Mas Goen, tampaknya ada 2 reaksi yang kita lihat saat ini. Reaksi kaum muslim di Eropa, dan di negara-negara mayoritas muslim. Saya melihat, orang-orang Islam Eropa lebih santun menanggapi soal. Komentar Anda?
Saya tidak mengikuti. Tapi wajar kalau mereka yang di Eropa sana bersikap sesuai hukum, karena mereka juga dilindungi hukum. Sebagai contoh, kaum muslim di Berlin, Jerman sana, pernah meminta negara membiayai pelajaran agama.
Mereka lalu diberi tunjangan, padahal itu tidak lazim di sebuah negara yang sekuler. Artinya, mereka bisa memanfaatkan lembaga-lembaga demokrasi yang ada secara benar. Mereka juga dilindungi. Kaum yang anti-Islam juga dapat perlindungan selama mereka tidak merusak.
Saya memahami kalau orang Islam di sini meminta non-muslim mengerti dan menyesuaikan diri dengan mayoritas. Itu sama dengan keinginan orang-orang Denmark yang anti-Islam meminta orang Islam untuk menyesuaikan diri.
Karena itu, kalau kita tidak mau diperlakukan secara semena-mena, jangan pula kita menuntut orang lain secara semena-mena. Sementara soal protes, saya kira koran itu layak dan memang patut diprotes. Tapi merusak adalah hal lain, karena pemerintah Denmark sendiri tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan sebuah koran.
Apakah isi karikatur itu, menggambarkan taraf kebencian orang Eropa yang sudah mengkhawatirkan atas orang Islam?
Saya kira karikatur itu hanya disiarkan di Denmark. Orang Eropa lainnya banyak yang tahu bahwa karikatur itu hanya akan menyebar kebencian dan karena itu dihindari atau malah dikutuk. Dari segi itu, karikatur itu saya kira tidak berbahaya bagi umat Islam Eropa.
Perlu diketahui, di Prancis sana, agama Islam merupakan agama kedua terbesar; lebih besar daripada Protestan. Jadi pertumbuhan itu nyata, dan umat Islam jangan terlalu khawatir akan hancur. Kira-kira 25 tahun lagi, agama Islam paling sedikit akan menjadi 30 persen penduduk dunia.
Karena itu, kita jangan bereaksi berlebihan, karena itu memberi alasan bagi kaum ekstrem kanan yang rasialis untuk bertindak brutal terhadap Islam, Yahudi, Cina, Arab, atau Melayu. Orang-orang yang anti-asing di Eropa sana bisa mendapat angin karena perilaku kita. Dan justru, reaksi-reaksi yang berlebihan itu akan menyebabkan kehidupan umat Islam di Eropa menjadi tambah repot.
Kini seakan terjadi benturan antar-fundamentalis seperti dituliskan Tariq Ali dalam bukunya The Clash of Fundamentalisms, ya?
Memang, yang sebenarnya berbenturan di dunia bukanlah kelompok-kelompok agama, tapi lebih khusus antar kaum fundamentalis. Anda tahu, yang anti-Islam di Amerika adalah kaum fundamentalis Kristen. Di Israel, kaum fundamentalis Yahudi membunuh Perdana Menterinya sendiri, Yitzak Rabin. Di India, kaum fundamentalis Hindu membakar dan menghancurkan masjid. Sama dengan di sini; yang menghancurkan gereja, ya, yang fundamentalis juga.
Karena itu, kita jangan berpikir kalau Barat itu satu, dan ini benturan antara kita dengan Barat. Kita tahu, New York Times pernah mengecam pemerintahan Bush karena berbohong soal Irak. Yang memungkinkan itu juga iklim kebebasan Barat.
Jadi, mengatakan bahwa Barat seluruhnya memusuhi Islam, juga tidak betul. Bahkan, seperti saya katakan tadi, Menteri Luar Negeri Inggris menghargai pers Inggris yang tidak berminat memuat karikatur itu. Saya dengar, pemerintah Amerika juga memuji pers negerinya yang tak ikut-ikutan memuat karikatur itu.
Mungkin, ini juga dikarenakan di Amerika ada undang-undang hate speech(provokasi kebencian). Orang yang menebar kebencian kepada umat lain, akan tetap ditindak tegas. Di Chicago, dengan pasal itu, dulu ada kasus dihukumnya orang yang mengabarkan semangat kebencian kepada umat Islam.
Dan memang betul, reaksi umat Islam di banyak tempat saat ini merupakan akumulasi kemarahan dan ketidakpuasan pada beberapa kebijakan luar negeri Barat dan khususnya Amerika. Saya mengerti itu, bersimpati, dan berada dalam barisan itu. Hanya saja, kalau kita tidak suka diperlakukan tidak adil, jangan pula kita membalas dengan ketidakadilan.
Jadi, reaksi kita mestinya juga memperhitungkan posisi minoritas muslim di Eropa?
Ya, harus. Tidak hanya karena ingin berempati kepada sesama muslim, tapi lebih dari itu. Seandainya yang dihina bukan muslim, kita juga harus berempati. Selama orang lemah dihina, kita harus berempati.
Tapi memang, kita cenderung melampiaskan kemarahan menurut keinginan masing-masing. Alasannya mungkin berbeda-beda. Jadi sebetulnya tak ada kemarahan yang seragam. Hanya saja, karena sekarang kita hidup di masa globalisasi informasi, bentuk kemarahan itu seolah-olah seragam.
Tapi gelombang kemarahan itu memangkarena kedudukan Nabi yang begitu mulia dalam hati umat Islam. Kedua, karena memang ada ketidakadilan global terhadap umat Islam, atau yang menganggap diri mereka paling umat Islam. Ambil saja contoh isu nuklir Iran.
Sebelum terbukti, Iran sudah disibukkan menangkal isu itu. Sementara Israel yang punya kemampuan itu didiamkan saja. Contoh lain yang menujukkan kekonyolan Amerika adalah isu senjata pemusnah massal Saddam yang menjadi alasan invasi atas Irak.
Di samping itu, memang ada perasaan inferior di kalangan umat Islam, apalagi hampir semua negeri-negeri Islam bekas dijajah. Waktu umat Islam lebih unggul di Spanyol pada abad ke-12, kita lebih bisa terbuka dalam menerima pengaruh asing. Bahkan di situ berkembang peradaban yang menakjubkan, karena kita terbuka dan tak banyak marahnya. Tapi setelah dijajah, ada saja unsur-unsur yang gampang membuat marah.
Jadi ada juga unsur rendah diri yang gampang membuat marah. Itu juga dialami oleh umat lain. Orang-orang Kristen yang merasa rendah diri di hadapan orang asing di selatan Amerika, juga gampang sekali tersinggung dan marah, baik atas Katolik, Yahudi, atau Islam. Di Amerika bagian Selatan itu, sekte Ku Klux Klan yang terdiri dari orang-orang Protestan fundamentalis, gampang melakukan kekerasan terhadap orang kulit hitam.
Jadi masalahnya kadang memang bukan soal agama, bukan pula masalah umat yang satu, tapi bagaimana kedudukan umat atau orang-orang itu dalam suasana tertentu, di dalam suatu struktur politik dan sosial tertentu.