Home » Politik » Internasional » Ramadhan Pohan: “Tragedi 9/11 Jadi Berkah Terselubung”
Ramadhan Pohan

Ramadhan Pohan: “Tragedi 9/11 Jadi Berkah Terselubung”

Tolong nilai artikel ini di akhir tulisan.

Tragedi 11 September tak selamanya menghadirkan petaka. Meski komunitas muslim di Amerika sempat merasakan perlakuan diskriminatif pasca-tragedi itu, tapi kini ada efek domino yang menghinggapi seluruh lapisan masyarakat Amerika untuk memuaskan rasa kuriositas mereka tentang Islam.

Kini, setelah dua tahun tragedi yang menyayat hati itu berlalu, Islam menjadi “komoditas spiritual” paling laris di negeri Paman Sam. Berikut petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan Ramadhan Pohan, koresponden Jawa Pos di Washington DC pada Kamis, 26 Juni 2003.

 

Anda lama bermukim di Amerika. Bagaimana Anda melihat perkembangan Islam di sana seiring gencarnya nuansa perang melawan terorisme pasca 9/11?

Sebelum terjadi serangan teroris pada 11 September 2001 (baca: 9/11), pemahaman atau eksistensi Islam di Amerika tidak mendapat sorotan yang mendalam. Tapi setelah 9/11, sorotan, tinjauan, dan kritikan ataupun perhatian terhadap Islam dan komunitas muslim menjadi cukup besar.

Kita tahu, pelaku 9/11 itu diidentifikasi sebagai berasal dari negara Arab. Mereka muslim semua, sehingga konsentrasi orang-orang Amerika langsung tertuju pada komunitas muslim.

Saya cermati paling tidak ada beberapa respons. Pada tingkat pemerintah, empat hari setelah 9/11, Presiden George Walker Bush langsung pergi ke Islamic Center.

Peristiwa itu sebetulnya hal yang langka dilakukan oleh seorang presiden Amerika. Sebelum Bush, Presiden Bill Clinton maupun Presiden Bush Senior, tidak pernah berkunjung Islamic Center.

Selain itu, dalam acara doa nasional, wakil dari Islam juga diberikan kesempatan untuk memulai doa dengan bacaan surat al-Fatihah. Jadi ada semacam penghormatan dan sikap toleransi yang ditampakkan oleh Pemerintahan Amerika terhadap Islam.

Itu menunjukkan kesediaan pemerintah Amerika untuk tidak memusuhi Islam?

Betul. Tindakan itu memang harus dilakukan sesegera mungkin, karena pada saat yang sama, sentimen anti-Islam bermunculan di kalangan masyarakat Amerika. Bahkan misalnya, surat kabar semacam The New York Times, tampak sekali bias dalam mengutip ungkapan insinuatif. Misalnya berbunyi, “Mari kita habisin saja Arab-Arab barbar itu!”

Usaha pemerintah Amerika untuk mencegah persepsi buruk tentang Islam itu mempunyai efek yang positif. Sebab pada saat yang sama, tindakan pemerintah melalui berbagai usaha itu, diikuti oleh kamu moderat Kristen di Amerika. Kita tahu, mereka kebanyakan adalah penganut Protestan.

Mereka melakukan dialog dengan kalangan muslim. Orang Islam, melalui tokoh-tokohnya seperti Dr. Sulaiman Nyang, Ivon Hadad, dan lain-lain diminta untuk menjelaskan hakikat Islam. Mereka diundang ke gereja-gereja.

Anda pernah menyaksikan pertemuan semacam itu di Washington?

Secara konkret tidak. Tetapi saya pernah mengikuti dalam kesempatan yang lain, yaitu ketika Gus Dur bertemu tokoh Yahudi, Protestan, Katolik, dan lain-lain di New York. Setelah 2 tahun pasca 9/11, Presiden Bush melakukan berbagai kegiatan dengan komunitas muslim, seperti ifthâr (buka puasa bersama). Saya sendiri ikut dalam acara itu. Itu terjadi pada bulan puasa pertama pasca 9/11.

Bukan hanya Presiden Bush, Capitol Hill juga memberi kesempatan kepada kalangan Islam untuk berdoa dan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Pada level yang lebih bawah lagi, ifthâr juga dilakukan oleh Menlu Colin Powell. Sebelum 9/11 juga pernah dilakukan oleh mantan Menlu Madeline Albright.

Apakah Anda ingin mengatakan bahwa sangkaan terhadap pemerintah Amerika tidak bersahabat dengan umat Islam tidaklah benar seluruhnya?

Masalahnya bukan bersahabat atau anti umat Islam. Tapi, Islam di Amerika mendapat tempat yang baik sama seperti agama-agama lainnya. Bahkan secara tak langsung ada pemahaman yang lebih kuat di kalangan pemerintah Amerika tentang Islam.

Dari segi masyarakat, kita menyaksikan antusiasme yang kuat untuk tahu Islam; apakah Islam itu? Benarkah Islam menyuruh para penganutnya untuk membunuh orang kafir? Alquran menjadi salah satu “buku” terlaris di Amerika saat ini.

Tren itu masih dan terus berkembang sampai sekarang. Memang ada kasus-kasus yang menghambat. Tapi itu semua tidak signifikan dibandingkan dengan nilai positif yang sudah muncul ke permukaan.

Tragedi 9/11 menjadi semacam blessing in disguise, berkah yang tersembunyi, karena justru membuat orang Amerika belajar tentang Islam. Dengan demikian, apakah pengetahuan orang Amerika tentang Islam semakin baik?

Saya kira, pengetahuan mereka makin membaik, mendalam, dan positif. Hal itu didasarkan dari hasil survei yang pernah dilakukan harian USA Today yang ternyata pemahaman mereka tentang Islam menjadi semakin baik, bahkan mencapai angka 80 persen. Survei ini dilakukan dalam skala nasional kira-kira setengah tahun lalu.

Apakah pengetahuan yang makin membaik itu berpengaruh positif dalam perlakuan mereka terhadap komunitas muslim?

Kalau secara umum, sebetulnya mereka tak punya masalah dengan komunitas muslim. Hanya saja ada beberapa kasus, bahkan ratusan kasus, seperti penganiayaan dan pelecehan, bahkan hingga menyebabkan kematian. Hanya saja di Amerika ada mekanisme hukum yang berjalan.

Dalam satu bulan terakhir, sebelum saya berangkat ke Indonesia dua minggu lalu, ada juga kasus yang dimenangkan orang Islam dalam pengadilan. Kemarin ada kasus pelecehan, misalnya, seorang muslim tidak dibolehkan naik bis antarkota karena meminta duduk persis di belakang supir. Padahal, setelah 9/11, peraturannya memang tak membolehkan siapapun untuk duduk di belakang supir.

Di kebanyakan negeri muslim, persepsi orang Amerika tentang Islam banyak direpresentasikan orang-orang seperti Samuel P. Huntington tentang konflik peradaban (clash of civilization), misalnya. Apakah gambaran Huntington itu tepat menggambarkan persepsi orang Amerika tentang Islam?

Tentang Huntington, pejabat Amerika sendiri pernah membantah tesisnya tentang konflik peradaban itu. Buku Huntington menjadi bahan olok-olokan, dikritik secara pedas dan ditanggapi dengan sinisme oleh banyak ilmuwan. Francis Fukuyama secara tak langsung melakukan bantahan terhadap teori Huntington.

Lain dengan figur Daniel Pipes. Pipes sekarang masuk sebagai anggota dalam sebuah lembaga perdamaian yang anggarannya langsung dari Negara (tax payers). Kalangan muslim di Amerika melakukan protes. Mereka meminta pemerintahan Bush untuk meninjau kembali pengangkatan Daniel Pipes karena dia dinilai tidak punya nilai-nilai perdamaian, bahkan menyemai benih-benih permusuhan.

Sampai saya kembali ke Indonesia kemarin, kontroversi itu tetap berlangsung. Tapi saya melihat perubahan justru terjadi pada diri Daniel Pipes sendiri. Dia melakukan bantahan, misalnya, bahwa tidak benar dia anti-Islam.

Menurut Pipes, yang dikritisi adalah kalangan fundamentalis Islam. Perubahan kedua, tulisan-tulisan dia yang dimuat di The New York Post, tidak lagi mencerminkan karakter pandangan yang anti-Islam.

Apakah perasaan pro-Yahudi di kalangan pengambil kebijakan di Amerika itu lebih kuat dibanding Islam?

Memang benar. Hal itu malah diakui secara eksplisit oleh Presiden Bush sendiri. Dari level pemerintahan, yang paling dekat adalah Israel, dan karenanya mereka membela kepentingan Israel. Perlu diingat, komunitas Yahudi sendiri cukup kuat di sana, khususnya dalam akumulasi kapital. Tapi semua itu berlangsung dalam prosedur demokrasi sehingga bila dijumpai ketidakpuasan, dapat menempuh jalur yang sudah ada.

Tapi Yahudi itu sendiri tidak tunggal. Ada seorang Yahudi dari Partai Demokrat, tapi membela Islam secara getol di Amerika sampai dia meninggal dunia beberapa bulan lalu. Noam Chomsky yang banyak dirujuk kaum fundamentalis untuk mengkritisi Amerika juga seorang Yahudi tulen. Jadi kita tidak bisa main pukul rata bahwa Yahudi pasti anti-Islam. Atau, pemerintah Amerika serta-merta dekat dengan Yahudi.

Dewasa ini Kristen fundamentalis melakukan propaganda negatif atas Islam yang didukung misalnya, TV Fox. Bagaimana orang Amerika menyikapi hal ini?

Orang Amerika sendiri sebetulnya tidak terlalu suka dengan TV Fox atau acara Bill O’Reilly, The Factor, meski banyak juga yang menontonnya. Bahkan dalam prime time, acara tersebut termasuk yang paling banyak ditonton. Tapi mungkin sekadar tontonan saja. Kita senang dengan film perang, tapi belum tentu senang peperangan.

Jadi tidak bisa menjadi indikator bahwa demikianlah wajah orang Amerika. O’Reilly memang sangat provokatif dalam mendebat lawan bicaranya. Hanya saja, acaranya tidak ada korelasinya dengan suburnya kecenderungan anti-Islam di Amerika.

Kalau kita lihat fakta-fakta belakangan ini orang Islam di Amerika kini menjadi lebih padu. Terakhir mereka melakukan salat Ied di Convention Center. Tempat tersebut berkapasitas lebih dari lima ribu orang, tapi dilaksanakan sampai bergiliran tiga kali karena saking membludaknya jamaah.

Jadi ada perkembangan positif di Amerika, terutama internal muslim sendiri. Yang menjadi kunci persoalan kita saat ini adalah orang Islam dari Timur Tengah dan Arab dengan orang Yahudi dan kaum fundamentalis Kristen di Amerika. Tapi, mayoritas muslim di Amerika bukan orang Arab.

Bagaimana Anda melihat persepsi orang Islam di Amerika terhadap Presiden Bush?

Secara umum, persepsi mereka positif dan terkesan lebih pandai dalam berdiplomasi. Kadang-kadang, untuk menghadapi Kristen fundamentalis atau pejabat yang sering aneh omongannya, kaum muslim memakai kutipan-kutipan kalimat Presiden Bush. Misalnya, mereka kutip Bush bahwa Amerika berperang melawan terorisme, bukan Islam. Poinnya adalah Islam dianggap sebagai agama perdamaian.

Pada saat yang sama, mereka mendesak pemerintah Amerika dengan cara lobi, untuk mengklarifikasi omongan pejabat tertentu yang dianggap merugikan Islam. Suatu kali, seorang pejabat pernah split his tongue (keseleo lidah) tentang Islam di muka publik. Ungkapan itu diinterpretasi sebagai tidak menghargai Islam. Lalu State Department melalui Colin Powell segera melakukan bantahan atas omongannya.

Dalam pemilu lalu, mayoritas umat Islam mengalirkan suaranya pada George W. Bush. Saat ini umat Islam menilai kebijakan Bush banyak bertentangan dengan kepentingan mereka. Bagaimana perasaan muslim Amerika dalam menghadapi kenyataan ini?

Mereka jengkel pada Bush. Pada dasarnya, muslim di Amerika cenderung pada Partai Demokrat yang lebih berwarna, liberal dan banyak menampung aspirasi mereka. Mereka memberikan suaranya pada Bush, karena calon presiden dari kubu Demokrat, Al Gore, menolak bertemu dengan delegasi komunitas muslim. Akhirnya, blok suara dialihkan kepada kubu Bush, karena mau menerima orang-orang Islam. Mereka mau bertemu dan berbicara dengan komunitas muslim.

Nah, saat ini memang ada persoalan. Tapi secara umum, kebijakan Presiden Bush masih bisa dimengerti. Hanya ada satu kasus di mana Presiden Bush kepleset lidah. Sembilan puluh sembilan persen tidak. Masa’ yang satu persen menggugurkan kebijakan yang sembilan puluh sembilan persen? Tapi, kelompok Islam sendiri, saat ini suaranya terbelah.

Meski tetap berupaya membawa Islam lebih masuk lagi pada warga Amerika yang mayoritas nonmuslim. John L. Esposito misalnya, dalam acara yang dihadiri puluhan ribu muslimin, mengajak agar terlibat dalam urusan-urusan komunitas Amerika sehingga asimilasi secara cultural makin cepat terjadi.

Tapi ada juga kaum muslim, terutama dari Wahabi, yang sering mengumbar fitnah atas Yahudi. Pernah isu dokter Yahudi menyuntik racun kepada bayi-bayi muslim mencuat ke permukaan dan banyak yang percaya. Saya sempat kesal juga membaca berita itu. Tapi setelah berhenti sejenak dari kemarahan, terbukti isu itu keliru. Yang melakukan bantahan tentang isu itu justru dari tokoh-tokoh Islam sendiri.

Belajar dari toleransi di sana, bagaimana Anda mengomentari adanya halangan beribadah bagi pemeluk agama lain?

Karena pemuka agama kurang aktif melakukan pendekatan pada umat. Umat Islam di Amerika bisa salat di mana pun, bahkan beberapa blok saja dari The White House, tempat Bush tinggal dan berkantor, dan beberapa blok saja dari Capitol Hill, tempat senator dan kongres berkantor.

Hanya saja, yang selalu saya risaukan tentang Islam di sana adalah, Islam lebih dipahami dari kaum fundamentalis-radikal seperti Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad dan lain-lain. Foto dan berita-berita Abu Bakar Ba’asyir lebih menonjol ketimbang Presiden Megawati dan menghiasi koran-koran besar Amerika seperti The Washington Post dan The New York Times.

Saya kira, kalangan moderat di Indonesia; NU, Muhammadiyah, atau Aa Gym, dituntut untuk lebih pro aktif dalam menyuarakan Islam rahmatan lil alamin.Mindset kaum muslimin di sini bahwa Amerika anti-Islam dan punya konspirasi besar meluluhlantakkan Islam harus dienyahkan dari benak mereka.

Sikap apriori seperti ini akan menjauhkan dari —apa yang disebut Prof. Syafi’i Ma’arif— dialog peradaban. Terlebih lagi, secara sosial, ekonomi, pendidikan dan militer, kita masih bergantung dari Amerika. Kita memang tidak boleh menggadaikan martabat bangsa, tapi bukan berarti kita lantas membenturkan kepala ke tembok.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.