya membisiki diri sendiri: Ini adalah kota yang dibangun dengan benar. Saya masih ingat seloroh mertua saya, Gus Mus, yang berkunjung ke Jerman beberapa tahun lalu: Bahkan anjing pun taat hukum di negeri itu. Saat lampu sedang menyala merah, anjing ikut berhenti, menunggui tuannya, hingga lampu hijau menyala. Baik tuan dan anjingnya tetap sabar menunggu, tak nekat menyeberang jalan, walau jalanan sedang sepi.

Bukankah ketaatan hukum sampai ke soal yang “mundane”, sehari-hari itu adalah esensi dari syariah sebagaimana dikenal dalam Islam? Tujuan syariah, pada dasarnya, adalah terciptanya “law abiding society”, masyarakat yang menaati hukum. Di kota Frankfurt, esensi syariah bisa kita lihat di setiap persilangan jalan.

Dalam perjalanan pulang dari pinggir sungai itu, saya berjalan kaki di sepanjang trotoar yang cukup luas, bersih, nyaman. Saya kembali berbisik kepada diri sendiri: Kenapa pemerintah kota ini begitu peduli pada pejalan kaki? Kenapa di negeri saya, pejalan kaki seperti kelas pariah yang diabaikan hak-haknya?

Saya mencoba mencari sebuah penjelasan yang agak apologetik: Mungkin, di kota saya, kegiatan jalan kaki kurang begitu penting. Saya datang dari negeri tropik yang amat lembab. Jalan kaki adalah kegiatan yang sangat menyiksa. Sekurang-kurangnya menyikasa bagi mereka yang memiliki bakat berkeringat busuk.

Eropa adalah tanah dari mana sekularisme, bahkan anti-klerikalisme (kebencian pada lembaga gereja dan kependetaan) berasal. Tetapi jejak-jejak agama tak akan terhapus hingga kapanpun dari benua itu. Dalam perjalanan pulang dari sungai Main itu, saya melewati sebuah katedral besar yang sedang diperbaiki: Katedral Bartolomeus.

Tak jauh dari sana, terhampar sebuah ruang publik yang cukup luas yang disebut Römer. Itulah titik di pusat kota Frankfurt di mana para turis sering berkerumun, menikmati turisme gedung-gedung tua, kafe, dan para pengamen yang bagi saya nyaris mirip pemusik profesional ketimbang pengemis. Sehari sebelumnya, di sebuah sudut tak jauh dari sana, saya mendengar seorang “pengamen” memainkan lagu-lagu Arab dengan akordion. Wajah dan suaranya mirip Amr Diab, penyanyi Mesir yang masyhur karena albumnya “Nour El Ain” (1996) itu.

Saya kira, hingga kapanpun, agama tak bisa dihapus jejaknya dari Eropa. Jejak agama bukan saja tampak dalam bangunan gereja yang megah, dengan arsitektur yang begitu “majestic”. Jejaknya juga terdapat dalam warisan non-fisik, dalam ribuan judul buku, traktat filsafat, risalah teologi, serta karya-karya kesarjanaan lain yang membentuk “thought style” bangsa Eropa.

Saat berkunjung ke Jakarta beberapa tahun lalu, Prof. Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir Muslim dari Mesir, pernah melontarkan sebuah komentar yang tak pernah saya lupakan tentang Eropa. Ia, antara lain, mengatakan: Di Eropa, teologi telah berubah menjadi antropologi. Renungan tentang Tuhan berubah menjadi “logia” atau percakapan tentang manusia. Memuliakan Tuhan berubah menjadi: memuliakan manusia. Dari sanalah, lahir humanisme.

Bagi saya, tak ada penjelasan lain tentang taman kota yang begitu nyaman dan terhampar di pinggir sungai Main itu, tentang trotoar yang lebar dan nyaman, tentang pohon-pohon yang tumbuh rimbun di banyak sudut kota Frankfurt, tentang museum dan perpustakaan yang bertebaran di mana-mana, tentang layanan “hauptbahn” (kereta) yang nyaman; ya, tak ada penjelasan untuk ini semua selain humanisme, saya kira.

Humanisme bukanlah filsafat yang abstrak. Bagi saya, humanisme adalah “firman yang mendaging”, gagasan yang diterjemahkan secara kongkrit dalam kehidupan sehari-hari manusia modern. Pangkal humanisme adalah kehendak untuk membangun surga di bumi. Agama selama ini mengajarkan kepada umatnya suatu harapan tentang “telos”, tujuan akhir di masa depan yang jauh, yang indah, di mana keadilan dalam bentuknya yang murni dicapai: surga!

Manusia modern mencoba menduniakan surga yang merupakan janji di masa depan itu ke dalam realitas masa sekarang. Inilah yang oleh Prof. Abu Zayd disebut sebagai teologi yang berubah menjadi antropologi, al-lahutiyyah yang menjadi al-nasuitiyyah. Dalam Islam, sorga adalah “jannah”, kebun. Kadang, “jannah”, sebagaimana kerap kita baca di Quran, digambarkan sebagai tempat di mana mengalir banyak sungai (anhar, dalam bentuk plural) di bawahnya.

Saat saya melewati sebuah jembatan kecil di depan gedung tempat berlangsungnya buchmesse (pameran buku) di Frankfurt, saya melihat sungai kecil jernih yang mengalir di bawahnya. Saya secara spontan berteriak kepada teman saya, Luthfi Assyaukanie, yang berjalan bersama saya saat itu: Ini adalah sorga yang digambarkan di Quran itu!

Humanisme, sekali lagi, adalah usaha manusia untuk memindahkan surga sebagai janji di masa depan yang jauh ke bumi, menjadi realitas hari ini, sekarang juga. Sejarah peradaban manusia yang terbentang puluhan ribu tahun itu adalah sejarah tentang menanam surga di bumi: sejarah menjadikan lingkungan di sekitar manusai menjadi habitat yang nyaman.

Manusia mencoba menciptakan kota yang kian hari kian nyaman, kian manusiawi. Ia temukan pelbagai teknologi yang membuat tubuhnya lebih sehat, lebih panjang umur, lebih fit, lebih bugar. Ia susun hukum dan aturan yang melindungi hak-hak dasar manusia. Ia bangun sebuah polity atau komunitas politik (baca: negara) yang kian menjamin kebebasan dan kesejahteraan.

Agama tidak hilang dalam “ruang sekular” ini. Tetapi sebagian besar tugas agama untuk menciptakan “rumah ramah” bagi manusia di bumi memang telah diambil oleh oleh institusi-institusi publik seperti negara, dinas taman kota, museum, universitas, perusahaan listrik negara, perusahaan minum, dll. Agama masih memiliki peran, meski kian mengecil: sekedar memenuhi kebutuhan akan ketenangan spiritual yang tak bisa di-supply oleh lembaga-lembaga sekular.

Salah satu pengalaman sederhana yang selalu membuat saya tercenung setiap kali berkunjung ke kota-kota di Eropa atau Amerika ialah: kita bisa meminum air langsung dari kran, tanpa dimasak terlebih dulu. Buat saya, ini pengalaman yang nyaris “mystical”. Di kota tempat saya tinggal, Bekasi, janganlah membayangkan meminum air kran. Air tanah pun tak bisa dikonsumsi, bahkan setelah kita masak sekalipun.

Upaya-upaya manusia untuk membangun “sorga” di bumi ini menjelaskan banyak hal. Jika setiap saat kita sekarang bisa menikmati siaran permainan bola yang indah dari negeri-negeri Eropa, menurut saya itu hanya bisa dijelaskan lewat falsafah humanisme. Dengan cara yang canggih, manajemen bisnis yang rumit, dan perkembangan teknik bola yang dari hari kian sempurna, manusia mencoba menciptakan suatu “performance” dengan skala kolosal yang menghibur.

Membangun sorga di bumi, bagi saya, tak kalah mulia dibanding menunggu sorga di kemudian hari. Saat Tuhan berfirman di Kitab Suci bahwa Dia ingin mencipta manusia sebagai “khalifah”, wakil di muka bumi, sebetulnya terkandung di sana suatu pengertian tak tersurat: Tuhan menghendaki agar manusia tak sekedar menunggu sorga ukhrawi, tetapi juga sorga duniawi. Dan sorga itu, dalam skala kecil-kecilan, saya saksikan pagi itu, di pinggir sungai Main.

Lari pagi, di tengah udara yang segar, di pinggir kali Main yang bersih – itu adalah sepotong sorga, seberapapun sederhananya, bagi saya.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.